Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Seringkali gue mendengar ataupun memberikan pendapat mengenai orang di sekitar gue maupun orang yang tidak dikenal secara langsung. Pendapat bisa positif atau negatif. Terkadang kenyataannya, opini yang diberikan disuarakan tanpa research sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Contohnya, banyak yang nggak suka dengan Justin Bieber karena alasan yang tidak jelas. Sebagian memang tidak memiliki alasan apapun, hanya karena semua orang di sekitarnya/ netizen gak suka aja sama bocah ini. Jadi, ikut-ikutan pendapat orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Nah loh, sekarang Justin Bieber jadi ganteng, terus lagunya enak-enak. Yang dulu ngeledek jadi gengsi mau dengerin lagunya. Seharusnya orang menyadari, Justin, seperti halnya kita, adalah manusia bukan mi instan yang kesuksesannya diperoleh dalam sekejab.
Kadang pendapat juga bisa stereotype. Misalnya nih gue kasih contoh, diambil dari kisah nyata. Waktu zaman gue masih kuliah desain grafis dan lagi libur kuliah, papanya temen gue meminta gue mengisi liburan dua minggu dengan membantu di percetakan miliknya. Ya sudahlah gue pikir, bantu-bantu si om. Lalu ketika gue sedang membantu di percetakan itu, terjadi percakapan dengan salah satu pegawai di sana:
“Mbak Jojo, kalau nanti sudah bikin usaha sendiri atau kerja jadi orang kaya, ajak saya ya. Mbaknya kan Cina, jadi kan kaya.”
“Mbak, aku kan masih kuliah, keluargaku juga biasa aja kok.”
“Pokoknya ajak saya ya Mbak, Mbaknya kan Cina, jadi kan kaya, banyak uangnya.”
“…”
Heng. Amin aja deh ya. Padahal kenyataannya adalah, sejak lulus SMA gue udah gak pernah nerima uang dari orang tua. Yang ada gue kerja dan kasih duit buat bantu keluarga. Kuliah telat karena gak ada duit. Waktu gue ngiri sama semua temen yang kuliah dan akhirnya gue pengen kuliah juga biar pintar. Gue blast apply beasiswa ke sekian banyak universitas dan gak ada yang merespon (apalah gue pas SMA cuma anak remaja aktif yang kebanyakan gula, tanpa prestasi akademik).
Beruntungnya di satu titik tiba-tiba gue dihubungi oleh dua universitas dengan jurusan desain grafis yang menawarkan program beasiswa di kala gue kerja freelance dan udah gak terfokus untuk berpikir mau kuliah. Gue memutuskan mengambil jurusan desain grafis di college dengan tawaran beasiswa parsial dengan alasan tidak mau membuang waktu empat tahun lagi hanya untuk ijazah.
Satu fakta tambahan, hari pertama yang harusnya gue masuk kuliah, malah gak datang. Kenapa? Karena gue kena tifus. Waktu gue memutuskan untuk kuliah, gue punya waktu gak sampai sebulan untuk membayar biaya masuk awal 7 juta rupiah dan langsung kerja serabutan untuk ngumpulin uangnya. Waktu itu ya gak gampang buat gue ngumpulin uang segitu.
Kadang juga mendengan opini mau menjadi seseorang dengan mendambakan sosok orang lain. Tapi sayangnya gak tau dan gak mau cari tahu proses sosok tersebut untuk mencapai keberhasilannya. Kalau tahupun, gak ngaruh apa-apa juga karena gak melakukan.
Sebagian orang melihat Chris Lie sebagai Director of Caravan Studio, “wah keren ya punya Caravan Studio. Kliennya Sony, Hasbro, ngerjain concept artnya serial Halfworld-nya Joko Anwar, udah gampang lah ya hidupnya.” Padahal dulu di US, ada masa di mana ko Chris menggambar 18 jam setiap harinya. Latihan maupun mengerjakan project. Sisa waktu dalam sehari hanya untuk mandi, makan, ke toilet, beli groceries kalau perlu. Harus nolak kalau diajak nongkrong-nongkrong. Ya, ada pengorbanannya!
Sebagian pelaku/pemerhati dunia ilustrasi digital painting lokal tidak asing terhadap Lius Lasahido. Sebagian berkomentar,”enak ya Lius, udah jago gambar, udah bikin Polar Engine (perusahaan yang memprovide high quality illustration untuk kebutuhan industri entertainment, dan sudah bekerjasama dengan studio internasional, ahensi dan brand), dapet projek gede kayak Magic The Gathering, bininya cakep pula”
Tapi sebagian orang nggak ngeliat Lius waktu dia menjalani proses hidupnya untuk mencapai titik ini. Dia latihan gambar melulu kayak apaan tahu. Tiap hari banget pokoknya.
Contoh lainnya, ada yang pernah bilang sama gue, Faza Meonk tidak sepintar itu karena dia masih muda. Karakter fiksi yang dia buat dan populerkan, Si Juki, terkadang juga dianggap kurang kompleks dan menarik secara estetika menurut beberapa ilustrator
Pernah pas gue ke Bali untuk liburan, ternyata Faza juga ke sana karena dipanggil menjadi pembicara untuk suatu event. Yaudah mumpung di 1 kota, kita sempet hangout bareng di sana. Sempet nyari tempat makan yang enak buat kerja juga. Gue sih lagi mau istirahat, jadi gue baca buku. Seperti biasa, dia ngeluarin komputernya, terus kerja. Ntap
Artikel ini sudah tayang di Johanakusnadi.com