Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orang Muda, Bergerak Meredam Krisis Iklim

“Kalau kita bicara tentang 2045, kalian umurnya masih 40 (tahun), sekarang aku udah 60. So it’s gonna be your game, it’s gonna be your problem and that’s why you need to be care more. Dan saya setuju,” kata Ani.

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Town Hall Tempo, Orang Muda Bersama Sri Mulyani Indrawati, 9 November 2021

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti bulan-bulan biasanya, Lamtiar Nababan (16) membersihkan Pantai Kenjeran, di Surabaya, Jawa Timur, dari sampah plastik bersama teman-temannya. Namun bulan lalu Lamtiar tercengang. Dalam waktu tiga jam, ia dan teman-temannya berhasil mengumpulkan 564,4 kilogram sampah. “Jika kami membersihkan sampah seharian, berapa banyak yang akan kami dapat?” kata Lamtiar dalam Town Hall Tempo bertajuk ‘Orang Muda bersama Sri Mulyani Indrawati’, yang disiarkan secara langsung di kanal Youtube Tempodotco pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyaknya sampah di Pantai Kenjeran saat itu memantik kegelisahan Lamtiar. Bagaimana pun, polusi sampah adalah salah satu bentuk krisis iklim. “Krisis iklim bukan cuma pemanasan global. Tapi masih banyak, mulai dari deforestasi, polusi sampah, toxic waste, dan lain-lain,” kata Lamtiar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kegelisahan anak muda atas krisis iklim sedikit banyak meningkatkan partisipasi mereka terhadap isu lingkungan. Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, awal November lalu menunjukkan para pemimpin dunia telah semakin memahami bahwa masalah iklim merupakan masalah yang sangat serius. Namun sebagai anak muda, Lamtiar berpendapat anak muda harus dilibatkan dalam penanganan krisis iklim. “Youths are more capable of doing this,” kata Lamtiar.

Lamtiar adalah satu dari 223 anak muda yang ikut berperan dalam kampanye perubahan iklim #Andaiaku… di 2045. Kampanye ini diselenggarakan untuk mengajak anak muda memberikan sumbangsih ide dalam mengatasi perubahan iklim hingga 2045.

Kampanye ini merupakan rangkaian program, yang diawali dengan acara Youth Virtual Conference bertema #UntukmuBumiku yang digelar pada 6 Juni lalu hasil kerjasama Tempo Media Group bersama Forest Digest. Acara Youth Virtual Conference ini melahirkan ‘Manifesto Orang Muda Indonesia untuk Perubahan Iklim’ di mana 223 anak muda berkomitmen untuk terlibat menjadi bagian solusi untuk mengatasi perubahan iklim melalui karya dan kerja nyata.

Kampanye pun berlanjut dan puncak acaranya berupa town hall bersama Menteri Sri Mulyani Indrawati, yang akrab dipanggil Ani, yang menjabat sebagai Ketua Koalisi Menteri Keuangan Dunia untuk Mengatasi Krisis Iklim.

Menteri Ani mengapresiasi semangat anak muda terhadap isu krisis alam. “Kalau kita bicara tentang 2045, kalian umurnya masih 40 (tahun), sekarang aku udah 60. So it’s gonna be your game, it’s gonna be your problem and that’s why you need to be care more. Dan saya setuju,” kata Ani.

Namun Ani juga mengingatkan perjuangan anak muda tidak berhenti di semangat. “Tapi kalian harus menaikkan kompetensi dan kemampuan teknis kalian. Karena ini yang akan menentukan kita menang, baik dalam landscape internasional maupun dalam menjaga alam kita di Indonesia,” kata Ani.

Ani menjelaskan perubahan iklim terjadi karena ada kenaikan suhu di dunia. Dengan pembangunan yang terus menerus dilakukan di dunia, saat ini dunia lebih hangat dibanding masa praindustri. United Nations Framework Convention on Climate Change mencatat kenaikan temperatur dunia saat ini telah mencapai 1,10C.

Dalam Town Hall Tempo, salah satu perwakilan anak muda lain, Sumarni, menceritakan kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalimantan akibat tambang batu bara yang menjadi sumber terbanyak pembuatan bahan bakar. Kepada Menteri Ani, Sumarni menanyakan apakah mungkin mengganti penggunaan batu bara sebagai sumber bahan bakar dengan sumber energi yang dapat diperbarui.

Menanggapi pertanyaan ini, Ani menjelaskan PLTU yang ada di Indonesia memiliki kontrak yang panjang, berkisar 10-25 tahun. Jika pemerintah mengurangi kontrak PLTU, maka ada konsekuensi yang harus diterima pemerintah, yaitu pembayaran kompensasi kontrak. “Kita butuh dana untuk pensiunkan kontrak, dan di waktu yang sama kita juga harus membiayai pembangunan sumber energi yang renewable,” kata Ani. Untuk itulah, menurut Ani, penanganan krisis iklim harus dilakukan dalam beberapa level. “Perjuangan masih jauh, banyak yang harus disiapkan,” kata Ani.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus