Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Jual Perangko ke Turis: Sir, Buy Me Please

Di Ngargogondo, Magelang, Anda bisa berwisata sambil belajar berbahasa Inggris. Usai berlibur, cas cis cus Inggris dijamin lancar.

16 Juli 2019 | 10.13 WIB

Hani Sutrisno, pendiri sekaligus Direktur Desa Bahasa. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Perbesar
Hani Sutrisno, pendiri sekaligus Direktur Desa Bahasa. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pagi nan riuh itu, sekelompok orang berbagai usia berbaris ke belakang. Barisan yang tak rapi itu, adalah sekumpulan wisatawan yang ingin bersantai sekaligus belajar ngomong Inggris di Desa Bahasa, Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dengan aba-aba berbahasa Inggris, Azis, si pemandu memberi aba-aba dengan bahasa Inggris. Mereka kompak lencang depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Go to forward!” teriak Azis.

Setiap peserta meneriakkan kata yang sama sambil melompat ke depan. Begitu juga dengan aba-aba go to back, go to left, atau pun go to right. Konsentrasi diperlukan untuk meneriakkan kata sembari menggerakkan badan sesuai kata yang diucapkan dengan tepat.

Apabila tak fokus, semisal saat instruksi “go to right” acapkali badan malah melompat ke samping kiri. Sanksinya, gincu pun dicorengkan di pipi. Mereka belajar dengan riang gembira.

Begitulah keseruan berlatih Bahasa Inggris di Desa Bahasa, Kamis, 11 Juli 2019 lalu. Tak memandang usia, anak-anak maupun orang tua berlatih dengan metode yang sama.

Desa Bahasa merupakan eco-tourism yang lahir dari keresahan Hani Sutrisno. Banyak turis berkunjung ke Candi Borobudur. Desanya yang bertetangga dengan Borobudur, memang menjanjikan pendapatan lebih. Namun tak bisa berkomunikasi dengan turis asing sama halnya menghadapi pepesan kosong.

“Dulu saya menjajakan kartu pos bilangnya, sir, buy me sir, buy me sir!” ucap Hani mengenang sambil tertawa. Hambatan komunikasi itu, membuat Hani bertekad bisa ber-cas-cis-cus Inggris dengan baik. Minimal dengan kemampuan Bahasa Inggris yang sederhana bisa untuk mencari duit. 

Hani tak egois. Ia pun membagi kemampuannya kepada warga. Awalnya mengajak anak-anak muda berlatih bersama. “Tapi banyak yang enggak mau. Enggak berani,” kata Hani.

Padahal untuk bisa berbahasa Inggris, Hani harus berjuang keras. Selain belajar secara otodidak, ia belajar di Kampung Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur. Selama enam bulan di sana, ia berlatih grammar atau struktur bahasa dengan penempatan subyek, predikat, dan obyek.

Namun, metode itu ia anggap sulit bila dilakoni warga desanya. Ia ingin para tetangganya bisa berbahasa Inggris tanpa dipusingkan dengan grammar. Untuk urusan satu ini, ia berkonsultasi dengan gurunya yang juga pendiri Kampung Inggris Pare, Muhammad Kalend Osen.

“Pak, anak muda di Borobudur dan di Pare kok berbeda ya? Iya, karena orang datang ke Pare kemauannya tinggi. Kalau ke Borobudur belum tinggi,” kata Hani mengisahkan percakapannya dengan Kalend. 

Atas bantuan Kalend, metode belajar grammar diganti dengan metode yang sederhana dan cepat. Peserta kursus belajar kosa kata atau vocabulary sambil bermain.

Pada 1998, Hani mulai mengajak warga belajar Bahasa Inggris lagi. Kali ini sasarannya para orang tua. Menurutnya, bila orangtua kursus bahasa Inggris, anak-anak mereka pun termotivasi.

Respon awalnya pun sama, menolak dengan alasan tak bisa. Hani tetap gigih merayu dengan mengatakan latihan cukup tiga kali saja dan gratis. Cara itu berhasil. Dalam pertemuan kursus kedua, salah satu perwakilan peserta dari orang tua menyampaikan permintaan. Mereka ingin kursusnya jangan cuma tiga kali, tapi diteruskan sampai mereka bosan.

“Akhirnya kursus sampai 2007. Yang bosan malah saya,” ucapnya lagi-lagi sambil tertawa.

Suasana tempat belajar Desa Bahasa di Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, 11 Juli 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Kursus Berbayar

Pada 2007-2012, kursus mati suri. Terlalu banyak warga yang rutin belajar hingga 400-an orang secara gratisan. Sementara Hani tak punya waktu untuk bekerja. Pada 2012, dia mulai membuka kursus berbayar. Sasarannya orang-orang di luar desanya. Khusus warga desa tetap digratiskan. 

“Ya, kan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan,” kata Hani yang telah mempunyai delapan pengajar.

Nah, untuk menyemarakkan wisata di luar Candi Borobudur, Hani mengembangkan konsep belajar sambil berwisata. Sasarannya meliputi anak-anak dan mahasiswa yang tengah liburan hingga pegawai kantoran.

Kelas yang dibuka pun cukup singkat, meliputi paket 6 hari, 10 hari, dan 1 bulan secara intensif. Kelas dibuka pukul 08.00-16.00 dan dilanjutkan 17.00-21.00. 

Metode belajar yang diterapkan pun sama, belajar sambil bermain dan berwisata. Tak heran ruang kelasnya berupa aula yang luas memanjang. Tak ada papan tulis, proyektor, atau pun alat mengajar lainnya. Tempat belajar pun merupakan tanah warisan seluas 2.700 meter persegi.

Hani pun berencana membeli lahan di belakangnya untuk wisata kelinci. “Jadi peserta ngasih makan kelinci sambil berbahasa Inggris,” kata Hani.

Tak heran, untuk menikmati eco-tourism ini, wisatawan merogoh kocek lebih dalam. Biaya ketiga paket kursus itu sama, yaitu Rp 3,5 juta. Juga mendapat fasilitas sama berupa makan tiga kali sehari dan jam belajar yang sama. Paket 6 hari dan 10 hari menginap di homestay berupa rumah warga.

Bagi yang menginginkan homestay dengan fasilitas AC dan air panas harus menambah ongkos Rp 2,5 juta. Khusus untuk paket satu bulan tidak menginap. Sedangkan paket enam hari dengan metode belajar setengah hari di kelas dan setengah hari berwisata sembari pengaplikasikan ilmunya. 

“Dan selama belajar, handphone kami sita. Boleh pakai lagi pukul 16.00-17.00.” kata Hani. Pesertanya tak hanya seputaran Magelang. Melainkan antar pulau antar provinsi.

Semula, para orangtua khawatir meninggalkan anak-anaknya yang minimal kelas IV sekolah dasar. Tapi suasana yang nyaman malah membuat mereka enggan pulang.

Ada juga yang mengkhawatirkan jam pengajaran yang ketat hingga malam hari. Namun kekhawatiran itu tak terjadi, “Ini program akselerasi dari pagi sampai malam. Meski mereka capek, tapi enggak galau, enggak stress karena bersenang-senang,” kata Hani.

Lantas, apakah hanya dengan enam hari bisa membuat peserta lancer cas cis cus Inggris? Hani mengklaim kalau diadu dengan anak sekolahan, tidak kalah. Lantaran yang dibutuhkan untuk lancar berbahasa Inggris adalah rutinitas. 

 
Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus