Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Bank yang Menikmati Jebakan Utang

Pasar obligasi menjadi ceruk bagi perbankan untuk mendulang untung di masa lesunya permintaan kredit. Risiko tinggi menunggu pemerintah akibat utang yang kian menggelembung.

4 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUCURAN kredit perbankan dapat menjadi petunjuk awal bagaimana ekonomi akan bergerak. Jika kredit bank mengalir deras ke korporasi, ini pertanda baik. Ada kemungkinan kita akan melihat ekonomi tumbuh cepat. Sayangnya, selama Juli 2021, pertumbuhan kredit perbankan kembali melambat. Inilah dampak tak terelakkan pembatasan kegiatan masyarakat untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama Juli, aliran kredit hanya tumbuh 0,5 persen secara tahunan. Pertumbuhan ini lebih lambat ketimbang sebulan sebelumnya, yang sebesar 0,6 persen. Pembatasan kegiatan membuat aktivitas ekonomi yang mulai menggeliat selama Juni melemah lagi pada Juli. Padahal, selama Juli itu, dana masyarakat yang masuk ke deposito perbankan justru tumbuh pesat, 10,4 persen. Jadi penyebabnya bukanlah seretnya likuiditas. Turunnya permintaan pinjaman dari dunia usahalah yang membuat aliran kredit menyurut. Bisnis memang lesu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lantas bagaimana dengan perbankan? Ke mana mereka menyalurkan deposito masyarakat yang terus tumbuh pesat? Tak ada persoalan buat bankir untuk mencari laba. Saat ini ada satu pihak yang berlaku ibarat raksasa lapar, selalu siap melahap pinjaman dari perbankan berapa pun besarnya: pemerintah.

Untuk mengatasi pandemi, pengeluaran pemerintah melonjak hingga defisit anggaran mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun tahun ini. Utang merupakan satu-satunya jalan keluar bagi pemerintah. Untuk menutup lubang defisit itu, pemerintah menjual obligasi ke pasar dengan bunga yang cukup menarik, berkisar 6,5-7 persen per tahun.

Dengan memborong obligasi pemerintah itu, bank sudah bisa mendapatkan untung besar, tanpa risiko macet pula. Dana bank yang tertanam di obligasi pemerintah akan selalu dianggap sebagai aset lancar, sama likuidnya dengan uang tunai. Saat ini bank membayar bunga deposito rata-rata di bawah 3 persen—mungkin sedikit lebih besar jika nasabahnya istimewa dan menaruh dana besar. Dengan membeli obligasi pemerintah, bank beroleh laba dua kali lipat dari harga pokoknya.

Karena itu, tidaklah mengagetkan jika dana perbankan yang tertanam di obligasi pemerintah meroket luar biasa tinggi belakangan ini. Selama Agustus 2021 saja, ada tambahan Rp 83,3 triliun dana perbankan yang mengalir ke obligasi pemerintah. Dalam horizon yang sedikit lebih jauh, pada akhir 2019, sebelum pandemi meledak, dana perbankan yang mengendap di obligasi pemerintah hanya Rp 581,3 triliun. Per 31 Agustus 2021, jumlahnya sudah mencapai Rp 1.451,6 triliun, melonjak 150 persen atau satu setengah kali lipat hanya dalam tempo 20 bulan.

Jadi, meskipun ekonomi porak-poranda karena wabah, bank masih bisa mendapatkan untung. Sementara itu, pemerintah kian terbungkuk-bungkuk memikul bebannya. Stok utangnya melonjak luar biasa bersamaan dengan pembayaran bunga setiap tahun. Pada akhir 2021, stok utang pemerintah akan mencapai Rp 7.252 triliun. Sedangkan anggaran negara yang tersedot untuk membayar bunga utang mencapai Rp 373,3 triliun.

Pengeluaran ini akan terus melejit karena pada 2022 pemerintah bakal menambah utang sekitar Rp 1.000 triliun, tak berbeda jauh dengan tambahan utang pada 2020 dan 2021. Lonjakan utang dalam tiga tahun ini bisa menciptakan jebakan utang yang berbahaya. Pada tahun-tahun mendatang, kemampuan anggaran pemerintah akan makin loyo karena kian besar porsi yang tersedot untuk membayar utang dan bunganya.

Risiko itu sudah terlihat pada rasio pembayaran utang atau debt service ratio yang tahun ini mencapai 48,8 persen. Artinya, hampir separuh pendapatan pemerintah habis untuk membayar pokok dan bunga. Sedangkan porsi pendapatan pemerintah yang terpakai buat membayar bunga saja mencapai 21,4 persen.

Inilah dampak wabah yang bersifat struktural dan sungguh sulit diperbaiki. Itu sebabnya para ekonom selalu mengingatkan para pembuat kebijakan di seluruh dunia agar mewaspadai betul kerusakan ekonomi yang bisa bersifat permanen. Tak mudah bagi pemerintah untuk keluar dari jebakan utang dan memperbaiki kerusakannya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus