Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan grasi kepada terpidana mati kasus narkoba Merry Utami (MU). Muhammad Afif selaku kuasa hukum Merry Utami sekaligus Direktur LBH Masyarakat (LBHM) menyampaikan grasi kepada kliennya diberikan Jokowi melalui Keputusan Presiden No. 1/G/2023. Keppres tersebut mengubah pidana mati Merry Utami menjadi pidana seumur hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur LBH Masyarakat (LBHM) Muhammad Afif menilai pemberian grasi Presiden Joko Widodo atau Jokowi kepada Merry Utami, terpidana mati kasus narkotika, hanya setengah hati. Meski meringankan hukuman, Afif yang menjadi kuasa hukum Merry menyebut Keppres No. 1/G/2023 tidak mempertimbangkan durasi pemenjaraan Merry Utami yang telah melebihi 22 tahun dan pernah menjalani rangkaian untuk pelaksanaan eksekusi mati pada 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Meski eksekusi mati tersebut ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan, MU menghadapi beban psikologis dan mental yang bertubi-tubi," kata Afif dalam keterangannya kepada Tempo, Jumat, 14 April 2023.
Selain itu, Keppres tersebut dikeluarkan melebihi jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UU Grasi. Pada aturan tersebut, seharusnya Presiden memberikan atau menolak grasi paling lama tiga bulan sejak diterimanya pertimbangannya MA.
Sementara Keppres tersebut dikeluarkan hampir enam tahun lebih. Durasi putusan grasi yang lewat dari ketentuan Pasal 11 ayat (3) UU Grasi adalah mendorong terjadinya fenomena death row phenomenon.
"Fenomena death row phenomenon yang dialami MU seharusnya menjadi pertimbangan untuk membebaskan MU dari pemenjaraan yang telah melebihi 22 tahun, sehingga Keppres tersebut sejatinya berbunyi mengubah dari pidana mati menjadi pidana penjara waktu tertentu," kata Afif.
Lalu, apa itu death row phenomenon?
Definisi Death Row Phenomenon
Dilansir dari Kertas Kebijakan Fenomena Deret Tunggu dan Rekomendasi Komutasi Hukuman Mati yang diakses dari laman Komnas HAM, selama menunggu eksekusi, terpidana mati berada dalam posisi yang sangat rentan. Para ahli hukum HAM internasional mengkaji bahwa ada fenomena yang disebut fenomena deret tunggu (death row phenomenon).
Fenomena ini berupa penderitaan yang muncul akibat kombinasi dari sangat lamanya waktu yang dihadapi terpidana mati dalam menuju eksekusi mati, kondisi pemenjaraan buruk yang dialami terpidana mati, dan penderitaan terus menerus baik mental maupun fisik terus memuncak ketika menunggu eksekusi mati.
Juan E. Mendez, Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB tentang penyiksaan dan kekejaman lainnya (periode 2010-2016), telah membahas bahwa death row phenomenon menghasilkan perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan sebagai akibat dari keadaan fisik dan konsekuensi dari mental kesedihan akibat lamanya masa tunggu pada eksekusi pidana mati. Duduk sebagai death row dalam waktu yang lama dengan kondisi tersebut sudah merupakan bentuk penyiksaan.
Death Row Phenomenon Langgar Konvenan Hak Sipil dan Politik
Oleh karena itu, Interim report of the Special Rapporteur menyimpulkan bahwa death row phenomenon merupakan pelanggaran Pasal 7 Konvenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan pelanggaran Pasal 1 dan Pasal 16 Konvensi Anti Penyiksaan berdasarkan dua hal, yaitu:
- Karena lamanya isolasi dan kondisi yang menyeramkan, pada kondisi penahanan yang tidak manusiawi seperti solitary confinement dan batasan terhadap akses kebutuhan dasar lainnya; dan
- Karena kecemasan yang dihasilkan dari ancaman pidana mati ataupun keadaan lain terkait dengan eksekusi yang mengakibatkan tekanan psikologis dan trauma kepada terpidana mati.
2 Terminologi Kondisi Terpidana Mati
Dalam masa tunggu hukuman mati dikenal dua terminologi yang menjelaskan kondisi terpidana mati, yaitu death row phenomenon dan death row syndrome. Menurut Pakar Hukum Patrick Hudson dari Universitas Edinburgh, death row phenomenon dapat diartikan sebagai waktu penundaan yang berkepanjangan dengan kondisi kejam pada masa tunggu (death row).
Sedangkan yang dimaksud dengan death row syndrome adalah bahaya kejiwaan yang dihasilkan dari serangkaian efek psikologis bagi narapidana yang diakibatkan oleh periode masa tunggu yang dihabiskan seperti ditulis oleh Amy Smith di jurnal Public Interest Law.
M JULNIS FIRMANSYAH | NAUFAL RIDHWAN ALY