Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan KPK untuk mengusut keterlibatan anggota TNI dalam perkara korupsi.
Selama ini penyidik KPK kesulitan memeriksa anggota militer.
Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap menjadi jalan tengah.
MAHKAMAH Konstitusi memutuskan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengusut perkara korupsi yang melibatkan anggota Tentara Nasional Indonesia. Syaratnya, upaya hukum bisa dilakukan sepanjang perkara tersebut sejak awal ditangani atau dimulai oleh penyidik KPK. Penegasan ini sebagai pemaknaan baru terhadap Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan MK tersebut merupakan tindak lanjut atas uji materi yang diajukan advokat Gugum Ridho Putra. Adapun Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 berbunyi, "KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Konstitusi menilai bunyi Pasal 42 itu bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945. Atas pertimbangan itu, MK menambahkan penegasan pada bagian akhir, yaitu "sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan oleh KPK".
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan lembaganya mengapresiasi putusan MK atas permohonan uji materi Pasal 42 Undang-Undang KPK. "KPK dalam uji materi tersebut bertindak dan menjadi pihak terkait yang mendukung dan memberikan fakta kendala penegakan hukum terhadap perkara korupsi yang melibatkan subyek hukum sipil bersama subyek hukum anggota TNI," katanya seperti dikutip dari Antara, Jumat, 29 November 2024.
Ghufron mengatakan, meski ada Pasal 42 Undang-Undang KPK, selama ini penanganan hukum terhadap anggota TNI selalu dipisahkan dengan warga sipil. "Warga sipil ditangani KPK, sementara anggota TNI disidang dalam peradilan militer," ujarnya. "Kondisi ini mengakibatkan potensi terjadinya disparitas, juga peradilan tidak efektif dan tak efisien."
Dengan dikabulkannya uji materi Pasal 42 Undang-Undang KPK, kewenangan lembaga antirasuah menangani kasus korupsi di institusi TNI makin kuat. "Dengan adanya putusan MK, kami akan berkoordinasi dengan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI untuk menindaklanjuti secara lebih teknis pengaturan pelaksanaannya," ucap Ghufron.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Johanis Tanak bersama Komandan Puspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko (kanan) memberikan keterangan pers setelah berkoordinasi selepas operasi tangkap tangan kasus suap Kepala Basarnas di gedung KPK, Jakarta, 28 Juli 2023. TEMPO/Imam Sukamto
Dalam beberapa tahun terakhir, KPK pernah beberapa kali menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota militer. Namun penanganan kasus kerap tak tuntas karena terbentur aturan, misalnya penanganan kasus korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland (AW) 101 pada 2016.
Komisi antirasuah mulai menyelidiki dugaan korupsi pembelian helikopter itu pada 2017. Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh alias John Irfan Kenway ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik KPK juga menemukan indikasi keterlibatan sejumlah perwira TNI Angkatan Udara, termasuk mantan Kepala Staf TNI AU, Marsekal (Purnawirawan) Agus Supriatna.
Pada akhirnya, KPK hanya bisa menyeret Irfan Kurnia ke meja hijau. Dia divonis 10 tahun penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi. Sedangkan sejumlah perwira TNI AU yang diduga terlibat tidak pernah diadili. Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI yang menangani kasus ini menghentikan penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti.
Hal yang sama yang terjadi dalam penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Polemik kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan yang digelar penyidik KPK di Cilangkap, Jakarta Timur, dan Jatisampurna, Bekasi, pada 25 Juli 2023.
Dari operasi itu, penyidik kemudian menetapkan lima tersangka, dengan dua di antaranya adalah prajurit TNI aktif yang bertugas di Basarnas. Mereka adalah Marsekal Madya Henri Alfiandi selaku Kepala Basarnas dan Letnan Kolonel Administrasi Afri Budi Cahyanto selaku Koorsmin Kepala Basarnas.
Beberapa hari setelah penetapan tersangka, Puspom TNI menilai langkah KPK tersebut menyalahi prosedur. Sebab, Henri dan Afri masih tercatat sebagai anggota militer aktif. Dengan demikian, mereka harus tunduk pada aturan militer dan penetapan tersangka hanya bisa dilakukan penyidik Puspom. Atas dasar itu, Puspom kemudian mengambil alih penyidikan terhadap Henri dan Afri. Keduanya pun disidangkan di pengadilan militer.
Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad menilai putusan MK menjadi terobosan hukum ihwal kewenangan KPK menangani perkara korupsi anggota TNI. "MK berani memutuskan perkara ini dan menegaskan bahwa KPK berwenang," katanya, Selasa, 3 Desember 2024.
Putusan MK atas uji materi Pasal 42 UU KPK sebenarnya hanya penegasan, bukan kewenangan baru komisi antirasuah. Dengan penegasan ini, seharusnya mekanisme untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan sipil dan militer diperlakukan setara. "Jadi pejabat militer yang terlibat tindak pidana korupsi semestinya diadili dalam sistem peradilan tipikor, bukan peradilan militer," ujar Hussein.
Sebagai lembaga khusus yang menangani korupsi, kata Hussein, KPK berwenang mengusut tindak pidana korupsi, termasuk dalam tubuh TNI. Poin yang paling penting adalah masyarakat mendapat keadilan. "Yang dikorupsi itu uang rakyat," ucapnya. "Bila pelakunya anggota TNI, ia harus diadili dalam peradilan yang terbuka dan oleh institusi yang terbuka, yakni KPK."
Hussein menilai polemik dalam penanganan korupsi di ranah militer muncul akibat keengganan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah merevisi Undang-Undang TNI. Dalam revisi undang-undang itu terdapat ketentuan, apabila anggota TNI terlibat dalam tindak pidana umum, prajurit tersebut diadili dalam sistem peradilan umum. Artinya, penanganan perkara diserahkan kepada penyidik, penuntut, dan hakim dalam sistem peradilan umum, bukan militer.
(Dari kiri) hakim anggota Arief Hidayat, Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo, dan Arsul Sani memimpin sidang uji materi Undang-Undang KPK di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 28 November 2024. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito sependapat dengan Hussein. Putusan MK menegaskan KPK sebagai lembaga utama pemberantasan korupsi. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi bagi pimpinan KPK untuk tidak menangani berbagai kasus korupsi, termasuk yang melibatkan unsur militer. "Tidak boleh ada pengecualian penanganan kasus oleh KPK dengan berbagai alasan ataupun tekanan," ujarnya.
Di sisi lain, kata Lakso, TNI pun harus kooperatif sebagai bagian dari institusi negara. TNI wajib mendukung kerja KPK, baik dalam proses penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan anggota militer.
Putusan ini merupakan momentum bagi TNI memperbaiki tata kelola. Apalagi selama ini terdapat kritik soal akuntabilitas dan transparansi sistem pengadaan di bidang militer dengan alasan keamanan negara. Pada konteks inilah, TNI dan KPK perlu mendorong adanya sistem pengadaan yang akuntabel, tapi tetap sesuai dengan prinsip keamanan nasional. Putusan MK ini tidak boleh didiamkan sampai terjadinya kasus dan pembangunan sistem yang akuntabel harus diwujudkan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, dengan adanya putusan MK ini, KPK berwenang memanggil saksi atau tersangka dari kalangan militer. "Saksi atau tersangka yang dua kali dipanggil tidak datang juga bisa dipanggil secara paksa," ucapnya.
Karena itu, putusan MK ini akan menguntungkan. Sebab, sebelumnya KPK tidak bisa mengusut korupsi yang melibatkan militer meskipun korupsinya di ranah sipil karena terbentur oleh Undang-Undang Peradilan Militer.
Pakar hukum Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah, memiliki pendapat berbeda. "Putusan MK itu, bagi saya, justru merugikan KPK," katanya.
Alasannya, Herdiansyah melanjutkan, Pasal 42 Undang-Undang KPK menyatakan, ketika terjadi perkara yang melibatkan anggota TNI, tahap penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan menjadi otoritas penuh KPK. Namun, setelah adanya putusan MK, wewenang KPK itu justru bergeser.
Kalimat tambahan sebagai penegasan dalam Pasal 42 Undang-Undang KPK, menurut Herdiansyah, menunjukkan norma baru berlaku hanya pada perkara yang lebih dulu ditangani KPK. Padahal, sebelum ada putusan uji materi, aturan pasal itu secara prinsip sudah memberikan otoritas penuh kepada KPK untuk menangani perkara korupsi, termasuk yang melibatkan anggota TNI. Apalagi pada Pasal 42 tidak tertulis adanya pengecualian. Apabila dilihat dari memory factuality atau asbabun nuzul-nya, pasal itu muncul karena ada harapan, dorongan penyelesaian tindak pidana korupsi, terutama yang melibatkan penyelenggara negara, salah satunya dari kalangan militer.
"Kalau kita benturkan dengan ketentuan lama dalam Undang-Undang Peradilan Militer, misalnya, justru ada kemunduran dan pembatasan terhadap kerja KPK," ujar Castro.
Dia berpandangan bahwa permasalahan ini sebenarnya bukan ada pada Undang-Undang KPK, melainkan Undang-Undang Peradilan Militer. Karena itu, yang seharusnya ditinjau ulang adalah Undang-Undang Peradilan Militer. Dalam undang-undang itu, harus ada penegasan bahwa KPK memiliki otoritas penuh untuk menangani tindak pidana korupsi, tak terkecuali yang melibatkan anggota TNI.
Herdiansyah justru menilai, jika dilihat dari kacamata politik hukum, seperti ada kesengajaan mempertahankan Undang-Undang Peradilan Militer agar perkara yang melibatkan anggota TNI masih bisa diinternalisasi. Hal inilah yang menghambat kerja KPK.
Namun, setelah uji materi Pasal 42 Undang-Undang KPK dikabulkan MK, kata Herdiansyah, perlu diatur lebih lanjut pengaturan teknis penanganan perkara yang melibatkan anggota militer. Pengaturan ini bisa ditegaskan melalui nota kesepahaman (MoU) antara KPK dan Panglima TNI.
Dalam nota kesepahaman itu, harus ditegaskan bahwa TNI tidak boleh mengganggu proses yang sudah dijalankan KPK. Alih-alih menghambat, TNI justru wajib bertanggung jawab membantu mempercepat atau mempermudah penanganan perkara. "Bagaimana caranya kita tahu bahwa KPK yang menangani lebih dulu dibanding TNI? Bisa jadi ada main mata, tinggal ditransaksikan saja," kata Herdiansyah.
Sebab, menurut dia, penegasan pada bagian akhir putusan MK dinilai problematik lantaran rawan cawe-cawe. Jika ada perkara yang melibatkan anggota penting dari kesatuan militer, pihak yang berkepentingan bisa "mengedipkan mata" ke KPK supaya bisa mengklaim bahwa perkara itu lebih dulu ditangani TNI.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo