Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua siap menerbitkan buku Merebut Kendali Kehidupan: Perjuangan Orang Wambon di Boven Digoel Menghadapi Serbuan Investasi. Buku ini merupakan satu dari tiga buku berdasar penelitian yang akan diterbitkan oleh Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua buku lainnya, yang akan segera terbit, bertajuk Geliat Kampung Tersembunyi: Siasat Penghidupan dan Perubahan di Teluk Demenggong, Kabupaten Jayapura dan Bayang-Bayang Kerentanan: Tantangan Penghidupan Orang Sowek di Supiori.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti yang disorot antropolog Veronika Kusumaryati dalam epilog, buku ini melihat masyarakat adat bukan sebagai entitas yang statis, tapi terus-menerus dalam proses menjadi dan dikontestasikan oleh berbagai aktor (hal. 197). Melalui etnografi, buku ini mencoba memahami masyarakat adat yang dinamis itu dari cara pandang masyarakat adat sendiri.
Adapun buku Merebut Kendali Kehidupan: Perjuangan Orang Wambon di Boven Digoel Menghadapi Serbuan Investasi ditulis oleh Elvira Rumkabu, Apriani Anastasia Amenes, Asrida Elisabeth, I Ngurah Suryawan.
Para penulis membeberkan bagaimana meretasnya kapitalisme dalam bentuk investasi di sektor tanaman komoditas karet, perusahaan kayu, perkebunan sawit, dan pasar modern sejak era kolonial hingga paskakolonial, di Boven Digoel, Papua.
Investasi berbenturan dengan model kehidupan yang relatif otonom dari orang Wambon yang tinggal di sana. Perluasan kapitalisme yang terus-menerus itu menyedot semua hal ke dalam sirkuit perputaran modal yang semakin lama semakin besar dan terpusat. Dampaknya meminggirkan peran dan hak orang Wambon, terutama perempuan dan anak-anak. Misalnya dalam hal akses terhadap air, perempuan dan anak-anak yang paling terdampak. Mereka harus mengeluarkan energi yang secara konsisten relatif semakin lebih besar untuk mencukupi kebutuhan air seluruh anggota keluarga.
Buku ini hadir pada saat yang tepat dengan suatu cara pandang yang membuat permasalahan menjadi lebih sederhana untuk dipahami: bahwa dua model pembangunan sedang berbenturan, di mana yang satu meminggirkan yang lain.
Di satu sisi, penetrasi kapitalisme melalui pembangunan yang bersifat top-down, dengan atau tanpa dukungan kuat dari negara, telah meminggirkan cara hidup dan cara pandang orang Wambon yang berada di sisi lain. Benturan itu diperlihatkan dengan secara kritis menginterogasi ulang pembangunan top-down, yang menurut para penulis lebih ditujukan untuk melayani “kapitalis maupun oligarkis” (hal. xxv), sembari meminggirkan cara hidup orang Wambon.
Interogasi ulang secara kritis itu dipandu oleh – sekaligus dalam prosesnya memandu para peneliti untuk sampai pada – sebuah pertanyaan induk tentang model pembangunan yang berbeda: bagaimana pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan berkelanjutan menurut masyarakat adat? (hal. xxvii).
Krisis yang disebabkan oleh ekspansi tanpa batas kapitalisme ini adalah masalah riil. Ia muncul dalam wajah-wajah yang berbeda, seperti krisis politik demokrasi perwakilan yang dikoloni oleh oligark yang mengontrol proses pembuatan keputusan sesuai dengan kepentingannya.
Krisis lingkungan, berupa rusaknya ekosistem-ekosistem tempat manusia dan non-manusia hidup karena diserbu investasi (yang merupakan bagian dari kepentingan para oligark itu). Juga krisis sosial berupa semakin memburuknya kehidupan manusia yang terdampak.
Kasus orang Wambon dalam buku ini, tak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. aktivitas sehari-hari mama-mama dalam merawat manusia dan non-manusia adalah alternatif terhadap model pembangunan kapitalistik yang top-down dan meminggirkan itu.
Tanpa dikerangkai sebagai perlawanan pun, aktivitas sehari-hari itu adalah perlawanan, karena mereka meruang, mengambil bentuk geografi yang kontras dengan pembangunan top-down.
Di satu sisi, pembangunan kapitalistik top-down terus melaju, ujungnya adalah peminggiran masyarakat adat di Boven Digoel, terutama mama-mama dan anak-anak. Di sisi lain, kegiatan sehari-hari orang Wambon membatasi proses perluasan kapitalisme; misalnya dalam kontestasi mengakses sumberdaya seperti hutan.
Salah satu contoh keseharian praktik merawat mama-mama Wambon adalah menokok sagu sebagai bagian dari sistem semi-otonom kedaulatan pangan. Menokok sagu memiliki berbagai langkah.
Sagu yang mereka tokok tidaklah tumbuh dengan sendirinya di dalam hutan, tapi ditanam, dan barang tentu di satu atau lebih titik: dirawat. Mama Imelda adalah seorang pakar dalam menokok sagu. Ia dan kawan-kawan menokok sagu yang ditanam oleh mendiang mamanya.
Pertama sagu harus ditebang dulu, kemudian dibersihkan kulitnya yang keras dengan kapak panjang. Baru kemudian sagu bisa ditokok. Sagu yang sudah ditebang tidak semuanya diambil, tapi disisakan barang sedikit untuk mama dari Mama Imelda yang sudah menanam sagu yang mereka tokok.
Contoh yang lain adalah membuat noken, atau yang dalam bahasa Wambon disebut eno. Membuat sebuah eno membutuhkan waktu 1-2 minggu (hal. 116). Mama-mama Wambon membuat eno dari kulit kayu Genemo yang dipintal dan kemudian dirajut. Mereka mengerjakannya secara berkelompok dengan jumlah anggota 8-9 orang. Eno dijual di pasar ataupun kepada para tamu yang datang.
Untuk terus dapat menokok sagu dan membuat eno, keberadaan pohon sagu dan Genemo harus tetap lestari. Di sini peran hutan vital. Sebab di dalamnya terdapat bahan makanan seperti sagu, juga bahan membuat eno. Mama Sarafia yang dikutip dalam buku ini (hal. 124), secara singkat, tepat dan tajam mengungkapkannya: “Hutan menyimpan semua makanan.”
Pergantian fungsi hutan dari penyimpan makanan orang Wambon menjadi perkebunan untuk komoditas global (karet, sawit) inilah contoh konkret material-geografis investasi yang telah meminggirkan cara hidup orang Wambon yang semi-otonom itu. Karena itulah Mama Yosefa, “menolak perusahaan” (hal. 118 dan 165). Sikap penolakan Mama Yosefa ini terungkap melalui kerja etnografi yang dilakukan para penulis buku ini dalam usaha mereka memahami/menjelaskan sudut pandang Mama Yosefa.
Kerja merawat yang dilakukan mama-mama dalam menolak perusahaan itu hadir, misalnya, dalam bentuk aktivisme yang ekspresif sekaligus spiritual dengan sembahyang, doa, dan nyanyian dalam memikul dan memasang Salib Merah di Simpang. Karena Salib Merah yang dipasang di Simpang itu “ada isinya”, yaitu “Tuhan Yesus” yang “akan melindungi” (hal. 171) orang Wambon dari serbuan investasi.
Mengingat semakin parahnya krisis kapitalisme yang hadir dalam berbagai bentuk (misalnya: krisis politik, lingkungan, dan sosial), kerja-kerja merawat kehidupan seperti yang sudah dilakukan oleh mama-mama Wambon dalam aktivitas sehari-hari mereka ini sangat mendesak untuk bukan hanya sekadar diapresiasi, tapi juga diperdalam dan diperluas.
Jawaban terhadap pertanyaan kunci buku ini (bagaimana pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan berkelanjutan menurut masyarakat adat) bisa didekati dengan cara, salah satunya, menjadikan kerja-kerja keseharian merawat kehidupan oleh mama-mama masyarakat adat Wambon sebagai satu proses produksi pengetahuan darimana pembangunan yang merawat bisa dirumuskan bukan hanya secara pragmatik, tapi juga terprogram.
Bosman Batubara | peneliti di Human Geography and Spatial Planning Department, Utrecht University.