Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mengungkapkan emosi adalah bagian dari penyaluran energi untuk sarana ekspresi dan ketenangan diri dan melepaskan beban selama ini. Namun, bagi orang yang mengalami Alexithymia, hal ini merupakan suatu hal yang sulit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dilansir dari psychologytoday, Alexithymia adalah ketidakmampuan untuk mengenali dan menyampaikan emosi, sering dikaitkan dengan gangguan antisosial. Kondisi ini sebenarnya memiliki karakteristik yang berbeda dan secara harfiah diterjemahkan dari bahasa Yunani yang berarti tidak ada kata untuk emosi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Alexithymia diklasifikasikan dan terbatas pada psikosomatik gangguan mental dengan melibatkan gejala fisik dari tubuh seseorang, yang juga bisa memperburuk kondisi fisiknya. Mereka sulit mengekspresikan emosi dan membagikan pengalaman.
Adapun ciri kepribadian Alexithymia dapat teridentifikasi lebih dari empat dekade yang lalu oleh psikoanalis Boston, John Nemiah, dan rekannya pada 1976. Dalam penelitiannya, mereka mengatakan bahwa ukuran Alexithymia yaitu kesulitan mengidentifikasi perasaan dalam diri (DIF), kesulitan menggambarkan perasaan (DDF), dan gaya berpikir berorientasi eksternal (EOT), di mana orang tidak memperhatikan emosi atau kondisi batin sendiri.
Beberapa penelitian menunjukkan Alexythymia lebih dominan pada pria dibanding wanita. Gangguan ini terjadi saat seseorang pernah mengalami kecelakaan. Penderitanya akan merasakan banyak efek, termasuk sering stres, suka marah-marah, hidup terasa seperti membingungkan, tidak nyaman, dan beberapa gejala lain. Hidupnya merasa terpuruk, padahal sebelumnya tampak normal-normal saja.
Sementara itu, seperti yang dinyatakan oleh David Preece dan rekan-rekan di Universitas Edith Cowan di Australia pada 2018, orang-orang dengan Alexithymia jarang memperhatikan keadaan emosi mereka (EOT), dan mengalami kesulitan menilai apa status mereka (DIF, DDF).
Penderita Alexithymia juga dipicu trauma yang pernah dialami. Fungsi kognitif dapat terganggu dan selalu merasa aneh dalam merasakan pengalaman yang hampir sama. Regulasi emosi terganggu karena mereka cenderung menghindari pengalaman. Tetapi mereka juga mengalami kesulitan karena tidak memiliki sistem pelacakan internal yang baik untuk mengidentifikasi keadaan emosi.
Penelitian yang dilakukan karena konseptualisasi asli dari sifat ini menegaskan bahwa orang yang tinggi Alexithymia adalah kandidat yang buruk untuk psikoterapi, sementara pada saat yang sama memiliki risiko lebih tinggi untuk berbagai gangguan psikologis.
Pada dasarnya Alexithymia bukan penyakit ataupun gangguan mental melainkan hal tersebut merupakan fenomena psikologis yang tetap diakui keberadaannya. Kondisi ini sering dikaitkan, bahkan muncul bersamaan dengan gangguan mental seperti depresi, Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD), autisme, hingga skizofrenia.
Adapun penanganan gangguan ini dapat diterapi dengan cara konsultasi untuk mengembalikan rasa percaya dirinya saat bersosialisasi dengan orang lain. Pasien akan bertemu dengan dokter atau psikolog untuk melakukan terapi itu dengan rutin.
Psikolog dapat membantu penderita untuk belajar mengenali emosi. Kemudian, jenis terapi yang dapat dilakukan antara lain terapi kelompok, skill-based therapy, terapi kognitif dan perilaku, dan lain sebagainya. Perlahan-lahan pasien diajak berkomunikasi dan menjalani sejumlah terapi lain yang aman.
Singkatnya menyadari keadaan emosional dan mampu mengungkapkan perasaan itu dengan kata-kata dapat menjadi kontributor penting untuk masalah fisik dan psikologis dengan cara yang mungkin tidak disadari yang secara khusus bertujuan membantu orang-orang ini mendapatkan pemenuhan melalui kesadaran yang lebih sehat akan emosi mereka.