TES kerentanan (sensitivity test) asma saluran pernapasan begitu panjangnya, sampai-sampai orang bisa "alergi" dibuatnya. Bayangkan, orang harus menahankan sakitnya 28 alergen (penyebab alergi) yang disuntikkan ke kulit. Mulai dari sari pati telur, susu, ikan, kerang, rambut kuda dan anjing, sampai debu rumah. Jumlah yang banyak itu tidak saja menyita waktu tetapi juga duit. Kalau sudah bicara soal uang, tentu orang dari kelas bawah yang paling terpukul. Diilhami cita-cita untuk meringankan beban penderitaan orang kurang mampu dan asma-an, Hajah Dina Harijanto Mahdi, 40, dokter dan lektor madya dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya, berusaha memperkecil jumlah alergen itu. Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan sejak 1980, dokter ini berhasil secara dramatis memperkecilnya menjadi hanya tinggal satu. Menurut teori yang terangkat dari penelitian itu, penderita asma saluran pernapasan cukup dites dengan satu alergen saja: tungau. Penemuannya itu menghantarkan Dina meraih gelar doktor dalam ilmu kedokteran dari Universitas Airlangga, 25 Februari lalu. Yang menarik, sebelum dia melaksanakan penelitiannya terhadap penderita asma, ia mencobakan dulu pada ayahnya sendiri yang kebetulan pula seorang penderita asma. Benar saja, begitu ditusukkan ekstrak (sari pati) tungau, lengan ayahnya itu bintul memerah tanda mengidap "alergi binatang itu". Baru kemudian dia terjun ke lapangan. Untuk membuktikan tungau sebagai bahan tes kerentanan asma saluran pernapasan dia kemudian melibatkan 129 penderita. Ternyata, 94,6% menunjukkan bintul, yang berarti hampir semuanya kena asma karena alergi terhadap tungau. "Bisa saja timbul bintul lebih dari satu pada tiap-tiap penderita, tapi rata-rata ada bintul pada tusukan tungau," katanya menjelaskan kepada TEMPO. Penelitian Dina Harijanto ini sebenarnya sudah dimulai sejak 1976. Ketika itu, dia sempat berkorespondensi dengan ahli alergi dari Universitas California di Los Angeles Prof. Oscar L. Frick. Dalam diskusi jarak jauh itu, dia mempertahankan teorinya bahwa tes alergi bisa dipersingkat. Sebab, pada 4.000 pasien yang dicatatnya baik-baik (yang disuntik dengan 28 alergen) dia menemukan tungau selalu positif, sekalipun bukan satu-satunya penyebab alergi. Sebab, ada pula yang positif begitu ditusukkan alergen yang lain. "Tungau saya anggap paling tinggi sensitivitasnya dibandingkan dengan yang lain," ceritanya. Sejak tes alergi untuk asma saluran pernapasan itu ramai dipergunakan tahun 1960-an, baru Amerika Serikat yang mengurangi jumlah tes menjadi delapan alergen saja. Slngapura kemudian mengikuti jejak itu. Sedangkan di sini masih berlaku metode 28. Ongkos tes jenis ini bisa mencapai Rp 40.000. Menurut Dina Harijanto, hasil penelitiannya itu bukan saja akan memperkecil ongkos, tetapi juga memperciut kemungkinan kecelakaan. Sebab, katanya, suntikan sejumlah alergen tadi bisa menyebabkan anaphylactic shock (pingsan karena tubuh pasien menolak). "Penderita yang shock karena 28 alergen tadi bahkan ada yang tak tertolong nyawanya," ujar dokter yang saban hari bisavditemui di Bagian Penyakit Dalam RS dr. Soetomo, Surabaya. Meskipun berbagai kalangan dokter yang dihubungi TEMPO menyebutkan penelitian Dina itu sebagai prestasi yang besar sumbangannya, mereka beranggapan bahwa tes kerentanan asma masih memerlukan alergen lain, selain tungau. Sebab, data yang diketengahkan Dina sendiri menunjukkan, ada pula penderita yang positif kalau disuntik dengan alergen yang lain. Tungau (Dermatophagoides) adalah sejenis kutu yang terdapat dalam debu rumah. Ia terdapat di rumah yang bersih sekalipun, di pelbagai kawasan dunia, seperti Eropa, Amerika, dan Asia. Karena itu, penderita penyakit ini bukan monopoli negara miskin. Di Amerika Serikat tercatat 6-8 juta penderita. Sedangkan di Eropa, Jepang, dan Australia, frekuensi 10% -20% dari jumlah penduduk. Di Indonesia sendiri belum ada angka yang pasti. Tapi, menurut Dina Harijanto dari seluruh pengunjung Poliklinik Alergi Unit Pelayanan Fungsional, Bagian Umum Penyakit Dalam Rumah Sakit dr. Soetomo lebih dari 36% di antaranya adalah penderita asma saluran pernapasan. Kutu yang dalam setiap 1 gram debu bisa mencapai 5.000 ekor itu bentuknya mirip kepinding, panjangnya 0,3 mm, dengan ukuran pinggang 0,2 mm. Menurut Dina, yang jantan lebih kecil dari yang betina. Kutu ini berkembang biak dengan memperoleh makanan dari daki manusia. Terbang bersama udara yang dihirup, si tungau menyebabkan pembengkakan pada saluran pernapasan, hingga si penderita mengalami sesak napas. Dan kalau menarik napas terdengar mendengkur. Penyakit ini memang tidak membunuh. Tapi cukup membikin sengsara. Dina sendiri tak tahan bila melihat penderita yang sedang terserang dengan hebat. "Habis kena serangan lantas lemas, nafasnya satu-satu, kayak habis dicekik," katanya. Menurut literatur, asma karena alergi tungau ini biasanya menyerang malam hari. Tungau-tungau yang tak tampak oleh mata itu berhamburan dari bantal ataupun kasur. Untuk memperkecil ruangan hidup makhluk halus ini, para dokter menganjurkan agar rumah tangga mengurangi pemakaian karpet. Bantal dan kasur sebaiknya yang terbuat dari karet busa. Sari pati tungau yang dipergunakan Hajah Dina Harijanto Mahdi dalam penelitiannya - yang lebih dari tiga tahun itu - adalah buatannya sendiri. Mula-mula dia menyedot debu rumah. Kemudian dengan filter khusus dia tapis dan didapatlah tungau murni. Binatang ini kemudian dia peras sehinga yang tinggal hanya cairan. Warnanya kecokelatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini