Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kampung Tradisional Bena terletak di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, yang terkenal sebagai kampung megalitikum di Flores. Kampung ini telah menjadi ikon wisata Ngada yang mendunia, jauh sebelum destinasi wisata lain bermunculan di kabupaten tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara administratif, Bena masuk dalam wilayah geografis Desa Tiworiwu di Kecamatan Jerebu'u dan berada di sebelah timur kaki Gunung Inerie. Kampung tradisional ini berjarak sekitar 15,6 km arah selatan Kota Bajawa lewat Watujaji. Kampung Bena berbentuk memanjang dari depan (arah utara) hingga ke belakang (selatan). Hanya dua jalan yang menjadi akses masuk dan keluar kompleks rumah adat tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebanyak 45 rumah tradisional berderet berhadap-hadapan timur barat. Nuansa budaya sangat kental ketika kaki mulai melangkah masuk ke dalam kawasan rumah adat. Para pengunjung yang hendak berwisata budaya ke tempat itu harus membayar Rp 20 ribu sebagai karcis masuk. Penerapan tiket masuk ini diatur dalam Peraturan Desa Tiworiwu Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pungutan Desa Karcis Tanda Masuk Kampung Tradisional Bena.
Setelah membayar karcis, wanita penjaga loket memakaikan selendang yang menjadi tanda bagi pengunjung. Pemandu wisata lokal bernama Emiliana Kopa, 53 tahun, bisa menemani wisatawan mancanegara maupun domestik. Pada setiap rumah, para pengunjung bisa melihat berbagai jenis sarung tenun, selendang, dan gelang buatan para perempuan Bena yang berjejer rapi.
Berdasarkan informasi dari Pusat Informasi Pariwisata Kampung Adat Bena, ragam motif tenun ikat untuk sarung dan selendang di Bena tidak berbeda dari kampung lain. Motif yang sering dijumpai yakni bergambar jara (kuda), wa'i manu (cakar ayam), ghi'u (garis dinamis), ube, ngadhu, dan bhaga. Namun, yang membedakan ikat Bena dengan kampung lain adalah penggunaan warna dasar motif yang biru nila. Meskipun warna dasar sarung sama, hitam, namun ada perbedaan, yakni garis merah dan kuning pada bagian tepi bawah.
Emiliana menjelaskan ada perbedaan yang mencolok pada minat wisatawan ke kampung itu. Biasanya, wisatawan domestik tidak terlalu mendalami sisi lain kampung adat tersebut kecuali yang berasal dari kementerian atau peneliti. Mereka menghabiskan waktu untuk berfoto, menikmati keindahan kampung, dan berbelanja produk lokal.
Namun, wisatawan mancanegara memiliki minat yang mendalam terhadap nilai-nilai budaya di kampung adat Bena. Mereka pun membutuhkan narasi kuat yang bisa menjelaskan tentang asal usul kampung, sistem perkawinan, cerita di balik setiap sarung tenun ikat, makna rumah, dan ritus-ritus adat yang ada di kampung tersebut.
Berbicara tentang rumah, Kampung Adat Bena memiliki filosofi sendiri tentang rumah tinggal. Kampung itu dihuni oleh sembilan suku dan setiap suku memiliki rumah keluarga inti (Sao Meze) nenek moyang perempuan yang disebut sao saka pu'u dengan tanda miniatur bhaga di atas atap, yang masing-masing tepi atapnya terpasang tusuk rambut terbuat dari bambu dengan kepala muda berukuran kecil sebagai pangkalnya yang disebut ana ie.
Selanjutnya untuk rumah inti nenek moyang laki-laki dinamakan sa'o saka lobo yang diidentifikasikan dari patung pria berbalut ijuk yang memegang parang dan tombak yang terpasang di atas rumah. Setiap rumah besar mempunyai rumah pendukung yang disebut kaka pu'u dhai pu'u dan kaka lobo, dhai lobo.
Setiap rumah di Kampung Adat Bena terdiri dari tiga bagian, yaitu lewu sebagai tiang penunjang yang ditanam ke tanah, sao untuk bagian lantai dan dinding, serta iru untuk bagian atap. Area rumah terbagi menjadi tiga tingkatan, yakni teda moa, digunakan untuk situasi santai seperti perempuan menenun sambil menjaga anak kecil. Lalu masuk ke dalam ada area teda one yang diperuntukkan untuk menerima tamu atau dalam situasi resmi.
Terakhir ada one sao atau bagian paling dalam. One sao dilengkapi plat kayu di pintu masuk yang dinamakan kabapere dengan beberapa ukiran motif seperti kepala kerbau, ayam, dan sawa di sisi kanan kiri dan bawah mengapit pintu masuk yang berukuran kecil. Ketika masuk ke one sao, ada sikap menunduk sebagai tanda hormat kepada mataraga, yakni media sakral yang dianggap penghubung Yang Maha Kuasa dengan manusia yang hidup di dalam rumah. Area one sao digunakan sebagai dapur dan tempat tidur bagi keluarga di rumah tersebut.
Dampak ekonomi
Kunjungan wisatawan ke Kampung Tradisional Bena perlahan-lahan mulai membaik pascapandemi COVID-19. Dari data Dinas Pariwisata Kabupaten Ngada, jumlah kunjungan ke kampung adat tersebut Januari-Juni 2023 telah mencapai 33.428 orang. Tingginya jumlah kunjungan tersebut berdampak positif pada tingkat ekonomi masyarakat setempat.
Ketua Pengelola Pariwisata Kampung Adat Bena, Emanuel Sebo mengatakan kunjungan itu memberi dampak ekonomi bagi masyarakat. Hasil tenun ikat yang ada di setiap rumah pasti laku terjual, rata-rata satu kain seharga Rp 300 ribu terjual per minggu. Dalam sebulan, satu rumah penenun bisa mendapatkan Rp 1,2 juta dari kain tenun. Nilai tersebut merupakan nilai minimal saat suasana normal.
Dalam kondisi ramai seperti libur panjang, para penenun bisa mendapatkan lebih dari Rp 300 ribu per hari untuk satu jenis kain tenun yang terjual. Pendapatan itu baru diperoleh dari sarung atau selendang tenun yang dijual oleh para penenun. Ada berbagai jenis usaha produk lokal lain yang ditawarkan di desa tersebut.
Para pengunjung bisa menyewa pakaian adat Rp 100 ribu per orang, lalu sewa penginapan Rp 200 ribu per malam, sewa tarian ja'i Rp 2,5 juta per paket, sewa suling Rp 1,5 juta per paket, sewa musik rakyat Rp 1,5 juta per paket, sewa permainan tradisional atau sago alu Rp 1 juta per paket, dan sewa Soka dan Teke Rp 2 juta per paket. Semua uang yang diperoleh dari penjualan paket-paket wisata itu masuk ke kas lembaga tersebut.
Masyarakat pun merasakan dampak geliat pariwisata di Kabupaten Ngada. Kini setiap hari selalu ada kunjungan ke kampung adat tersebut. Wisatawan mancanegara dan nusantara tidak absen mengunjungi kampung tua itu. Bupati Ngada, Andreas Paru, pun terus menggaungkan potensi budaya kampung adat Bena.
Dalam berbagai momen, Andreas mempromosikan keunikan budaya dari kampung tradisional yang ada di Ngada, salah satunya Bena. Ia menjamin wisatawan tidak akan kecewa setelah berkunjung ke Kabupaten Ngada. Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan potensi pariwisata di Ngada, ia menjalin koordinasi dan kolaborasi dengan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF). Kampung wisata itu juga masuk dalam peta tematik BPOLBF sehingga wisatawan bisa merancang perjalanan wisata budaya ke sana.