Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Cara Mencegah Kekerasan dari Politik

Untuk mencegah kekerasan dari politik, pertama-tama kita mesti mengubah politik dari mengandalkan negara. Theatrum mundi.

16 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULTIPLIKASI kebencian, pembinasaan terhadap ras, etnis, agama, dan gender, sejak abad ke-20 hingga kini adalah contoh kejahatan identitas. Filsuf Prancis, Etienne Balibar, menyebut kejahatan jenis ini acap lebih merusak ketimbang kekerasan dari kejahatan struktural.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pangkal dua kekerasan dalam masyarakat kontemporer adalah postulat Hobbesian. Ia menghasilkan pandangan sejarah yang menggiring kita menerima kekerasan sebagai sesuatu yang tak terpisah dari politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Thomas Hobbes, filsuf Inggris (1588-1679), negara perlu menjadi monster untuk mengatasi perang semua melawan semua. Dalam postulat Hobbesian ini, kekerasan pun menjadi timbal balik: negara menginterpelasikan warga sebagai produsen kekerasan, sementara negara terus-menerus melakukan penundukan melalui kekerasan. Masih mungkinkah politik bercerai dari kekerasan?

Untuk menjawabnya, Balibar menganjurkan satu cara, dengan pertama-tama belajar kepada Deleuze dan Guattari. Bagi keduanya, kekerasan muncul ketika dorongan untuk “menjadi” dihalangi oleh dorongan untuk “yang tetap”. Menurut mereka, mayoritas adalah “a state of standard in relation to which larger quantities, as well as the smallest, can be said to be minoritarian”. Yang mayoritas diterima sebagai standar, “yang tetap” dalam mengkonstruksi suatu kelompok sebagai minoritas. Akibatnya, proses “menjadi” hanya mungkin bagi mereka yang minoritas.

Dalam kenyataan, mayoritas dan minoritas dibedakan oleh dua fakta: dominasi mayoritas selalu bertumpu pada sistem identifikasi yang mapan, sementara yang minoritas bertumpu pada sistem identifikasi yang terus bergerak. Wujudnya menjadi perempuan, menjadi anak, menjadi kulit berwarna, menjadi pekerja, menjadi lesbian, menjadi gay, menjadi miskin. Dalam relasi gender yang dominan, lelaki tak pernah bisa “menjadi laki-laki”. Sebab, laki-laki adalah mayoritas par excellence. Dengan kata lain, mayoritas-minoritas bukan perkara jumlah. Mayoritas adalah nama lain dari mekanisme kemapanan teritori identitas tertentu, sementara minoritas adalah hasil deteritorialisasi identitas.

Emansipasi adalah penegasan diri di ruang publik. Misalnya, sekalipun jumlah perempuan di suatu masyarakat secara demografis lebih banyak, dalam struktur yang timpang, mereka tetap harus berjuang “menjadi perempuan” agar diterima sebagai perempuan. Di sini, dominasi beroperasi memutilasi gerak “menjadi”, sehingga ia hilang. Dalam keadaan seperti itu, satu-satunya yang tampil adalah identitas yang sudah dibakukan dan dianggap murni oleh sistem yang mapan.

Bauman menyebut minoritas sebagai “yang tak terklasifikasikan”. Ia adalah sifat residual dari desain kategorisasi modernitas yang dianggap bukan bagian suatu himpunan. Akibatnya, minoritas akan selalu diposisikan sebagai “yang asing” dan menantang semua tatanan. Karena itu, dengan gampang mereka yang minoritas acap menjadi kambing hitam. Terutama karena masyarakat kontemporer terbelah oleh kejahatan struktural dan kejahatan identitas itu.

Kejahatan struktural berupa segala upaya yang mematahkan kemungkinan resistansi terhadap suatu sistem. Sementara itu, kejahatan identitas sebentuk kekerasan yang mematahkan sistem identifikasi guna menghambat dorongan “menjadi”.

Balibar menyarankan cara menghadapi kekerasan semacam itu dengan politik keadaban (civility). Anjuran Balibar sama dengan saran Levinas untuk menjadikan “yang liyan” (being with other) sebagai atribut dasar eksistensi manusia. Sementara itu, Richard Sennett mengaitkan keadaban dengan presentasi orang dalam dunia publik, civility is treating others as though they were strangers and forging a social bond upon that social distance. Keadaban adalah kondisi ketika “yang asing”, “yang di luar kita”, dibiarkan tetap “asing” atau tetap “di luar”, sekaligus berhak ada “bersama kita”.

Di sini, Sennett menganjurkan strategi spasial dengan menjadikan kota/negara sebagai “theatrum mundi”, teater semesta, tempat warga adalah aktor dalam pelbagai topeng, kostum, dan perannya tanpa mengkategorikannya dalam kotak tertentu. Dengan kata lain, untuk mencegah kekerasan dari politik, pertama-tama kita mesti mengubah politik dari mengandalkan negara menjadi politik yang mengandalkan perjumpaan antarwarga.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini terbit dalam edisi cetak dengan judul "Teater Semesta".

Robertus Robet

Robertus Robet

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus