MENCARI karyawan serba unggul memang tak gampang, bahkan tak jarang memusingkan kepala para eksekutif. Ada yang semula diunggulkan, ternyata malah rontok di tengah jalan. Ada yang tak diunggulkan, setelah di-PHK ternyata malah berprestasi di perusahaan lain. Berbagai konsep manajemen lalu diterapkan. Dan tes psikolo~gi ju~ga makin pentin~g, dalam rekruitmen karyawan ahli. Nah, mereka yang membutuhkan tenaga wiraniaga unggul kini boleh melirik hasil penelitian Haryanto, psikolog Universitas Gadjah Mada. Bertolak dari konsep LC (Locus of Contro~l)-kecenderungan seseorang mencari penyebab perisi~iwa yang terjadi dalam kehidupannya dia menyusun sebuah kerangka pendekatan jitu untuk menentukan jenis manusia macam apa yang sebenarnya cocok bekerja sebagai wiraniaga. Tak mustahil, temuan ini bisa juga diteraphan pada kelompok profesi lain yang harus bergerak di lapangan. Sesuai dengan kerangka konseptual yang berlaku dalam ilmu psikologi, subyek penelitiannya yang terdiri dari 60 wiraniaga PT Unilever depot Semarang, Jawa Tengah, dibagi atas dua sifat: Mereka yang bersifat ILC (Internal Locus of Control) -- mempunyai keyakinan bahwa semua peristiwa yang dialami ditentukan atau dikendalikan oleh dirinya dan yang bersifat ELC (External Locus of Control) -- berkeyakinan bahwa semua peristiwa yang dialami ditentukan oleh kesempatan, keberuntungan, atau kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Hasil penelitian Haryanto menunjukkan bahwa mereka yang bersifat ILC mempunyai produktivitas kerja lebih tinggi ketimbang rekannya yang bersifat ELC. Maka, kesimpulan yang bisa ditarik ialah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau calon pembeli berada pada mereka yang punya kepercayaan diri mantap. Bahkan menurut Haryanto, sifat ILC punya peran terbesar dibanding faktor-faktor lainnya, seperti tingkat kecerdasan, masa kerja, dan motivasi berprestasi. Berdasarkan penelitian serupa terhadap mahasiswa dan pelajar SMA -- dilakukan oleh peneliti lain dari UGM -- hal itu juga tetap berlaku. "Mereka yang punya sifat ILC lebih tinggi juga berhasil meraih prestasi dan mempunyai kreativitas lebih tinggi," ujar Haryanto yang sehari-harinya mengasuh pondok pesantren Suryalaya "Inabah 13" Yogyakarta. Tapi diakuinya juga bahwa kebanyakan subyeknya cenderung memiliki sifat ILC dan ELC sekaligus. Boleh dibilang, hanya kadar arah kecenderungannya yang berbeda. Ini tentu saja berbeda dengan masyarakat industri maju di Barat, yang sepenuhnya bersifat ILC. Perbedaan itu tak lain karena latar belakang filsafat dan budaya berbeda. Lalu dia mengajukan contoh. Di kalangan orang Jawa ada filsaf~at bersemangat ILC . Misalnya sedumuk batuk, senyari bumi, yang berarti sekecil apa pun nilainya, kalau memang milik, harus dipertahankan. Atau ra~we-rawe rantas, malang-malang putung, yang berarti kerja keras, hancurkan segala rintangan. Tapi mereka juga menganut filsafat yang berjiwa ELC, misalnya nrimo ing pandum atau pasrah saja. Gejala sikap pasrah, yang kini ~lasih dahsyat melanda masyarakat, tak lepas dari kondisi manajemen di Indonesia saat ini, terutama di jajaran instansi pemerintah. Mereka yang bekerja di sana sering bingung, karena tak ada sistem imbalan atau sanksi y~ang jelas. Dengan kat~ lain berbuat dan berprestasi baik tak menjamin bisa berakibat baik. "Hal ini membuat orang bertanya-tanya, 'Buat apa kita berjuang?'." ujar Djamaludin Ancok, psikolog senior UGM, yang juga penasihat penelitian Haryanto. Para eksekutif pun Juga tak lolos dari gejala itu. Terbukti, mereka banyak yang lari ke dukun, supaya cepat naik pangkat dan disayangi atasan. Atau mereka lari ke konsultan, sekadar untuk menanyakan sebuah kebijaksanaan ringan yang akan diterapkan di instansinya, yang selalu dihantui berbagai keruwetan. Kata Ancok, kedua hal itu tak akan mungkin dilakukan oleh para eksekutif yang bersifat ILC. Dia akan melaksanakan kebijaksanaannya dengan penuh tanggung jawab terhadap semua akibat yang muncul. Sedangkan eksekutif jenis ELC, kalau punya kuasa, akan cepat melontarkan segala kesalahannya pada pihak lain. Melihat perilaku tak sedap itu, setiap instansi -- swasta atau pemerintah - yang ingin menapak maju harus benar-benar membatasi ruang gerak pegawainya yang bersifat ELC. Sebab, orang seperti itu tak jarang lebih mengandalkan hubungan baik dengan atasan ketimbang berjerih payah. Jika mereka sukses, hampir bisa dipastikan akan menimbulkan amarah atau rasa jengkel di antara mereka yang mengandalkan prestasi. Suasana kantor akan kisruh dan penuh intrik. Meski demikian tak berarti sifat ILC tak punya pengaruh negatif. Menurut Haryanto, oran~g Jepan~g, yan~g punya sifat ILC tinggi, banyak yang melakukan bunuh diri. Di sana bahkan seorang murid SD rela mencabut nyawanya sendiri hanya karena rapornya ditaburi angka merah. Sedangkan orang Indonesia punya toleransi lebih rendah terhadap rasa putus asa, karena sifatnya yang cenderung lebih ELC. Sebagaimana orang beragama umumnya, mereka bisa mencari sandaran pada Yang Maha kuasa. Jadi, apakah sifat ILC bisa dibilang egoistis ? "Tidak," ujar Ashar S. Moenandar, guru besar psikologi UI. Orang ILC memang lebih menekankan pada "menurut dirinya" tapi itu justru mendorong individu lain agar bersikap mandiri secara lebih mantap. Dan kalau mereka bekerja lebih keras untuk memperoleh apa yang dikehendaki, tak berarti mereka melupakan kepentingan orang lain. Terbukti, tak sedikit pekerja sosial bersifat ILC. Karena itu, tak tertutup kemungkinan kerja sama antara mereka yang bersifat ILC dan ELC. "Itu bergantung pada sistem nilai yang dianut," ujar Moenandar. Sedangkan dalam perkembangannya, bisa saja terjadi keduanya lalu memilih satu jalur ILC atau ELC. Dengan alasan, kedua sifat itu tak muncul lantaran pembawaan sejak lahir, tapi lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan dan pengalaman. Pada pengamatan Moenandar, mereka yang sering mendapat sukses lantaran prestasi otomatis akan tumbuh dengan sifat ILC. Sedangkan mereka yang banyak meraih sukses lantaran hubungan baik atau mendapat dukungan kuat dari orang yang berkuasa, tentu akan tumbuh dengan dominasi sifat ELC. "Karena itu, cara memotivasi mereka juga berbeda," ujarnya. Sayangnya, sampai sekarang kebanyakan perusahaan masih menekankan segi teknis untuk mendidik para karyawannya. "Yang dibutuhkan orang ILC, tapi kebanyakan lokakarya atau seminar masih mengabaikan faktor psikologis," ujar Heidjrachman, direktur PT Panca Mitra Konsultan, Yogyakarta. Soal sejak kapan sifat nongenetic itu mulai terbentuk, seorang psikolog Amerika, F.J. Monks, berpendapat, prosesnya dimulai sejak masa anak-anak. Para orangtua yang sering di rumah dan memberi respon seimbang terhadap peri laku anak-anaknya akan memotivisi anaknya untuk memilih sifat ILC. Dari kebiasaan itu, akan tumbuh keyakinan dalam diri anak bahwa segala perilakunya akan mendapa respon dari lingkungannya.~ Sedangkan orangtua yang jarang di rumah secara tak langsung menumbuhkan sifat ELC dalam diri anak-anaknya. Kelompok etnis juga bisa mempengaruhi kecenderungan LC seseorang. kendati tak bisa dikaitkan dengan posisi minoritas atau mayoritas. Penelitian L. Gregory pada tahun 1978, yang diterbitkan dalam majalah Journal of Personality and Social Psychology menunjukkan bahwa orang-orang Negro kelas bawah di Amerika cenderung memiliki sifat ELC. Sedangkan penelitian J.D. Robinson dan P.S. Philip mengungkapkan bahwa anak-anak keturunan Asia yang minoritas di Amerika malah menunjukkan sifat ILC. Yang paling unik adalah penelitian Wang dan Stephens. Anak-anak lelaki keturunan Cina ternyata lebih bersifat ILC ketimbang anak-anak lelaki keturunan Anglo-Amerika, yang mayoritas. Padahal, masyarakat Cina di Amerika umumnya bersifat ELC, yang selintas saja dapat ditangkap dari pola permukiman dan bisnis mereka. Hanya saja, soal kenderungan sifat ILC dan ELC antara dua jenis kelamin sampai sekarang belum dibahas mendalam. Maklum, hasilnya selalu berubah-ubah. Dan mungkin juga produktivitas kerja tak sepenuhnya terpolakan menurut jenis kelamin. Praginanto, Bachtiar Abdullah (Jakarta), I Made Suarjana (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini