Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rakus sering dianggap sebagai mengonsumsi makanan secara berlebihan, disingkat makan berlebihan, tanpa mempertimbangkan rasa lapar fisik. Orang yang disebut rakus cenderung memiliki dorongan untuk terus makan meskipun tubuh sudah kenyang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ini pada dasarnya dipicu oleh berbagai faktor emosional dan sosial. Menurut Diagnostic Statistical Manual (DSM-5TR), pola makan rakus yang ekstrim dapat berkembang menjadi gangguan makan yang disebut binge eating disorder (BED), yang memengaruhi jutaan orang di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BED ditandai dengan periode makan berlebihan yang tidak terkendali, umumnya disertai perasaan bersalah atau malu setelahnya. Namun, penting untuk membedakan antara pola makan rakus sebagai perilaku sehari-hari dan gangguan makan yang terdiagnosis secara klinis, meskipun tidak semua orang yang rakus memiliki gangguan makan.
Pola ini dapat menciptakan siklus rasa bersalah yang sering kali diperburuk oleh budaya diet yang mendiktekan aturan ketat tentang makanan. Budaya ini mewajarkan narasi bahwa makan berlebihan adalah buruk, sehingga memunculkan stigma dan kritik diri pada individu yang mengalaminya.
Memahami Rakus dan Emotional Eating
Rakus karena emosional atau emotional eating adalah pola makan yang dipengaruhi oleh kebutuhan emosional daripada rasa lapar fisik. Misalnya, menurut Healthline, seseorang yang stres di tempat kerja atau merasa kesepian mungkin menggunakan makanan sebagai pelarian atau cara untuk mengatasi emosi tersebut.
Hal ini terjadi karena makanan dapat merangsang pelepasan dopamin, senyawa kimia di otak yang memberikan rasa nyaman atau bahagia. Pola ini sering menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan karena memberikan kenyamanan sesaat.
Namun, makanan tidak dapat menyelesaikan masalah emosional yang mendasari. Ketika kebiasaan ini berulang, individu mungkin merasa bersalah atau malu, menciptakan lingkaran setan yang sulit dipecahkan.
Dalam sebuah penelitian dari National Library of Medicine, ditemukan bahwa emotional eating sering dikaitkan dengan konsumsi makanan tinggi gula dan lemak yang padat energi, terutama pada wanita yang mengalami depresi. Fakta ini memperkuat hubungan antara gangguan emosi dan preferensi makanan yang kurang sehat, yang pada akhirnya berkontribusi pada kenaikan berat badan dan kesulitan dalam mengelola berat badan.
Budaya diet yang menekankan kontrol ketat terhadap makanan juga berperan besar dalam memperburuk emotional eating. Stigma yang melekat pada makan berlebihan bisa menyebabkan seseorang mengkritik diri sendiri, bukannya mencoba memahami alasan di balik perilaku mereka.
Padahal, banyak orang yang secara otomatis menggunakan makanan sebagai cara untuk mengatasi stres, cemas, atau bahkan kebahagiaan, seperti ketika merayakan momen spesial bersama keluarga atau teman.
Memahami Emotional Eating
Langkah pertama untuk memahami emotional eating adalah dengan mengenali pemicu emosional yang mendorong perilaku ini. Misalnya, mencatat suasana hati, situasi, dan jenis makanan yang dikonsumsi dalam jurnal emosi dapat membantu seseorang lebih sadar terhadap kebiasaan makan mereka. Dengan kesadaran ini, individu dapat mulai mengeksplorasi cara-cara lain untuk mengatasi emosi, seperti berolahraga, bermeditasi, atau melakukan aktivitas yang menyenangkan.
Selain itu, melakukan mindful eating dapat menjadi cara efektif untuk membangun pola makan yang lebih sehat. Dalam mindful eating, seseorang bisa memperhatikan setiap rasa, tekstur, dan aroma makanan, serta mengenali isyarat tubuh apakah benar-benar lapar atau hanya membutuhkan asupan emosional.
PSYCHOLOGY TODAY | HEALTHLINE | NLM
Pilihan editor: Sering Makan Berlebihan, Awas Itu Tanda Awal Binge Eating Disorder