Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Obral Promosi untuk Anak Buah Ferdy Sambo

Satu perwira yang mendapat promosi itu terbukti secara pidana telah membantu Ferdy Sambo menghilangkan jejak pembunuhan. 

10 Desember 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Chuck Putranto (kiri) usai menjalani sidang lanjutan terkait menghalangi proses penyidikan atas kematian Brigadir Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 27 Januari 2023. Dok.TEMPO/Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Enam mantan anak buah Ferdy Sambo mendapat promosi.

  • Promosi ini dianggap telah mencederai rasa keadilan.

  • Praktik impunitas bukan gejala baru di institusi kepolisian.

SEJUMLAH perwira polisi yang pernah terseret kasus Ferdy Sambo mendapat promosi. Di antaranya mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan, Budhi Herdi Susianto, yang saat ini menyandang gelar jenderal bintang satu. Dia dipromosikan menduduki jabatan Kepala Biro Perawatan Personel Polri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anugerah serupa diterima mantan sekretaris pribadi Ferdy Sambo, Chuck Putranto, yang menduduki jabatan Kepala Sub-Bagian Audit Bagian Penegakan Etika Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian dengan pangkat ajun komisaris besar. Chuck sudah menjalani hukuman 1 tahun penjara karena dinilai terbukti merusak barang bukti pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelas saksi dihadirkan saat sidang lanjutan pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 6 Desember 2022. Enam dari sebelas saksi tersebut adalah terdakwa obstruction of justice. Dok. TEMPO/Febri Angga Palguna

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy menilai promosi kepada anggota kepolisian yang bermasalah itu menunjukkan ketidaktegasan petinggi Polri dalam memberikan hukuman. Ketidaktegasan ini mencederai prinsip akuntabilitas dan keadilan hukum. “Memberikan promosi kepada anggota yang telah divonis bersalah adalah langkah yang tidak dapat dibenarkan,” kata Andi pada Senin, 9 Desember 2024. “Terlebih, kasus dikategorikan pelanggaran hukum serius.”

Ketidaktegasan itu juga membuat kepercayaan publik terhadap Polri menurun. Vetting mechanism (mekanisme untuk memeriksa rekam jejak seseorang) tidak dijalankan untuk menentukan figur yang memang layak menempati jabatan tertentu.  

Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan praktik impunitas bukan gejala baru di institusi penegak hukum. “Polri permisif terhadap pelanggaran, meskipun itu mencederai rasa keadilan masyarakat dan integritas personel,” ujar Bambang. Padahal Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri menegaskan soal pemecatan bagi personel yang terlibat pelanggaran pidana dan sudah memiliki putusan inkrah.

Dari enam perwira yang saat ini mendapat promosi, memang hanya Chuck Putranto yang mendapat sanksi pidana. Pengadilan menyatakan Chuck terbukti bersalah karena menghalang-halangi penyidikan atas kematian Yosua. Perbuatannya melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Menurut Bambang, selain pidana, anggota Polri terikat pada ketentuan etik yang diatur dalam Peraturan Polri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik. Aturan ini menekankan pentingnya integritas dan profesionalisme anggota. Namun regulasi ini sering dijadikan tameng untuk meringankan sanksi.

Sebut saja Brigadir Jenderal Murbani Budi Pitono yang dipromosikan menjadi Inspektur Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia II Inspektorat Wilayah III Inspektorat Pengawasan Umum Polri. Padahal dia terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf c dan Pasal 6 ayat 2 huruf b Peraturan Polri. Dalam kasus Sambo, Murbani hanya dikenai sanksi demosi setahun dan diwajibkan meminta maaf secara lisan di hadapan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP), juga secara tertulis kepada pimpinan Polri serta pihak yang dirugikan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid sependapat dengan Bambang. Menurut dia, promosi terhadap anak buah Sambo itu menegaskan bahwa Polri tidak sungguh-sungguh menjalankan sanksi etik sehingga tak memberikan efek jera. “Jika terus berlanjut, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap hukum,” ujar Usman.

Usman juga mengingatkan bahwa keluarga korban Brigadir Yosua berhak mendapatkan keadilan, termasuk memastikan semua pihak yang terlibat dihukum, baik pelaku utama maupun mereka yang menutupi jejak kejahatan.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menggambarkan fenomena ini sebagai "impunitas merangkak". Menurut dia, pelaku pelanggaran yang memiliki akses ke kekuatan internal kerap mendapat pengurangan hukuman hingga promosi jabatan. Sementara itu, anggota lain yang berintegritas malah terabaikan. “Seharusnya masyarakat dilibatkan dalam Komisi Kode Etik Polri agar pengawasan tidak bersifat internal,” tutur Sugeng.

Menurut Sugeng, obstruction of justice tidak termasuk pidana berat karena ancamannya hanya kurang dari setahun. Kendati demikian, korps baret cokelat harus menjelaskan secara transparan dan memenuhi jargon "presisi" mereka. “Mengapa ada promosi untuk perwira-perwira yang diduga melanggar kode etik?” katanya. “Itu memang kewenangan dari institusi Polri melalui Majelis Banding, tapi perlu dijelaskan.”

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho menjelaskan, pemberian reward (penghargaan) atau punishment (sanksi) diputuskan oleh Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjati). "Putusan diambil dalam rapat Dewan Kepangkatan,” ucapnya.  

Wanjati merupakan forum internal Polri yang berfungsi mengevaluasi kinerja dan rekam jejak personel untuk menentukan promosi, demosi, atau sanksi etik. Forum ini menjadi bagian penting pengelolaan sumber daya manusia di tubuh Polri.

Keputusan yang dihasilkan rapat Wanjati, kata Sandi, didasarkan pada berbagai aspek, termasuk laporan evaluasi kinerja, hasil penyelidikan etik, dan aspek profesionalisme personel. "Yang bersalah akan diberi tindakan, pasti itu,” ujarnya. Namun, bila sanksi itu sudah dijalankan, persoalan etik ini dianggap sudah selesai.       

Ervana Trikarinapurti, Dede Leni Mardianti, dan Hendrik Khoirul Muhid berkontribusi dalam penulisan laporan ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Intan Setiawanty

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus