LAPORAN seorang tukang perahu dari Tarakan, Kalimantan Timur,
bisa juga ditanggapi oleh Kepala Kepolisian RI. Buktinya, akibat
laporan itu, dua orang letnan polisi Tarakan harus berurusan
dengan atasannya. "Mereka akan diambil tindakan tegas," ujar
Komandan Resort Bulungan, Letkol Adnan Saaban. Kedua anak buah
Danres ini, Letnan Suharto dan Letnan Sutejo, sekarang sedang
dalam pemeriksaan. Adnan Saaban belum bersedia mengungkapkan
hasil pemeriksaannya. Namun dari para pelapor, W. Sagala, BA dan
si tukang perahu Abdul Majid, cerita sepihak sudah dapat
diungkapkan untuk sementara.
Pertengahan Mei lalu Sagala, pimpinan CV Prakasa Usnas, dengan
diantar perahu Abdul Majid berkunjung ke kapal Andika Line yang
diparkir agak di tengah laut. Karena Sagala terlalu lama ngobrol
dengan Bachtiar dan Hutabarat (keduanya awak Andika Line yang
baru sekali itu singgah di Tarakan) maka Abdul Majid permisi
pulang lebih dulu. Kepada Sagala dijanjikan akan dijemput pada
malam harinya.
Ketika Majid tengah mengayuh perahunya, belum iagi sampai di
pantai, berpapasan dengan perahu polisi yang dikemudikan Muhtar.
Tak begitu jelas ujung pangkalnya. Tapi Muhtar memerintah agar
Majid segera menghadap Letnan Suharto -- yang juga berada di
sebuah perahu, tak jauh dari situ. Ada apa? "Suharto langsung
memukul muka dan dada saya," cerita Majid. Walaupun di perahu
tak diketemukan barang sesuatu apapun, rupanya, Suharto
menuduh. Majid tengah melakukan penyelundupan. Adakah Suharto
anggota polisi anti penyelundupan? Bukan -- ia polisi
lalulintas. Tapi ia dengan keras telah melarang Majid menjemput
Sagala pada malam harinya.
Baru keesokan harinya Majid berani menjemput Sagala. Dan
diceritakanlah apa yang telah dialaminya. Sagala, yang ingin
menjernihkan keadaan Majid, segera menghadap Letnan Suharto.
Kepala anggota polantas ini sagala menyatakan: Majid tidak
membawa atau menurunkan barang apapun dari Andika Line. Ia hanya
mengantar dan menjemputnya saja.
Tapi Suharto rupanya masih penasaran. Sore hari, setelah paginya
menerima penjelasan dari Sagala, polisi ini segera memerintahkan
anak buahnya untuk mengambil Majid dari rumahnya. "Di kantor
polisi saya disuruh mengaku telah menurunkan barang dari kapal
bersama Sagala," kata Majid kepada TEMPO. Karena merasa tidak
pernah melakukan penyelundupan, Majid membantah semua tuduhan.
Polantas ini lalu marah-marah. Bersama seorang letnan lain,
bernama Sutejo, Letnan Suharto mulai menganiaya Majid. "Saya
ditinju, dipukul dengan rotan dan mulut saya ditendang dengan
sepatu," tutur Majid. Karena kesal dan kesakitan, Majid
berteriak: "Allahu Akbar!" Tapi Suharto malah tersenyum. Sambil
menggosok tinju dan mengucap "bismillah" kembali ia menghantam
Majid. Setelah korbannya lemas, baru kedua polisi ini
menyerahkan Majid ke pos penjagaan.
Sementara itu, jam 12 malam, Sagala mendengar raungan sirene
mobil polisi mendekati rumahnya. Rupanya Suharto masih terus
bekerja: datang-datang ia menggeledah isi rumah Sagala. Tentu
saja tanpa surat perintah penggeledahan yang sah. Merasa tak
menemukan apa-apa, Suharto lalu menciduk Sagala dan
menggiringnya ke kantor Komres. Di kantor polisi, Sagala juga
menerima penganiayaan dari Letnan Sutejo. Malam itu, bersama
Majid, ia juga harus meringkuk -- dengan kesakitan dan badan
lemas - di pos penjagaan. Baru keesokan harinya, setelah melalui
interogasi yang menjemukan dan keras, kedua penduduk Tarakan
yang malang ini diizinkan pulang.
Maaf.
Sampai di rumah, tak membuang waktu lagi. Sagala segera membuat
pengaduan atas perlakuan anggota polisi itu langsung kepada
Kapolri. Seminggu kemudian, setelah pengaduan dikirimkan,
kembali Sagala harus berurusan dengan Suharto. Rupanya pengaduan
Sagala itu mendapat perhatian Kapolri.
Tapi Suharto, seorang perwira lulusan Akabri, berkata lantang:
"Kami alumni Akabri, pak Widodo (maksudnya Kapolri) juga dari
Akabri - tidak mungkin saling menekan anggota." Ini cerita
Sagala, tentu. Tapi, kata Sagala, peristiwa itu disaksikan oleh
anggota polisi lain: Letnan Sutejo dan seorang sersan, Sunarko.
Malah ada seorang polisi lain yang menasehati Sagala: cabut saja
pengaduan itu. Sebab, kata polisi yang baik hati itu, "percuma
ketimun melawan durian."
Tapi Sagala, si ketimun, rupanya sudah nekad. Bersama si tukang
perahu. Majid, ia membuat laporan sekali lagi kepada Kapolri.
Juga kepada Jaksa Agung dan Kaskopkamtib. Nah, perkara agaknya
mendapat perhatian dari para pembesar di Jakarta, sehingga
tanggal 25 Juni lalu Suharto datang ke rumah Sagala: minta maaf.
"Sebagai ketimun saya memaafkan Suharto, tapi secara hukum
perkara harus diteruskan," kata Sagala. Sampai sekarang, baik
Sagala maupun Majid, tetap bertekad memperkarakan oknum polisi
yang menganiaya mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini