Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ursula Yulita
Penikmat eco-tourism
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandar Udara Ngurah Rai Bali belum terlalu ramai ketika saya tiba di sana pada suatu pagi beberapa waktu lalu, jauh sebelum pariwisata Bali lesu dihantam virus corona. Kali ini saya pergi ke Bali untuk berkunjung ke sebuah desa yang menjanjikan pemandangan alam yang masih asri. Petualangan saya ditemani Bli Kadek, warga Desa Pemuteran, Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng, yang menjadi tujuan saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pintu keluar bandara, saya disambut Bli Kadek yang sudah menunggu sekitar satu jam. Tak berlama-lama, kami segera meluncur karena saya ingin melihat air terjun di Munduk, yang bisa disinggahi dalam perjalanan ke Pemuteran. Dalam perjalanan ini, kami melalui jalur Bedugul yang berkelok-kelok dengan pemandangan bukit dan danau, termasuk Danau Buyan dan Tamblingan, danau kembar yang terlihat eksotis saat diselimuti kabut.
Di sepanjang perjalanan, Bli Kadek banyak bercerita tentang Desa Pemuteran. Sebagian besar penduduk desa itu, kata dia, berasal dari Karangasem. Hal ini terjadi karena pada 1963, saat Gunung Agung meletus, banyak orang Desa Seraya dari Karangasem mengungsi ke Pemuteran, lalu memutuskan menetap di sini.
Penduduk pendatang itu membawa serta budaya mereka, seperti tarian Dewa Ayu—trance dance yang dipersembahkan untuk para dewa dan leluhur—karena itu bersifat sakral dan mistis. Tarian ini digelar, salah satunya, pada malam hari setelah Ngaben, upacara kremasi di Bali.
Setelah menempuh perjalanan lebih dari tiga jam, kami tiba di daerah dengan pemandangan bukit di sebelah kiri dan pantai di sebelah kanan. Nah, inilah Pemuteran.
Saya memilih tinggal di homestay, dengan kamar-kamar berupa bungalo yang mengelilingi taman. Saya ditawari segelas jus sebagai welcome drink di teras bungalo. Di sini juga disediakan pengisian air putih untuk mengurangi sampah plastik dari botol kemasan air mineral. Ada beberapa homestay di dekat pantai yang bisa dipilih, seperti Biorock Homestay, Putu Guest House, atau Pondok Rahayu.
Setelah check-in, saya segera berjalan menuju pantai. Hanya perlu dua menit untuk sampai ke Pantai Pemuteran. Sebenarnya, pantai ini merupakan teluk yang diapit dua bukit di kiri dan kanannya. Saya langsung jatuh cinta kepada ketenangan pantai berpasir hitam ini. Saya bisa menikmati pantai sambil berjemur, membaca buku, atau mengobrol di kafe di tepi pantai sambil minum segelas jus.
Perahu-perahu nelayan tampak terapung di air laut yang bening. Beberapa turis berjalan santai, atau duduk di beberapa kursi yang disediakan hotel dan restoran yang ada di tepi pantai. Sebenarnya saya ingin melihat sunset di pantai ini, tapi terhalang oleh bukit. Di Pantai Pemuteran, kita bisa melihat sunrise, sambil mendengarkan debur ombak yang menenangkan jiwa.
Matahari terbit juga bisa dinikmati dari puncak Bukit Ser yang berada di sisi barat Pantai Pemuteran. Malam itu saya habiskan dengan beristirahat di teras bungalo setelah makan malam di salah satu warung favorit di tepi jalan.
***
Pada pagi hari sekitar pukul 05.30 Wita, saya mulai berjalan menyusuri pantai ke arah Bukit Ser. Ternyata di area ini juga terdapat Taman Beratan, yang berupa taman mangrove, dan Romantic Beach. Di puncak Bukit Ser ada pura kecil yang menghadap ke laut. Pagi itu Teluk Pemuteran diselimuti kabut. Ketika matahari mulai muncul perlahan di ufuk timur, kian tinggi dan terlihat bulat sempurna, sinarnya memberikan bias warna oranye yang cantik di Teluk Pemuteran. Eksotis sekali.
Setelah puas menikmati sunrise, saya berjalan ke Romantic Beach. Di sana ada ayunan untuk mendapatkan foto yang romantis, apalagi saat sunset. Taman mangrove di kaki bukit juga memberikan pesona tersendiri saat matahari pagi mulai menyinari daun warna-warni yang berguguran. Saya lalu kembali ke homestay sambil memungut sampah yang terserak di pantai. Menurut salah seorang penduduk, sampah-sampah itu berasal dari laut, terbawa ombak. Penduduk Pemuteran sendiri punya kesadaran kuat untuk tidak membuang sampah sembarangan. Hotel, homestay, dan restoran di sana juga tidak memakai sedotan plastik lagi.
Pemandangan lain yang bisa kita lihat pada pagi hari adalah aktivitas para nelayan. Di sepanjang pantai terdapat rumah-rumah nelayan. Sebelum 2000, Pemuteran merupakan desa nelayan miskin. Para nelayan menangkap ikan dengan bom, sehingga terumbu karang rusak dan jumlah ikan semakin sedikit. Belum lagi pengaruh alam, seperti gelombang panas di laut, yang juga merusak terumbu karang.
Atas inisiatif sejumlah orang di Pemuteran yang peduli lingkungan, mereka mulai merestorasi terumbu karang dengan metode Biorock, dibantu oleh penemu metode tersebut, Prof Wolf Hilberts dan Dr Tom Goreau. Kini upaya tersebut menjadi kerja sama berbagai pihak, termasuk pemilik hotel dan nelayan di Pemuteran, yang tergabung dalam Yayasan Karang Lestari.
Teknologi Biorock merupakan metode pemulihan terumbu karang melalui proses penambahan mineral, dengan mengalirkan arus listrik bertegangan rendah pada kerangka baja yang telah dibentuk dan ditenggelamkan di dasar laut. Dengan metode ini, pertumbuhan karang terbukti menjadi jauh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan alami. Sampai saat ini, sudah ada lebih dari 100 struktur yang ditenggelamkan di bawah laut. Di antaranya barong, Rangda, dan gajah mina, yang membentuk taman bawah laut yang indah, dengan ikan warna-warni berenang di antaranya.
Kalau ingin tahu lebih banyak ihwal metode Biorock dan cara menanam terumbu karang pada struktur yang dibuat, bisa mampir ke kantor Biorock Center di tepi Pantai Pemuteran. Di sini ada program Biorock Introduction selama dua jam yang akan diakhiri dengan snorkeling di Pantai Pemuteran untuk melihat hasil konservasi yang mereka lakukan.
Semua peralatan snorkeling disediakan jika kita tidak membawanya sendiri. Kita juga bisa membantu kelangsungan konservasi ini dengan mengadopsi terumbu karang dan memberikan donasi tertentu. Penyelam dari Biorock akan menanam terumbu karang dengan nama kita di bawah laut, lalu memberikan laporan perkembangannya melalui e-mail.
Dengan usaha ini, kini Pantai Pemuteran menjadi desa wisata yang masuk 100 besar Destinasi Berkelanjutan di Dunia versi Global Green Destinations Days (GGDD) pada 2019. Namun konservasi terumbu karang di Pemuteran juga perlu terus disosialisasi ke masyarakat. Salah satunya dengan membuat festival tahunan Pemuteran Bay Festival. Festival yang memadukan budaya dan alam ini berlangsung sejak 2015.
Festival yang diadakan tiap Oktober itu menjadi pesta rakyat sekaligus promosi pariwisata Pemuteran. Ada banyak kegiatan di panggung besar di tepi pantai, seperti pentas tari, musik, permainan tradisional, beach cleaning, yoga, dan talk show, yang melibatkan penduduk setempat. Acara puncaknya adalah menurunkan struktur Biorock baru ke dalam laut, yang melibatkan para penyelam, baik dari Pemuteran maupun dari daerah lain di Bali.
Konservasi penyu juga dilakukan di pantai ini. Para nelayan dan penduduk yang menemukan telur penyu menjualnya ke Reef Seen, salah satu diving center yang melakukan upaya konservasi tersebut. Di sini telur-telur penyu ditetaskan. Lalu, setelah berumur tiga bulan, penyu itu dilepas ke laut. Untuk ikut berpartisipasi melepas tukik ke laut, dipungut donasi sebesar Rp 50 ribu dan Anda akan mendapatkan sertifikat.
Karena saat itu ada tukik yang bisa dilepas, saya melepaskan satu tukik yang saya pilih sendiri dari kolam. Setelah dilepas di pantai, tidak seperti tukik lainnya, tukik saya berjalan ke arah pantai, bukan ke laut. Untunglah, setelah beberapa kali terkena ombak, ia menyadari bahwa lautlah tempat hidupnya.
***
Untuk wisatawan yang menginap di Pemuteran, melakukan snorkeling di Pantai Pemuteran tidak dipungut biaya dan bisa dilakukan kapan saja. Beberapa hotel dan homestay bahkan menyediakan alat snorkeling gratis. Jika mau melakukan snorkeling atau diving di lokasi lain, berperahu saja ke Pulau Menjangan. Jarak tempuhnya sekitar 45 menit berlayar dari Pantai Pemuteran. Sesuai dengan namanya, pulau ini hanya dihuni oleh menjangan. Mereka bisa ditemukan di pantai, di bawah pohon, atau di sekitar beberapa bangunan. Terdapat beberapa spot untuk snorkeling di sini, dengan keunikan masing-masing.
Pantai pasir putihnya juga istimewa, dengan latar belakang Gunung Raung dan Gunung Ijen di Banyuwangi. Pulau ini juga penting untuk masyarakat Bali karena ada legenda tentang Dang Hyang Siddhimantra, putra kedua Mpu Tantular, yang menorehkan tongkatnya untuk memisahkan Pulau Bali dan Pulau Jawa, agar putranya tetap tinggal di Bali, tidak kembali ke Jawa. Di sinilah pura-pura tertua di Bali dapat ditemukan. Ada Pelinggih Betara Ganesa, dengan patung Ganesa berwarna putih setinggi 15 meter, yang bisa dilihat dari atas perahu di tengah laut.
Pura memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan orang Hindu Bali. Di Pemuteran terdapat beberapa pura besar dan banyak pura kecil, termasuk yang berada di atas bukit. Selain di Bukit Ser, ada pura kecil di Bukit Batu Kursi. Disebut demikian karena di dalam pura itu ada batu berbentuk kursi dan menjadi tempat berdoa untuk memohon jabatan.
Dari Pantai Pemuteran, kita bisa berjalan kaki sekitar 40-50 menit menuju tempat ini, atau menyewa sepeda dan sepeda motor di homestay. Lalu, kita harus menaiki lebih dari 300 anak tangga yang landai. Indah sekali melihat pura di atas bukit berbatu ini saat tertimpa sinar matahari sore. Dari sini kita juga bisa melihat Teluk Pemuteran dengan beberapa kapal yang mengapung di laut. Jika ingin melihat sunset, kita perlu mendaki bukit lagi untuk mendapatkan foto yang mengesankan.
Beberapa pura besar di Pemuteran berhubungan dengan seorang pendeta Hindu yang datang dari Jawa, Danghyang Nirartha. Pada awal abad ke-16, Nirartha sampai di Bali dan tinggal di tempat yang sekarang didirikan Pura Pulaki, yang berlatar belakang bukit. Konon, pada masa itu, monyet-monyet mengawal Nirartha masuk ke hutan, dan hingga saat ini mereka tetap menjadi penjaga pura. Karena itu, ada dua patung monyet di kaki patung Nirartha di atas bukit. Namun perlu berhati-hati dengan monyet-monyet ini karena mereka akan mengambil apa pun yang menarik perhatian mereka, seperti tas, kacamata, dan topi.
Di seberang Pura Pulaki terdapat Pura Pabean, yang langsung menghadap laut lepas, yang dibangun di atas tumpukan batu. Konon, pada masa lalu, di lokasi pura ini berdiri kantor pabean, tempat para pelaut dari luar Bali membayar bea masuk. Bukan hanya pelaut dari daerah lain di Nusantara, melainkan juga dari Cina. Karena itu, tidak mengherankan jika di lokasi pura ditemukan peralatan makan dan kerangka yang mengenakan gelang dari masa Dinasti Yim, 2500 SM. Percampuran budaya ini terlihat dari arsitektur Pura Pabean yang kental akan nuansa Cina.
Pura lain yang masih berhubungan dengan Nirartha adalah Pura Melanting. Konon, putri tertua Nirartha, Ida Swabawa, yang memiliki keahlian berdagang, berubah wujud menjadi Dewi Melanting. Pura cantik yang dikelilingi bukit ini merupakan tempat penting untuk memohon kemakmuran, kesuburan, dan keselamatan serta agar dilancarkan dalam usaha dagang.
***
Upacara adat juga menjadi bagian dari keseharian orang Bali. Sebagai wisatawan, kita boleh mengikuti upacara adat mereka asalkan tidak mengganggu. Seperti di pura, saat mengikuti upacara adat, kita juga wajib mengenakan sarung. Pagi itu, saya mengikuti upacara Ngaben jenazah salah satu kerabat dekat Bli Kadek. Saya mengikuti prosesi membawa jenazah ke lokasi Ngaben. Saya menunggu di tepi jalan di dekat homestay, lalu masuk ke barisan, di belakang pembawa gamelan. Jenazah dibawa dengan keranda, dengan dua anak kecil duduk di atasnya. Biasanya mereka adalah anak atau cucu paling kecil, semacam simbol agar dibukakan jalan menuju tempat terbaik di dunia sana.
Setelah sampai di lokasi Ngaben, jenazah dipindahkan ke keranda berbentuk gajah. Saya mengikuti upacara ini sampai abu jenazah dilarung di laut. Malam harinya, saya pergi ke rumah duka. Akhirnya, saya bisa melihat langsung tarian Dewa Ayu di sana. Para penari bisa siapa saja yang hadir saat itu, dari segala usia. Saat mereka mengalami trance, mereka mengambil keris, menari mengikuti alunan gamelan Bali yang dinamis, dan menusukkan keris itu ke dada mereka tanpa cedera sama sekali. Setelah selesai menari, mereka dipapah keluar dari arena dan diberi minum air suci agar sadar kembali.
Keunikan dan keramahan masyarakat Pemuteran memang membuat betah, sehingga saya juga menikmati saat berjalan-jalan di permukiman penduduk. Sebagai desa wisata, ada beberapa kafe dan toko suvenir di dalam permukiman. Hampir semua kafe menyediakan masakan Bali, Indonesia, Asia, dan Eropa. Tempat ini memang banyak didatangi turis Eropa.
Karena Pemuteran merupakan daerah nelayan, menu ikan selalu ada, termasuk ikan mahi-mahi yang menjadi favorit turis mancanegara. Menu vegetarian juga mudah didapat. Kalau ingin makanan rumahan, ada warung nasi rames yang murah meriah dan ayam betutu yang endeus. Berapa hari sebaiknya berwisata ke Pemuteran? Entahlah, rasanya tak pernah cukup. Saya selalu menemukan alasan untuk kembali lagi ke sini.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo