Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam lingkup masyarakat konservatif yang masih menganut konstruksi patriarki, laki-laki dan perempuan kerap diberi batasan-batasan atau standar tingkah laku yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Salah satunya anggapan bahwa laki-laki tidak boleh menangis, karena menangis kerap diasosiasikan sebagai bentuk kelemahan atau kelembutan yang hanya boleh dilakukan perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam ranah patriarki, laki-laki diberi label kuat, harus bertanggung jawab pada keluarga, tidak boleh menangis, tidak perlu mengerjakan tugas domestik (sebab kerap dikaitkan dengan pekerjaan perempuan), tidak boleh menggunakan bedak, harus jadi pemimpin perempuan dan masih banyak aturan lainnya yang dianggap tabu jika dilanggar. Namun tahukah Anda bahwa perlakuan-perlakuan tersebut termasuk toxic masculinity?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas sebenarnya, apakah toxic masculinity ini dan apakah memberikan dampak pada lelaki?
Psikolog Tara de Thouars menuturkan, toxic masculinity atau maskulinitas beracun bermula dari konstruksi sosial masyarakat patriarki yang mengacu pda perilaku sikap dominan dan agresif yang diidentikkan dengan laki-laki. Ada anggapan bahwa seorang laki-laki haruslah dominan dari perempuan, harus kuat, tidak cengeng atau lemah, sedangkan perempuan harus menjadi manusia feminin, sabar dan rela berkorban.
Penulis Emily C. A. Snyder menjelaskan, istilah toxic masculinity pertama kali digunakan Psikolog Shepherd Bliss pada tahun 1980-an dan 1990-an untuk memisahkan sifat-sifat negative dan positif maskulinitas. Ia menggunakan istilah toxic masculinity untuk menggambarkan sifat negative.
Ciri-ciri toxic masculinity yang didefisinikan Bliss berupa penghindaran ekspresi emosional, aspirasi berlebihan untuk dominasi fisik, seksual dan intelektual serta devaluasi sistematis terhadap pendapat, tubuh, dan rasa diri wanita.
Bagaimana pengaruh toxic masculinity terhadap kesehatan mental laki-laki?
Melansir Medical News Today, maskulinitas beracun dapat mempengaruhi mental laki-laki yang tidak memenuhi klaim “maskulin” namun tetap diharuskan (dipaksa) melakukannya. The American Psychological Assoiation mencatat, bahaya mencoba mamatuhi sifat-sifat maskulin berlebihan dapat membuat laki-laki dan anak laki-laki mengalami efek buruk dan mungkin mengalami depresi, masalah citra tubuh, fungsi sosial yang buruk, penyalahgunaan zat, dan tertekan.
Selain itu, karena perasaan emosional atau berbicara terbuka tentang perasaan bertentangan dengan nilai-nilai maskulinitas tradisional, ada risiko tambahan bahwa laki-laki yang mengalami masalah kesehatan mental mungkin tidak mencari perawatan profesional atau tidak berani membicarakan perjuangan mereka kepada teman maupun keluarga.
DELFI ANA HARAHAP