Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gurun Pasir Dubai memiliki pesona wisata yang menarik.
Wisatawan bisa menjajal balon udara hingga Land Rover Defender klasik bak terbuka.
Ada pula oryx, binatang menyerupai rusa yang dilindungi.
MENJELAJAHI gurun pasir menjadi pengalaman paling saya nantikan dalam tujuh hari perjalanan ke Dubai, Uni Emirat Arab, pada pertengahan Maret lalu. Saya bersama empat jurnalis dari Indonesia dijadwalkan ke sana pada pagi hari supaya bisa melihat indahnya matahari terbit dari angkasa, naik balon udara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak malam sebelum keberangkatan, Aliya, yang mewakili Department of Economic and Tourism (DET) Dubai di Indonesia, sudah mewanti-wanti jangan sampai kami terlambat bangun karena perjalanan ini akan dimulai dinihari. Jika terlambat, kami bisa melewatkan momen itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu tak ada yang mau melewatkan kesempatan itu meski berarti kami harus melawan kantuk. Sebelum pukul 04.00 keesokan harinya, kami berlima, ditambah dengan Aliya, sudah berkumpul di lobi Rove City Walk, hotel tempat kami menginap di Al Wasl, dekat pusat kota. Di sana sudah ada Nikki, pemandu dari Platinum Heritage, salah satu operator tur safari gurun Dubai.
Operator ini juga menawarkan safari gurun sore hari untuk menjelajah padang pasir dengan Land Rover klasik dan menikmati matahari terbenam yang indah sambil menyaksikan pertunjukan elang. Tamu juga akan diajak makan malam ala Arab dan melihat bintang-bintang di langit. Namun balon udara hanya ada pada pagi hari.
Perjalanan dari hotel dimulai sekitar pukul 04.00. Dari informasi yang saya dapat sebelumnya, butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai ke gurun. Kami berkendara ke arah tenggara melewati jalanan Dubai yang mulus dan sedikit berkabut.
Balon udara di atas Dubai Desert Conservation Reserve, Dubai, Uni Emirat Arab, pada Maret 2024. Mila Novita
Gemerlap Kota Dubai lenyap sudah ketika kami tiba di gurun. Tak ada lampu-lampu kota dan gedung-gedung tinggi. Hanya ada padang pasir luas dan gelap. Nikki menghentikan mobilnya, lalu meminta kami turun. Di depan kami, sudah ada sekelompok orang berselimut kain berkerumun di bawah sebuah lampu kecil yang dipasang pada tiang besi.
Begitu turun dari mobil, saya langsung merasakan udara gurun pagi hari yang dingin menembus kulit. Pengukur suhu di ponsel menunjukkan angka 15 derajat Celsius, tapi Nikki mengatakan suhu sebenarnya bisa jadi lebih dingin dari itu. Di gurun-gurun lain, seperti Sahara di Afrika, suhu udara pada malam atau dinihari bisa mencapai 4 derajat Celsius. Butuh jaket dan selimut untuk menghangatkan tubuh. Namun, di sini, jaket yang saya bawa dari hotel saja sudah cukup.
***
GURUN itu merupakan bagian dari Dubai Desert Conservation Reserve atau DDCR. Cagar alam ini memiliki luas total 225 kilometer persegi atau sekitar 5 persen dari keseluruhan luas Dubai.
Padang pasir ini bagian dari Rub al-Khali atau Empty Quarter, gurun terbesar di dunia yang luasnya mencapai 650.000 kilometer persegi. Sebagian besar Rub al-Khali berada di Arab Saudi, sebagian lainnya berada di wilayah Oman, Yaman, dan Uni Emirat Arab. Pada zaman dulu gurun ini merupakan rumah suku Badui yang hidupnya berpindah-pindah.
"Ayo kemari bergabung dengan yang lain, kita akan briefing dulu," kata Nikki memanggil kami yang masih berdiri di dekat mobil. Suaranya yang lantang seolah-olah berasal dari jauh, padahal hanya berjarak beberapa meter.
Seorang kru dari Platinum Heritage berdiri di tengah-tengah kami yang berkerumun. Dia menjelaskan aturan menaiki balon udara ini. Kami diminta selalu mengenakan sabuk pengaman. Ketika mulai mengudara atau akan mendarat, kami tidak boleh memegang apa pun kecuali sabuk yang menempel pada keranjang. Saya agak tegang membayangkan naik balon udara setelah mendengarnya.
Pemandangan gurun pasir Dubai dari balon udara pada Maret 2024. Mila Novita
Tak jauh dari tempat kami, kru lainnya tengah mempersiapkan balon tersebut. Suara mesinnya berderu memecah keheningan gurun. Sesekali mereka menyalakan api dengan gas agar balon yang warnanya menyerupai bendera Uni Emirat Arab itu bisa membesar dan berdiri tegak.
