Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan grasi kepada terpidana mati kasus narkoba Merry Utami (MU). Muhammad Afif selaku kuasa hukum Merry Utami sekaligus Direktur LBH Masyarakat (LBHM) menyampaikan grasi kepada kliennya diberikan Jokowi melalui Keputusan Presiden No. 1/G/2023. Keppres tersebut mengubah pidana mati Merry Utami menjadi pidana seumur hidup. Menurut kuasa hukum Merry Utami, grasi ini telah diajukan sejak 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merry Utami divonis hukuman mati karena kedapatan membawa heroin 1,1 kilogram di dalam tasnya. Ia ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta pada Oktober 2001. Menurut pengakuannya, tas itu milik teman prianya asal Nepal. Lalu, bagaimana awal mula kasus Merry Utami ini?
Eks-Buruh Migran Taiwan
Merry Utami adalah perempuan eks-buruh migran Taiwan ini yang lahir di Sukoharjo Jawa Tengah. Dia tinggal di Magetan dan mempunyai 1 orang anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merry Utami adalah korban kekerasan dalam rumah tangga. Dia dipaksa suaminya untuk bekerja di Taiwan dua tahun. Upahnya selama bekerja yang dikirim ke rumah dihabiskan oleh suami. Akhirnya dia memutuskan berpisah dan melanjutkan menjadi buruh migran.
Bertemu dengan Jerry, Pria yang Menitipkan Tas Berisi Heroin
Setelah bercerai, Merry Utami bermaksud kembali ke Taiwan sebagai buruh migran. Saat mengurus dokumen di Jakarta, di Sarinah Thamrin, dia bertemu Jerry, laki-laki-laki yang mengaku warga negara Kanada, dan punya usaha dagang.
Belakangan, Merry Utami ingat bahwa sejak di Taiwan, dia pernah didekati orang yang diduga kenal dengan Jerry. Merry Utami dan Jerry berpacaran selama 3 bulan.
Pada 16 Oktober 2001, Merry Utami diajak Jerry berlibur ke Nepal pada 17 Oktober 2001. Dia berangkat ke Nepal melalui Singapura seorang diri. Lalu transit di Thailand, bertemu Jerry. Namun Jerry berangkat dahulu. Bertemu di Nepal dan jalan-jalan selama 3 hari.
Pada 20 Oktober 2001 Jerry kembali ke Jakarta, mengaku mengurus bisnisnya. Merry Utami tetap diminta tinggal di Nepal, karena ada barang yang mau dititipkan.
Barang itu berupa tas tangan yang diberikan untuk Merry Utami, karena tasnya sudah jelek. Tas itu juga bakal dijadikan sampel untuk ditawarkan kepada pembeli di Jakarta. Merry Utami menyangka dia hanya akan menunggu sehari atau dua hari, ternyata harus menunggu 10 hari.
Curiga Mengapa Tas Itu Berat
Sebagaimana yang diminta Jerry, Merry Utami bertemu dua orang teman Jerry, bernama Muhammad dan Badru di Klub Studio 54. Muhammad menyerahkan tas tangan kepada MU yang sempat bertanya, mengapa tasnya berat. Dijawab Muhammad, karena tas itu tas berkualitas bagus dan berbahan kuat.
Merry Utami pulang Indonesia, 31 Oktober 2001 melalui Bandara Soekarno-Hatta. Sepanjang perjalanan tas tangan itu bersama dia di kabin pesawat.
Diperiksa di Mesin X-Ray
Merry Utami sempat lupa mengambil koper di bagian bagasi. Dia keluar bandara dan hampir naik taksi. Namun teringat kopernya, dia kembali masuk mencari kopernya di bagian lost and found. MU menemukan kopernya, namun ketika hendak keluar, petugas memeriksa tas tangan yang dibawa MU di mesin X-Ray.
Karena tidak merasa menyembunyikan sesuatu, Merry Utami memberikan tas tersebut untuk diperiksa dan dipindai mesin X-Ray. Disitu diketahui, terdapat narkoba jenis heroin seberat 1,1 kilogram, yang disembunyikan di bagian dinding tas.
Jerry dan Temannya Tidak dapat Dihubungi
Merry Utami ditangkap. Dia mencoba menghubungi Jerry, tapi nomornya sudah tidak aktif. Demikian juga dengan teman-teman Jerry.
"Saat pemeriksaan di penegak hukum, MU disiksa agar mengakui barang haram itu," kata Witi.
Atas dasar itulah, Witi dan kawan-kawan mendesak, pemerintah tidak mengeksekusi mati MU.
M JULNIS FIRMANSYAH | ROFIUDDIN