Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Surakarta - Puluhan kedai kopi yang ada di Solo dan sekitarnya mulai ramai dipadati pelanggan sejak dua tahun terakhir. Perkembangan budaya minum kopi di kota itu dinilai lebih lambat dibanding kota lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemilik kedai kopi Ebid Sukoharjo, Bachtiar mengakui dia harus berjuang keras demi mendapat pelanggan. “Kami harus terus mengajak pelanggan untuk belajar menikmati kopi,” katanya di sela-sela perayaan Hari Kopi Sedunia di Pasar Gede Solo, Ahad malam 1 Oktober 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut dia, lambatnya perkembangan budaya nongkrong di kedai kopi terpengaruh oleh kultur masyarakat setempat. “Sejak dulu orang Solo tidak terbiasa ngopi,” katanya.
Lidah masyarakat Solo justru lebih terbiasa mencecap minuman teh. Hal itu tidak lepas dari keberadaan wedangan atau angkringan yang terdapat di setiap perkampungan. “Kalau wedangan kebanyakan minum teh,” katanya.
Sebenarnya, kondisi ini mirip dengan di Yogyakarta yang juga memiliki banyak tempat wedangan. Bedanya, Yogyakarta memiliki banyak pendatang, termasuk para mahasiswa dari berbagai daerah. “Mereka membuat kedai-kedai kopi selalu penuh pelanggan,” katanya.
Salah satu barista yang juga menjadi ketua panitia kegiatan itu, Jefri Aditya Jayadi juga menyatakan hal serupa. “Budaya minum kopi baru bisa berkembang dua tahun terakhir,” katanya.
Para pemilik kedai kopi pun juga harus meniru konsep pedagang wedangan untuk bisa mendekati masyarakat. “Tidak jarang dijumpai kedai kopi yang berlokasi di perkampungan,” katanya.
Persoalan harga juga menjadi salah satu strategi yang harus diperhatikan. “Harga juga seperti di wedangan. Bahkan masyarakat bisa menikmati kopi di hotel dengan harga di bawah Rp 20 ribu,” katanya.