Sebuah keranjang rotan besar dipasang di bawah, lalu kami diminta menaikinya. Tidak ada tangga, tapi keranjang ini memiliki beberapa tumpuan kaki untuk memudahkan penumpang naik. Ada lima bilik di keranjang itu, dua di sisi kanan dan dua di sisi kiri. Setiap bilik bisa diisi lima penumpang. Satu lagi di tengah khusus untuk pilot, tepat di bawah balon.
Pilot kami berparas bule, namanya Vytautas Samarinas. Dia berasal dari Lituania, negara Baltik terbesar di utara Eropa. Sebagai pilot balon udara, dia sudah punya ribuan jam pengalaman terbang. Di Eropa, dia juga menjalankan perusahaan wisata balon udara, tapi pada awal musim semi biasanya vakum karena cuaca tidak mendukung. Saat itulah dia bisa ke Dubai.
"Hari ini sangat tenang. Kita akan terbang dengan altitude maksimum 4.000 kaki (1.219 meter)," kata dia sambil mulai menyalakan burner supaya balon bisa naik.
Sekitar pukul 05.30, balon kami mulai naik ke udara pelan-pelan. Keranjang yang kami naiki sedikit bergoyang ketika meninggalkan daratan.
Dilihat dari ketinggian, padang pasir ini ternyata tidak benar-benar tandus seperti yang saya bayangkan. Banyak area yang ditumbuhi rumput. Bahkan ada yang terlihat hijau subur dengan banyak pepohonan dan rumput yang lebih lebat. Ada juga beberapa bangunan serupa vila dikelilingi taman dan kolam di tengah gurun. Menurut Samarinas, bangunan itu merupakan rumah atau vila milik Emirati, sebutan untuk penduduk asli Uni Emirat Arab.
Sesekali kapten yang sudah berpengalaman 23 tahun itu menyalakan burner agar balon bisa naik lebih tinggi. Ketika makin tinggi, pemandangan padang pasir itu hilang digantikan awan putih yang luas. Inilah pemandangan yang paling dinanti. Matahari muncul berlahan-lahan di batas cakrawala, langit pun makin jingga dan akhirnya terang benderang. Para penumpang, yang sebagian turis dari Eropa, memegang kamera dan ponsel untuk mengabadikan momen ini.
Perjalanan ke Dubai
Perjalanan pagi ini begitu mulus karena angin tidak terlalu kencang. "Di sini, kita hanya bisa terbang pada pagi hari karena jika sore, anginnya terlalu kencang," kata Samarinas.
Setelah matahari makin naik, Samarinas mulai menurunkan balon. Pemandangan padang pasir yang tadi hilang tertutup awan mulai terlihat lagi.
Samarinas menjelaskan bahwa setiap kapten sudah memiliki rencana perjalanan, termasuk tempat pendaratan. Namun, karena balon udara terbang dipengaruhi oleh angin sehingga tidak mudah dikendalikan seperti pesawat, kadang-kadang lokasi pendaratan bisa melenceng dari rencana awal.
Pendaratannya agak mengejutkan. Setelah kami diminta bersandar ke dinding keranjang, tiba-tiba terasa guncangan keras. Kami pun mendarat dalam posisi miring sehingga semua penumpangnya jatuh terbaring. Sebenarnya bisa saja Samarinas mendarat dengan keranjang tetap tegak, tapi dia ingin pengalaman naik balon udara ini menjadi tidak terlupakan bagi kami. Petualangan dengan balon udara ini pun kami akhiri dengan tawa.
***
DI lokasi pendaratan, Nikki sudah menanti. Kali ini dia tidak membawa mobil yang kami tumpangi dari kota tadi, melainkan Land Rover Defender klasik bak terbuka berwarna hijau tua metalik dengan sebuah ban di atas kapnya. Land Rover ini merupakan salah satu jenis kendaraan mewah pada masanya dan mulai diperkenalkan ke gurun pada 1948.
"Tunggu teman saya satu lagi, dia nyasar," ujar Nikki tertawa. Dia membawa beberapa botol hitam berisi air putih dingin yang dibagikan kepada kami satu per satu.
Land Rover Defender klasik bak terbuka yang membawa wisatawan menjelajahi gurun di Dubai, Maret 2024. Mila Novita
Nikki mengatakan tempat pendaratan kami ini bukan lokasi yang direncanakan awalnya. Itu sebabnya temannya tersasar di tengah gurun. Namun tak lama kemudian, teman Nikki tiba. Dia mengendarai Land Rover berwarna biru, disusul mobil-mobil lain.
Satu mobil bisa ditumpangi tiga orang, satu orang di depan bersama sopir dan dua orang di belakang. Mobil kami yang tua tapi tangguh ini melaju membelah gurun cokelat keemasan, mengikuti jalan yang terbentuk secara alami.
Padang pasir pagi itu mulai terasa panas ketika matahari bertambah tinggi. Pemandangan yang subuh tadi terlihat samar, kini lebih jelas. Sejauh mata memandang hanya ada padang pasir berwarna keemasan yang ditumbuhi rumput hijau, sesekali ada perdu.
Tak sampai 10 menit, kami tiba di Bedouin camp atau perkemahan suku Badui. Di sini, kami akan menyantap sarapan dan mencoba merasakan secuil budaya suku Badui yang dulu hidup di gurun ini.
Terinspirasi dari kehidupan nomaden suku Badui, perkemahan ini dikelilingi pagar kayu dengan gerbang lebar yang dihiasi pohon palem khas gurun. Di balik pagarnya terdapat beberapa tenda yang didirikan sejajar membentuk huruf L. Ukurannya berbeda-beda. Kesamaan tenda-tenda ini adalah dinding dan lantainya berlapis permadani dengan warna kombinasi merah serta krem. Di depan tenda-tenda itu juga digelar permadani yang di atasnya diisi kursi-kursi lantai khas Arab.
Kami ditawari sarapan ala gurun, seperti shakshouka atau telur ceplok dengan saus tomat dan bawang, ditemani segelas karak, campuran teh dengan susu yang ditambah rempah. Ada juga sandwich dan aneka pastry.
Nikki, yang tahu saya dan beberapa teman sedang berpuasa Ramadan, menawarkan aktivitas lain di sekitar perkemahan, yakni menunggang unta dan berfoto dengan falcon, jenis elang yang menjadi simbol negara Uni Emirat Arab.
Oryx, hewan nasional Uni Emirat Arab, yang hidup di gurun Dubai, Maret 2024. Mila Novita
Unta menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Badui yang tidak terpisahkan. Bangsa nomaden ini mengandalkan unta bukan hanya sebagai alat transportasi saat harus berpindah, tapi juga untuk kebutuhan lain. Semua bagian tubuh unta, dari daging, kulit, sampai susunya, bisa sangat berguna di gurun. Karena begitu pentingnya unta, sampai-sampai mereka memberi nama hewan-hewan ini.
Unta yang saya naiki pagi itu bernama Jamal, satu dari beberapa unta yang disiapkan untuk kami. Saya tidak bisa membedakannya dengan unta-unta lain di sana, kecuali dari penutup mulutnya yang terbuat dari bahan rajutan. Jamal masih terduduk di pasir ditemani seorang gembala lokal ketika saya mencoba menaikinya. Tak sulit untuk naik karena terdapat tangga kecil di dekatnya. Ketika saya akhirnya sudah duduk di punggungnya yang dilapisi kain, tiba-tiba unta itu berdiri tanpa instruksi. Kalau saja tidak berpegangan, mungkin saya sudah terjatuh.
***
Selesai sarapan ala Badui, Nikki kembali mengajak kami menjelajah gurun dengan Land Rover. Di tengah perjalanan tiba-tiba dia menghentikan mobilnya.
"Saya melihat kelinci," kata dia. Matanya awas memandangi rumput di pinggir jalan. "Ah, ternyata cuma kucing liar," ujar dia tertawa melihat seekor binatang berbulu keluar dari rumput.
Kami pun melanjutkan perjalanan sebelum kembali berhenti. Kali ini Nikki mengajak kami singgah di kandang oryx. Binatang menyerupai rusa ini merupakan hewan nasional Uni Emirat Arab yang dilindungi. Menurut Nikki, hewan ini hampir punah pada 1970-an dan hanya tersisa beberapa ekor di alam liar. Pemerintah Uni Emirat Arab pun mengirim oryx ke Phoenix di Arizona, Amerika Serikat, untuk dikembangbiakkan.
"Setelah 10 tahun, program breeding ini sukses. Lalu mereka membawanya pulang ke sini dan memperkenalkannya kembali ke alam liar," tutur Nikki.
Penjelajahan dengan Land Rover berakhir di titik awal tempat kami naik balon udara. Di sana, kami berganti mobil untuk kembali ke pusat kota Dubai. Seperti pagi tadi, perjalanan pulang ke pusat kota juga lancar. Sekitar pukul 10.00, kami sudah tiba di hotel. Total perjalanan gurun pasir ini hanya sekitar lima jam, tapi pengalamannya patut dikenang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo