Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Palembang - Sumatera Selatan sebagai daerah penting dalam dunia konservasi di Indonesia. Di wilayah ini masih tersimpan keanekaragaman hayati yang perlu dikenal utamanya generasi milenial dengan berwisata. Ada jelajah harimau di Suaka Margasatwa Dangku dan monyet ekor panjang di Taman Wisata Alam Punti Kayu serta beruang madu di Suaka Margasatwa (SM) Bentayan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara untuk fauna, di wilayah-wilayah tertentu masih dijumpai padma raksasa, kantong semar, dan aneka ragam bunga anggrek. Juga terdapat tumbuhan bawah seperti rotan, resak, pandan da semak belukar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel Ujang Wisnu Barata mengatakan bahwa wilayah kerja seksi konservasi terbagi menjadi wilayah I-III. Pada seksi konservasi wilayah I meliputi Bentayan, Dangku Desa Simpang Tungkal, Dangku Desa Talang Buluh dan Taman Wisata Alam Punti Kayu. Setiap wilayah memiliki ciri khas tersendiri.
“Di SM Dangku misalnya dengan ke khasannya berupa jelajah harimau, beruang, bermacam burung, dan siamang,” katanya Jumat, 12 Januari 2024.
Setiap wilayah konservasi terdapat zona pemanfaatan jasa lingkungan yang salah satunya bisa dijadikan objek wisata alam dan wisata pendidikan.
Berikut ini keanekaragaman hayati yang tersembunyi di belantara seksi konservasi wilayah I
1. Pengamatan burung di Bentayan
Suaka Margasatwa Bentayan termasuk dalam kelompok hutan hujan tropis dataran rendah. Di sini terdapat potensi flora seperti meranti, pulai, durian, jelutung, petai hutan hingga tembesu. Sedangkan untuk kekayaan faunanya berupa beruang madu, tupai, musang hingga monyet ekor panjang.
Potensi wisata alam yang layak untuk dikembangkan di SM Bentayan meliputi pengamatan burung dan berburu foto. Untuk tiba pos di Pununduan, SM Bentayan dibutuhkan waktu sekitar 5 jam perjalan darat dari Kota Palembang ke arah Jambi dengan jarak sekitar 162 kilometer.
Suaka Margasatwa Dangku, Sumatra Selatan menyimpan potensi jasa lingkungan berupa wisata terbatas untuk fotografi, pengamatan burung dan susur hutan. Tampak dalam gambar saat pelepasliaran Owa Siamang beberapa waktu yang lalu di dalam kawasan. TEMPO/Parliza Hendrawan
2. Jelajah Harimau di Dangku
Suaka Margasatwa Dangku menurut Ujang Wisnu Barata memiliki ciri khas berupa jelajah harimau, beruang, bermacam burung, dan juga siamang. Potensi keanekaragaman hayati tersebut di dukung dengan flora yang sebagian besar masih terjaga dan tumbuh dengan baik seperti bayam-bayam, durian, jelutung, kerlim, laban, ramin, hingga mahang.
SM Dangku berada di empat kecamatan di Kabupaten Musi Banyuasin, antara lain Bayung Lincir, Tungkal Jaya, Batanghari Leko, dan Keluang. Di desa-desa penyangga sekitar SM Dangku juga masih bisa dijumpai beragam flora dan fauna.
3. Monyet ekor panjang di Punti Kayu
Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu berada persis di dalam Kota Palembang, Sumatera Selatan. TWA seluas 98 hektare ini merupakan kawasan register 51 yang ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi pada 13 Februari 1937. Pada perkembangan, Punti Kayu ditetapkan sebagai TWA dengan luas hampir 50 hektare.
Meskipun lokasinya berada persis di tengah kota yang berdekatan dengan kawasan permukiman, perkantoran dan jalan raya, TWA Punti Kayu menyimpan potensi keanekaragaman hayati mulai dari flora dan aneka fauna.
Ujang Wisnu menjelaskan, kekayaan tersebut seperti jenis biawak, primata, monyet ekor panjang, serta pohon eksotis pinus. “Sejak zaman Belanda di sana dijadikan sebagai kebun percontohan Pinus. Jadi di sana sebagian besar tanaman eksotis,” kata Ujang.
Kekayaan hayati yang sampai sekarang masih bisa dijumpai di sana antara lain beragam jenis burung. “Nantinya kita akan lepaskan burung burung dengan konsep pemulihan ekosistem, menanam, sekaligus melepasliarkan satwa asli di situ,” ujarnya.
BKSDA Sumsel membawahi beberapa Suaka Margasatwa seperti Dangku, Bentayan, Isau-isau, Gumay, Gunung Raya, Padang Sugihan.
Sementara itu, Anjas Tuberlani, Kepala resor TWA Punti Kayu menjelaskan, berdasarkan sejumlah kajian dan penelitian, di sana masih bisa diidentifikasi 71 jenis pohon dengan 27 famili.
Beberapa famili yang dimaksud di antaranya fabaceae , myrtaceae, verbenaceae, mirnosaceae, arecaceae, dan meliacea. Adapun potensi fauna yang sudah teridentifikasi termasuk beragam jenis mamalia, burung.
Berdasar pada identifikasi yang dibukukan pada 2017, untuk mamalia yang sudah teridentifikasi meliputi monyet ekor panjang, babi hutan. Sementara herpetofauna atau binatang melata yang di dalamnya berupa jenis amfibi dan reptil yang sudah teridentifikasi antara lain ular hijau, ular kobra, ular sanca, biawak, kadal, serta kodok.
Sedangkan jenis burung yang dilindungi meliputi elang bondol, elang brontok, cekakak sungai, cekakak belukar. Berikutnya diidentifikasi beberapa jenis serangga semacam capung jarum, capung tonggeret.
Pinus Zaman Belanda
Sementara itu Raden Azka, manajer TWA Punti Kayu menjelaskan pihaknya sejak beberapa tahun lalu dipercaya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengelola Punti Kayu sebagai tempat wisata. Di dalam kawasan seluas 39.9 hektare ini masih bisa dijumpai beragam satwa yang tidak dilindungi dan pohon-pohon pinus berusia puluhan tahun.
Melalui PT Indosuma Putra Citra (IPC), sejak tahun 1999 kawasan ini diusahkan sebagai objek wisata. Mereka tetap menjaga keasrian hutan. Ketika ada pengusaha yang ingin membangun hotel dan mall, Raden menolaknya. “Kami pertahankan konservasinya, pohon, hewan,” katanya.
TWA Punti Kayu, kata Raden, didominasi oleh pohon pinus karena merupakan lahan percobaan tanaman pinus pada masa pendudukan Belanda pada 1920-1928. Setelah Indonesia merdeka, pengelolaanya diambil alih oleh Kementerian Kehutanan. Sejak itu pemerintah mulai menanam tanaman selingan dan tanaman buah seperti jambu, rambutan, matoa.
PARLIZA HENDRAWAN