Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Polio Kembali Mengancam

Kasus polio terbaru kembali ditemukan di Jawa Timur pada 4 Januari lalu. Indonesia sejatinya merupakan negara bebas polio.

10 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Setelah temuan dua kasus di Jawa Tengah, pemerintah memastikan satu anak di Jawa Timur terkena penyakit lumpuh layu akibat polio.

  • Kondisi ini ironis karena Indonesia dinyatakan bebas polio sejak 2014.

  • Salah satu penyebab kemunculan kembali polio adalah rendahnya cakupan vaksinasi.

JAKARTA - Virus polio kembali menjadi ancaman. Setelah muncul dua kasus lumpuh layu atau acute flaccid paralysis di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada akhir bulan lalu, pada 4 Januari 2024, terkonfirmasi satu lagi kasus di Jawa Timur. Ironis, karena Indonesia telah dinyatakan bebas polio oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertanyaannya, mengapa polio bisa muncul kembali di Indonesia yang berstatus eradikasi? Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mahesa Pranadipa menduga penyebab utamanya adalah rendahnya cakupan vaksinasi polio. “Dari data Kementerian Kesehatan, cakupan imunisasi polio di Indonesia menurun sejak masa pandemi Covid-19,” ujar Mahesa kepada Tempo, Senin, 8 Januari 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penurunan cakupan vaksinasi itu meliputi vaksin polio oral (OPV) dan suntik (IPV) selama dua tahun terakhir. Pada 2020, misalnya, cakupan vaksinasi polio OPV 86,8 persen dan menjadi 80,2 persen pada tahun berikutnya. “Banyak daerah yang kurang dari 50 persen,” katanya.

Ilustrasi anak penderita polio. Dok. TEMPO/ Arie Basuki

Menurut Mahesa, seseorang bisa terkena virus polio jika belum mendapat vaksinasi lengkap dan/atau akibat buruknya sanitasi. Sebab, penularan virus ini terbilang mudah, yakni melalui kontak orang ke orang. Virus polio berkembang di usus dan keluar lewat feses. Mahesa menyebutkan lalat juga secara pasif dapat memindahkan virus polio dari feses ke makanan.

Kasus terbaru di Jawa Timur dialami oleh anak laki-laki berusia 3 tahun 1 bulan. Anak berinisial MM tersebut mengalami lumpuh sejak 6 Desember 2023. Namun ia baru diketahui terkonfirmasi virus polio setelah mendapat hasil pemeriksaan di Laboratorium Rujukan Polio Nasional Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK), Surabaya dan sequencing dari Laboratorium Bio Farma, Bandung, pada awal bulan ini.

Seperti ditayangkan pada situs web Kementerian Kesehatan, pasien MM telah mendapat empat kali imunisasi polio tetes dan satu kali polio suntik. Maka anak itu seharusnya mendapat satu kali lagi polio suntik. Polio suntik sendiri diberikan sebelum anak menginjak usia 1 tahun.

Pada kasus lain di Jawa Tengah, pasiennya adalah anak berinisial MAF, 1 tahun 11 bulan. Dia lumpuh sejak 22 November 2023. Tidak seperti MM, MAF sudah menerima vaksinasi polio lengkap, namun ia mengalami malnutrisi. 

Menurut Mahesa, seseorang yang sudah menerima vaksin lengkap, tapi mengalami gizi buruk tetap berpeluang terinfeksi. “Karena pada anak gizi buruk, ada kemungkinan pembentukan kekebalan pasca imunisasinya butuh waktu lama,” ujarnya. 

Kasus lumpuh layu pertama pada rangkaian kasus terbaru ini dialami oleh NH, anak perempuan 6 tahun di Jawa Tengah. Dia kehilangan kemampuan berjalan pada 20 November 2023 dengan riwayat imunisasi polio tetes (OPV) hanya dua kali. 

Mahesa mengatakan sejatinya hanya sebagian kecil dari orang yang terinfeksi virus polio mengalami kelumpuhan. Perbandingannya 1 : 200. “Tidak ada yang tahu alasannya,” ujarnya. Menurut Mahesa, kebanyakan kelumpuhan disebabkan oleh serangan virus polio pada kaki. Secara umum, dia melanjutkan, orang yang terinfeksi virus polio tidak memiliki gejala—kalaupun ada, sangat ringan. Virus ini memiliki masa inkubasi 3-6 hari, lalu kelumpuhan umumnya terjadi pada hari ke-7 hingga ke-21.

Meski risiko lumpuhnya kecil, virus polio tetap harus diwaspadai. Mahesa mengatakan, 5 sampai 10 persen di antara mereka yang lumpuh bisa meninggal karena otot pernapasan tidak bisa digerakkan akibat serangan virus. Adapun risiko kelumpuhan bisa meningkat karena beberapa faktor, seperti defisiensi imun, kehamilan, pengangkatan amandel (tonsilektomi), konsumsi obat-obatan, serta cedera dan olahraga berat.

Terdapat sejumlah gejala yang perlu orang tua amati pada anak. Gejala yang muncul pun berbeda pada tiap jenis polio. Misalnya pada polio non-paralisis. Jenis polio ini tidak menyebabkan kelumpuhan, hanya gangguan penyakit ringan. Jika terinfeksi, gejala yang ditimbulkan ialah muntah, lemah otot, demam, meningitis, letih, sakit tenggorokan, sakit kepala serta kaki, tangan, leher, dan punggung terasa kaku dan sakit.

#Info Kesehatan 5.1.1-Setelah Indonesia Bebas Polio

Sementara itu, kasus polio paralisis cukup jarang terjadi dan menyebabkan kelumpuhan. Gejala yang muncul berupa sakit kepala, demam, lemah otot, kaki dan lengan terasa lemah, dan kehilangan refleks tubuh. Lalu ada sindrom pasca-polio, yakni seseorang berisiko mengalami kelumpuhan setelah serangan virus berlalu. Gejalanya meliputi kesulitan bernapas atau menelan, sulit berkonsentrasi, lemah otot, depresi, gangguan tidur dengan kesulitan bernapas, mudah lelah, serta massa otot tubuh menurun. “Karena kelumpuhan penderita polio sulit diprediksi pasti terjadi sehingga pencegahan kelumpuhan ketika sudah terinfeksi sulit dilakukan,” ujarnya. 

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan tiga anak pasien penyakit polio sudah dipulangkan dan melanjutkan pengobatan lewat rawat jalan. Menurut dia, kondisi ketiga anak tersebut masih lemas dan tidak bisa berjalan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, mereka masih berpeluang untuk sembuh. "Dalam kasus polio, ada juga yang enggak bisa sembuh, masih meninggalkan kecacatan,” kata Siti Nadia.

Balita mendapat vaksin polio di Puskesmas. TEMPO/Prima mulia

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan polio adalah salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Ia mengatakan penyakit ini dapat menular melalui air yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung virus polio.  

Menurut Maxi, selain akibat rendahnya cakupan imunisasi, risiko penularan virus polio meningkat karena beberapa faktor. Misalnya, kondisi kebersihan lingkungan dan perilaku hidup bersih yang kurang baik, seperti buang air besar (BAB) sembarangan. Untuk mencegah terjadinya penularan, Kementerian  Kesehatan pun menginstruksikan seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mendapat dua dosis imunisasi polio tetes tambahan. Pemberian vaksin polio itu akan dilakukan berbarengan dengan kegiatan Sub Pekan Imunisasi Nasional (Sub PIN) pada Senin, 15 Januari 2024.

Sekretaris Jenderal Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia Erfen Gustiawan Suwangto menyatakan vaksin polio merupakan kebutuhan mendasar bagi anak, asalkan dalam dosis yang tepat. Sebab, dua vaksin polio hanya efektif mencegah infeksi sekitar 90 persen. “Kalau vaksin tiga kali jadi 99-100 persen efektif,” ujarnya. Ia menyebutkan polio adalah salah satu jenis vaksin yang wajib diberikan kepada anak. 

JIHAN RISTIYANTI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus