Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA menyoroti sejumlah bentuk kejahatan yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo terhadap konstitusi agraria di Indonesia. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan selama satu dekade kepemimpinan Jokowi telah terjadi kejatahan sistematis terhadap konstitusi agraria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, kejahatan terhadap konstitusi itu telah membuat Indonesia semakin tenggelam dalam darurat agraria. Kejahatan pertama, katanya, pemerintah sudah membohongi publik perihal menjalankan reforma agraria seluas 9 juta hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktanya, ujar Dewi, pemerintah hanya menjalankan sertifikasi tanah tanpa adanya redistribusi tanah kepada rakyat. "Sekadar pensertifikatan tanah bukanlah reforma agraria," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu, 25 September 2024.
Dia menilai, sertifikasi itu hanya suatu layanan kepada orang yang sudah memiliki tanah. Layanan sertifikasi itu, ujar dia, tak berlaku bagi rakyat yang belum memiliki tanah hingga rakyat yang tanahnya terancam dirampas.
"Bahkan sertifikasi adalah liberalisasi pasar tanah di Indonesia, sebagai upaya menjebak rakyat ke dalam pasar tanah bebas," ucapnya.
Hal semacam itu, menurut dia, justru membuat negara dengan mudah menjual tanah-tanah masyarakat atas nama kepentingan investasi dan proyek strategis nasional atau PSN. Jokowi, katanya, juga telah melanggar Undang-undang Pokok Agraria dan melawan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemberian HGU dan HGB.
Dewi mengatakan, alih-alih menjalankan mandat undang-undang dan konstitusi, pemerintahan Jokowi justru melipatgandakan pemberian hak atas tanah kepada pengusaha menjadi 190 tahun untuk HGU dan 160 tahun untuk HGB, di Ibu Kota Nusantara atau IKN. "Inilah kejahatan pemerintah yang menjadikan IKN tidak hanya berbau kolonial tapi menjadi ibu kota dengan aturan lebih kejam dari kolonial," ujarnya.
Dia juga menyoroti soal nihilnya upaya pemerintahan Jokowi untuk mengoreksi monopoli tanah oleh swasta sesuai amanat undang-undang. Berdasarkan data LHK pada 2024, ada lebih dari 25 juta hektare tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektare dikuasai oleh pengusaha tambang, dan 11,3 juta hektare tanah dikuasai oleh pengusaha kayu.
"Di dalamnya praktik mafia sawit, mafia tambang, dan mafia kayu semakin subur," katanya.
Dia juga menilai, pemerintahan Jokowi telah berbuat jahat dengan melakukan cara-cara represif dan intimidatif di wilayah konflik agraria. Salah satu indikatornya, ujar Dewi, adanya pengerahan aparat keamanan.
Menurut dia, sistem hukum, birokrat, dan aparat sudah menjadi bagian dari bisnis pengusaha di Tanah Air. Ia mengatakan, tindakan represif oleh aparat untuk melindungi bisnis pengusaha sudah jadi tontonan sehari-hari.
"Walhasil 2.442 petani, masyarakat adat, perempuan, dan aktivis telah dikriminalisasi," ujarnya. Dia juga menyebut Jokowi merupakan sosok yang anti terhadap petani kecil.
Karena itu, kata dia, Jokowi terbilang gagal untuk menyejahterakan para petani dan gagal mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia. "Pemerintah secara sistematis mendorong pembangunan pertanian pangan yang bertumpu pada korporasi pangan melalui food estate," katanya.
Soal reforma agraria, Direktur Landreform Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Rudi Rubijaya mengklaim programnya sudah mencapai target yang diatur RPJMN 2020-2024 seluas 9 juta hektare. Pemerintah juga melegalisasi aset melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), sertifikasi tanah, transmigrasi, serta pendaftaran tanah ulayat.
Rudi menyebutkan capaian legalisasi aset sudah seluas 10,7 juta hektare atau 238 persen dari target 4,5 juta hektare. Dari sisi bidang tanah, saat ini terdaftar 117 juta lebih bidang tanah. “Jumlah ini meningkat 250 persen dibanding pada 2017 yang sebanyak 46 juta bidang,” kata Rudi kepada Tempo, 25 September 2024.
Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY memastikan program Reforma Agraria menjadi program strategis dan akan tetap dijalankan ketika terjadi pergantian pemerintahan. AHY menyebutkan 120 juta bidang tanah target program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) harus tercapai hingga akhir 2024.
PTSL menjadi langkah strategis untuk memberikan kepastian hukum atas tanah bagi seluruh rakyat. "PTSL bertujuan untuk meningkatkan administrasi tata ruang dan memberikan jaminan hukum kepada masyarakat, menyangkut kepemilikan tanah," ujar AHY pada Sabtu lalu di Kupang, Nusa Tenggara Timur, seperti dilansir Antara.
Menurut dia, sertifikat resmi kepemilikan tanah dari negara membuat tata ruang secara nasional makin teratur dan memperkuat kepastian hukum serta memberikan kepemilikan tanah yang sah bagi seluruh warga.
Pilihan editor: Jokowi Sebut Pembangunan Bandara IKN Selesai Akhir Desember