Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi akan lengser dari kursi kepresidenan pada 20 Oktober mendatang. Selama sepuluh tahun kepemimpinannya, banyak jargon-jargon baru muncul yang dicetuskan relawannya, salah satunya adalah Jokowisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari Kurawal Foundation dalam Laporan Tahun 2023 Tegak Lurus Menolak Jokowisme, Jokowisme adalah sebuah cara bertindak yang tidak dibimbing oleh keyakinan apa pun. Jokowi tidak pernah memegang ideologi apa pun. Jokowi tidak memiliki pandangan apa pun terhadap dunia sosial dan politik. Ia tidak pernah belajar apa pun, kecuali berdagang untuk mencari keuntungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proksi paling akurat untuk menakar Jokowi dalam Jokowisme ketika berpolitik melalui strategi utama, yaitu populisme dan infrastrukturalis. Sebagai populis, Jokowi membangun mitos sebagai anak kampung, lahir di bantaran kali yang kerap kebanjiran, dan berasal dari keluarga jelata. Imaji ini mengharu biru kaum liberal dan kelas menengah perkotaan yang secara kultural selalu merindukan kisah “Cinderella”. Jokowi adalah Cinderella bagi mereka.
Jokowi langsung menjadi populis yang memulai karier dengan penilaian sosok antitesis dari kalangan elite Indonesia. Jokowi hadir sebagai sosok yang tidak terlibat dengan Orde Baru, bukan pembunuh seperti lawan politiknya. Faktor ini yang membuat kaum aktivis pro-demokrasi hampir seluruhnya mendukung Jokowi karena dianggap sebagai “presiden para aktivis”. Jokowi menjadi simbol kemenangan reformasi, tetapi hanya kemenangan semu.
Banyak aktivis dan kaum liberal berpikir Jokowi akan menangani persoalan HAM berat dengan adil, meruntuhkan impunitas, dan meminta pertanggungjawaban jendral pelanggar HAM. Namun, Jokowi menerjemahkan populisme dalam program-program kesejahteraan untuk kaum miskin, seperti Bansos, BLT, Kartu Pintar, Kartu Sehat, dan kartu lainnya.
Jokowi juga diam-diam melanjutkan program Presiden SBY dalam pembangunan infrastruktur. Banyak proyek yang sudah dimulai pembangunan saat masa SBY, tetapi diambil alih penyelesaian dan peresmian oleh Jokowi. Sebab, Jokowi paham bahwa pembangunan infrastruktur sangat populer bagi rakyat, terutama kelas menengah.
Taktik dan strategi politik Jokowi memiliki dua kaki, yakni populis dan developmentalis (tepatnya: infrastrukturalis). Jokowi perlu menjadi populis untuk melanggengkan kekuasaannya. Jokowi membagikan kesejahteraan kepada rakyat miskin melalui money politics, tetapi dengan uang negara. Benang merah populisme dan infrastrukturalisme Jokowi terlihat ketika Jokowi menelan biaya sangat mahal.
Populisme dan infrastrukturalisme Jokowi dalam Jokowisme juga kerap dibumbui nasionalisme. Cara ini diwujudkan dengan “kemegahan” yang sangat artifisial, seperti Istana Negara di IKN. Bentuk istana burung garuda tersebut lebih merefleksikan nostalgia kejayaan masa silam yang terasing dari imaji kekinian warganya
Di sisi lain, dalam publikasi bertajuk Jokowism Between Political Ideology And Metaphors Of Power In Political Polarization In Indonesia, Jokowisme merupakan istilah yang merujuk pada fenomena politik yang terkait erat dengan gaya kepemimpinan dan popularitas Jokowi.
Wahyu Wiji Utomo dalam studinya ini menyebutkan Jokowisme mencerminkan identifikasi masyarakat terhadap Jokowi dan citra kepemimpinannya. Dengan ungkapan “Jokowi is me”, berarti menunjukkan dukungan dan identifikasi pribadi terhadap presiden. Pada dasarnya, ini adalah suatu konsep yang mencirikan dominasi dan pengaruh politik yang kuat yang dimiliki oleh Jokowi.
“Jokowisme juga mencerminkan sejauh mana presiden tersebut diidentifikasi dengan kebijakan dan program pemerintahannya. Ini tidak hanya sekadar tentang kehadiran fisik Jokowi di panggung politik, tetapi juga tentang bagaimana citra dan narasi politiknya mempengaruhi opini publik dan dinamika politik di Indonesia,” tulis Wahyu.
Secara lebih pribadi, “Jokowi is me” mengekspresikan dukungan dan identifikasi seseorang terhadap Jokowi dan gaya kepemimpinannya. Ungkapan ini mengindikasikan bahwa seseorang merasa memiliki afinitas yang kuat terhadap Jokowi. Mungkin karena pandangan positif terhadap kebijakan yang diimplementasikannya atau koneksi emosional dengan gaya kepemimpinannya.
Meskipun begitu, Wahyu dalam penelitiannya juga menyadari bahwa kesetiaan yang sangat kuat terhadap Jokowisme dapat menghambat keterbukaan dan kritisisme terhadap pemerintah. Masyarakat yang terlalu terpaku pada konsep ini mungkin enggan atau takut untuk mengajukan pertanyaan yang kritis, menghancurkan dasar demokrasi yang seharusnya mengedepankan partisipasi dan dialog yang sehat.
HENDRIK KHOIRUL MAHMUD | RACHEL FARAHDIBA REGAR | KURAWAL FOUNDATION
Pilihan Editor: Kurawal Foundation Tegak Lurus Menolak Jokowisme, Ideologi Alap-Alap Jokowi yang Pasang Baliho Jokowi Guru Bangsa