Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dilansir dari Jurnal Mahasiswa Komunikasi Cantrik, Voyeurism adalah perilaku seseorang yang memiliki minat berlebih untuk melihat atau mengobservasi orang lain. Kegiatan ini dilakukan secara sadar dan sering dilakukan oleh seseorang dengan berbagai macam motif mulai dari mengisi waktu senggang hingga memenuhi hasrat seksual pelaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Voyeurism sendiri dapat terjadi karena faktor internal yang mendorong seseorang untuk melakukan voyeurism. Faktor ini muncul sebagai insting atau perasaan secara spontan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Clay Calvert dalam Voyeur Nation mengatakan bahwa kegiatan voyeurism lebih mengarah pada konsumsi yang berlebihan pada suatu gambar dan informasi tentang orang lain sehingga akan tampak nyata serta akan menyalah artikan identitas seseorang melalui media dan Internet. Lebih lanjut, Calvert menjelaskan bahwa gambar dan informasi tentang orang lain inilah yang nantinya menuntun kita untuk menikmati citra hidup orang lain yang sengaja dipertontonkan oleh media, khususnya televisi dan media sosial.
Internet kemudian membuat voyeurism berkembang menjadi apa yang dinamakan sebagai voyeurism termediasi. Internet dan media sosial menjadi ruang bagi praktik-praktik mengintip (voyeurism). Media juga menjadi surga yang memfasilitasi para stalker, orang yang melakukan kegiatan voyeurism, untuk melancarkan aksinya.
Dengan bermodalkan Internet, para stalker dapat melakukan pencarian apa saja yang ia kehendaki. Perilaku bermedia sosial seseorang yang sering mengumbar kegiatan pribadi juga menjadi bahan bakar bagi para stalker untuk terus mengintip secara terus-menerus.
Sayangnya, kegiatan voyeurism ini lebih memberikan dampak negatif daripada positif. A.H. Ningtyas dalam skripsinya di digilib.uns.ac.id, mengatakan bahwa perilaku voyeurism ini erat kaitannya dengan teori uses and gratification di mana pelaku voyeurism akan mencari konten yang sesuai dengan keinginannya, dan berharap hal itu dapat memberikan kepuasan tersendiri. Hal ini membuat pelakunya mengalami kecanduan.
S.P. Green dalam artikelnya berjudul “To See and Be Seen: Reconstructing the Law of Voyeurism and Exhibitionism” bahkan mengatakan bahwa tindakan voyeurism merupakan gangguan mental yang ditandai dengan praktek seksual yang menyimpang. Hal ini karena korban voyeurism masuk dalam wilayah fantasi pelaku. Hal ini kemudian diperparah dengan kemunculan media Internet.
NAUFAL RIDHWAN ALY