Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ketimun Tetap Melawan Durian

Majid dan sagala, penduduk tarakan, dianiaya letnan suharto dan letnan sutejo. kedua korban tersebut me lapor ke kapolri, jaksa agung dan kopkamtib. kedua polisi dalam pemeriksaan atasannya. (krim)

13 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAPORAN seorang tukang perahu dari Tarakan, Kalimantan Timur, bisa juga ditanggapi oleh Kepala Kepolisian RI. Buktinya, akibat laporan itu, dua orang letnan polisi Tarakan harus berurusan dengan atasannya. "Mereka akan diambil tindakan tegas," ujar Komandan Resort Bulungan, Letkol Adnan Saaban. Kedua anak buah Danres ini, Letnan Suharto dan Letnan Sutejo, sekarang sedang dalam pemeriksaan. Adnan Saaban belum bersedia mengungkapkan hasil pemeriksaannya. Namun dari para pelapor, W. Sagala, BA dan si tukang perahu Abdul Majid, cerita sepihak sudah dapat diungkapkan untuk sementara. Pertengahan Mei lalu Sagala, pimpinan CV Prakasa Usnas, dengan diantar perahu Abdul Majid berkunjung ke kapal Andika Line yang diparkir agak di tengah laut. Karena Sagala terlalu lama ngobrol dengan Bachtiar dan Hutabarat (keduanya awak Andika Line yang baru sekali itu singgah di Tarakan) maka Abdul Majid permisi pulang lebih dulu. Kepada Sagala dijanjikan akan dijemput pada malam harinya. Ketika Majid tengah mengayuh perahunya, belum iagi sampai di pantai, berpapasan dengan perahu polisi yang dikemudikan Muhtar. Tak begitu jelas ujung pangkalnya. Tapi Muhtar memerintah agar Majid segera menghadap Letnan Suharto -- yang juga berada di sebuah perahu, tak jauh dari situ. Ada apa? "Suharto langsung memukul muka dan dada saya," cerita Majid. Walaupun di perahu tak diketemukan barang sesuatu apapun, rupanya, Suharto menuduh. Majid tengah melakukan penyelundupan. Adakah Suharto anggota polisi anti penyelundupan? Bukan -- ia polisi lalulintas. Tapi ia dengan keras telah melarang Majid menjemput Sagala pada malam harinya. Baru keesokan harinya Majid berani menjemput Sagala. Dan diceritakanlah apa yang telah dialaminya. Sagala, yang ingin menjernihkan keadaan Majid, segera menghadap Letnan Suharto. Kepala anggota polantas ini sagala menyatakan: Majid tidak membawa atau menurunkan barang apapun dari Andika Line. Ia hanya mengantar dan menjemputnya saja. Tapi Suharto rupanya masih penasaran. Sore hari, setelah paginya menerima penjelasan dari Sagala, polisi ini segera memerintahkan anak buahnya untuk mengambil Majid dari rumahnya. "Di kantor polisi saya disuruh mengaku telah menurunkan barang dari kapal bersama Sagala," kata Majid kepada TEMPO. Karena merasa tidak pernah melakukan penyelundupan, Majid membantah semua tuduhan. Polantas ini lalu marah-marah. Bersama seorang letnan lain, bernama Sutejo, Letnan Suharto mulai menganiaya Majid. "Saya ditinju, dipukul dengan rotan dan mulut saya ditendang dengan sepatu," tutur Majid. Karena kesal dan kesakitan, Majid berteriak: "Allahu Akbar!" Tapi Suharto malah tersenyum. Sambil menggosok tinju dan mengucap "bismillah" kembali ia menghantam Majid. Setelah korbannya lemas, baru kedua polisi ini menyerahkan Majid ke pos penjagaan. Sementara itu, jam 12 malam, Sagala mendengar raungan sirene mobil polisi mendekati rumahnya. Rupanya Suharto masih terus bekerja: datang-datang ia menggeledah isi rumah Sagala. Tentu saja tanpa surat perintah penggeledahan yang sah. Merasa tak menemukan apa-apa, Suharto lalu menciduk Sagala dan menggiringnya ke kantor Komres. Di kantor polisi, Sagala juga menerima penganiayaan dari Letnan Sutejo. Malam itu, bersama Majid, ia juga harus meringkuk -- dengan kesakitan dan badan lemas - di pos penjagaan. Baru keesokan harinya, setelah melalui interogasi yang menjemukan dan keras, kedua penduduk Tarakan yang malang ini diizinkan pulang. Maaf. Sampai di rumah, tak membuang waktu lagi. Sagala segera membuat pengaduan atas perlakuan anggota polisi itu langsung kepada Kapolri. Seminggu kemudian, setelah pengaduan dikirimkan, kembali Sagala harus berurusan dengan Suharto. Rupanya pengaduan Sagala itu mendapat perhatian Kapolri. Tapi Suharto, seorang perwira lulusan Akabri, berkata lantang: "Kami alumni Akabri, pak Widodo (maksudnya Kapolri) juga dari Akabri - tidak mungkin saling menekan anggota." Ini cerita Sagala, tentu. Tapi, kata Sagala, peristiwa itu disaksikan oleh anggota polisi lain: Letnan Sutejo dan seorang sersan, Sunarko. Malah ada seorang polisi lain yang menasehati Sagala: cabut saja pengaduan itu. Sebab, kata polisi yang baik hati itu, "percuma ketimun melawan durian." Tapi Sagala, si ketimun, rupanya sudah nekad. Bersama si tukang perahu. Majid, ia membuat laporan sekali lagi kepada Kapolri. Juga kepada Jaksa Agung dan Kaskopkamtib. Nah, perkara agaknya mendapat perhatian dari para pembesar di Jakarta, sehingga tanggal 25 Juni lalu Suharto datang ke rumah Sagala: minta maaf. "Sebagai ketimun saya memaafkan Suharto, tapi secara hukum perkara harus diteruskan," kata Sagala. Sampai sekarang, baik Sagala maupun Majid, tetap bertekad memperkarakan oknum polisi yang menganiaya mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus