Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekonom Senior UI Faisal Basri menyayangkan pembentukan Badan Pangan Nasional (BPN) yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 tidak sesuai yang diharapkan. Dia menilai tidak ada penguatan fungsi apa pun, termasuk Perusahaan Umum Bulog, dalam pembentukan BPN. Di samping itu, merujuk pada fungsinya, BPN hanya berfokus mengurusi sembilan bahan pokok. Padahal komoditas di Indonesia terdiri atas beragam jenis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jangan -jangan BPN ini replika dari Badan Ketahanan Pangan yang ada di bawah Kementerian Pertanian. Jadi tidak ada penguatan Bulog dan badan pangan yang kita cita-citakan. Sedih banget, jadi harapan dimulai dari nol lagi,” ujar Faisal dalam acara ngobrol@tempo bertajuk “Mencari Solusi Sengkarut Tata Kelola Pangan di Indonesia”, Kamis, 26 Agustus 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara yang diselenggarakan kerja sama Tempo Media dengan Kurawal Foundation dan KRKP itu dapat disaksikan di kanal Youtube Tempodotco, Facebook Live Koran Tempo dan Saluran Digital TV Tempo.
Selain Faisal, acara tersebut dihadiri juga oleh Peneliti Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Hariadi Propantoko, Jurnalis Investigasi Tempo Erwan Hermawan dan Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan.
Faisal mengatakan seharusnya kehadiran BPN juga bisa melenyapkan praktik kongkalikong yang mewarnai proses impor pangan. Namun, Pembentukan BPN merupakan tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tak sesuai dengan gagasan awalnya.
Faisal menyebut klausul fungsi BPN yang tertuang dalam draf peraturan presiden diduga telah banyak dipangkas. “Kewenangan dicabut satu-satu sehingga versi yang ditanda-tangani Pak Jokowi beda jauh dengan draft awal. Ada lobi barang kali,” kata Faisal.
Jurnalis investigasi Tempo Erwan Hermawan, mengatakan pengelolaan pangan paling buruk di Indonesia. Importasi komoditas pangan dilakukan tanpa berbasiskan data lengkap sehingga terjadi gejolak harga, dan memukul petani dalam negeri. “Impor seperti dilakukan dengan tergesa-gesa, tanpa perencanaan matang, dan untuk kepentingan jangka pendek,” ujarnya.
Senada, peneliti KRKP Hariadi Propantoko mengatakan masalah kebutuhan pangan Indonesia lewat impor kerap terjadi ketidaksingkronan. Sebab, antar kementerian punya aturan mainnya sendiri. Ia mencontohkan, ketika rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) sudah ditetapkan siapa yang mendapatkan rekomendasi, kemudian harus mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) Kemendag.
“Ini memunculkan peluang-peluang biaya transaksi tinggi. Kenapa RIPH dan SPI tidak menyesuaikan dalam negeri?,” ujarnya. “Keputusan RIPH dan SPI adalah kebijakan pemerintah, apakah tidak mengenalkan data di balik keputusan tersebut?,” ucapnya.
Pahala Naingglon mengatakan logika impor sebenarnya sederhana. “Punya produksi berapa, kebutuhan berapa, match apa enggak. Kalo kurang impor. Tapi barang sederhana ini ternyata tidak sederhana,” ujarnya.
Dia berharap tata kelola pangan dapat diselesaikan lewat Lembaga National Single Window (LNSW). “Ini ada KSP, Kemdagri, Bappenas sama KPK, Menpan. Lembaga ini bukan rekomendasi tapi rencana aksi tentang perbaikan tata niaga,” katanya.
Sementara itu, Menteri Perdagangan RI Muhammad Lutfi mengatakan, dalam persoalan pangan, pihaknya mengacu pada prinsip dagang, yakni supply dan demand. Jika ada demand terhadap suatu produk tertentu, maka diperlukan supply yang mencukupi baik yang diperoleh dari produksi dalam negeri, maupun yang bersumber dari negara lain.
“Jika memang supply dalam negeri tidak cukup. Saya rasa prinsip dasar hukum penawaran dan permintaan yang terjadi,” ucapnya.
Lutfi menuturkan, dalam setiap proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah selalu didasarkan pada hukum yang berlaku. Dalam hal ini, pengambilan keputusan tata kelola pangan mengacu kepada undang- undang yang terkait sebagai pedoman hukum.
Lebih lanjut, Lutfi menyampaikan kebijakan terkait dengan tata kelola pangan di Indonesia ditetapkan berdasarkan Keputusan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) pada tingkat Kementerian Koordinator dengan melibatkan kementerian/instansi lainnya dengan memperhatikan rekomendasi dari kementerian teknis.
“Pertimbangan teknis yang dibahas dalam Rakortas, antara lain: analisis kebutuhan komoditas pangan tertentu dibandingkan dengan produksi dalam negeri ditambah dengan sisa stok komoditi tersebut sebelumnya, jika ada,” tuturnya.
Saat ini, Lutfi mengungkapkan pemerintah sedang menyusun sebuah mekanisme baru, yaitu Neraca Komoditas (NK). Mekanisme tersebut akan secara otomatis dijadikan parameter dalam menentukan kebutuhan terhadap suatu komoditi di dalam negeri.
“Nantinya diharapkan mekanisme ini akan sangat efektif dan efisien dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan tata kelola pangan,” ujar Lutfi.
Di samping itu, dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional atau BPN, Lutfi menjelaskan melaksanakan tata kelola pangan ke depan tentunya akan tetap bersinergi dengan BPN tersebut.
Lutfi mengakui, tata kelola pangan perlu didukung dengan kesesuaian data sehingga tergambar proyeksi produksi dan kebutuhan pangan agar keputusan impor dilakukan memang benar dibutuhkan untuk penopang kekurangan pasokan di dalam negeri serta membangun sistem distribusi yang efektif.
“Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pangan dengan tujuan utama untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan barang kebutuhan bahan pokok di seluruh wilayah, serta terbebas dari kepentingan pihak tertentu,” ujarnya.