Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Berbagai indikator menunjukkan ekonomi Indonesia mulai pulih.
Ekonomi global masih penuh ketidakpastian.
Masa libur panjang akhir tahun juga menyimpan bahaya.
MEREDANYA pandemi Covid-19 di Indonesia membangkitkan optimisme, ekonomi akan pulih lebih cepat. Pasar, warung dan restoran, juga mal mulai beroperasi normal sejalan dengan berkurangnya berbagai aturan yang membatasi mobilitas. Konsumsi masyarakat—salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi—meningkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Optimisme itu tecermin pada indeks keyakinan konsumen yang terekam paling tinggi semenjak Maret 2020. Belanja konsumen selama Oktober meningkat 5 persen dibanding pada bulan sebelumnya. Datangnya libur Natal dan tahun baru bulan depan juga berpotensi mendorong konsumsi lebih tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melonjaknya ekspor juga ikut mendorong pertumbuhan ekonomi. Harga berbagai komoditas utama ekspor Indonesia, seperti sawit dan batu bara, yang melambung amat tinggi dalam beberapa bulan terakhir membuat statistik neraca perdagangan mencorong positif.
Sentimen positif itu tentu mendorong pasar saham. Indeks harga saham gabungan, yang mencerminkan pergerakan harga semua saham di Bursa Efek Indonesia, mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, 6.691, pada Kamis, 11 November lalu. Investor asing ikut masuk kembali ke pasar saham Indonesia. Sejak awal tahun hingga 12 November, Jumat pekan lalu, jumlah dana asing yang masuk secara neto mencapai Rp 40,76 triliun.
Sepertinya kelesuan ekonomi sudah berlalu. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang tertahan di tingkat 3,51 persen pada kuartal III 2021, kemungkinan besar bisa bergerak lebih cepat pada kuartal terakhir tahun ini. Namun investor justru harus lebih waspada ketika optimisme menguat. Sekuat apa dan selama apa dorongan pertumbuhan itu akan bertahan? Inilah persoalan terpenting yang harus menjadi pertimbangan. Situasi ekonomi global ataupun pasar finansial sebetulnya masih penuh ketidakpastian. Ada beberapa faktor risiko yang dapat membalik keadaan dengan cepat.
Melonjaknya inflasi di Amerika Serikat menjadi ancaman paling serius. Pada Oktober 2021, inflasi tahunan di Amerika mencapai 6,2 persen. Ini jauh di atas perkiraan pasar dan merupakan titik tertinggi dalam 31 tahun terakhir. Cekikan inflasi yang begitu kuat dapat mendorong The Federal Reserve menaikkan bunga lebih cepat.
Memang, Ketua The Fed Jay Powell sudah berjanji institusinya lebih bersabar dalam menentukan kebijakan suku bunga. Ada target-target yang harus tercapai dulu sebelum bunga naik: tenaga kerja terserap sepenuhnya dan inflasi rata-rata 2 persen. Namun, dengan inflasi tahunan yang sudah mencapai 6,2 persen, tekanan terhadap The Fed agar menyesuaikan suku bunga tentu kian kuat.
Naiknya bunga The Fed, apalagi jika terjadi pada paruh pertama tahun depan, akan menjungkirbalikkan sentimen positif yang kini sedang menyelimuti pasar finansial Indonesia. Sekarang pun pasar sebetulnya masih dalam proses menyesuaikan diri dengan kebijakan lain The Fed, yaitu pengurangan suntikan likuiditas ke pasar atau tapering mulai November ini. Naiknya suku bunga yang tidak terlalu jauh jeda waktunya dengan tapering akan menjadi pukulan ganda yang membuat pasar benar-benar sempoyongan.
Faktor risiko lain adalah libur Natal dan tahun baru. Tak hanya menimbulkan lonjakan permintaan yang mendorong pertumbuhan, meningkatnya mobilitas masyarakat selama libur panjang juga berisiko menaikkan lagi angka penularan Covid-19. Jika itu terjadi, suka atau tidak, pemerintah tak akan punya pilihan selain kembali memberlakukan berbagai pembatasan aktivitas. Pertumbuhan ekonomi bisa kembali melambat.
Investor juga harus menimbang dengan serius, apakah komoditas ekspor Indonesia akan terus menikmati harga tinggi dalam jangka waktu cukup lama. Jika ekonomi global sudah terlalu penat terbebani inflasi, pada saatnya mekanisme pasar akan bekerja. Pertumbuhan melambat dan harga berbagai komoditas itu akan tersesuaikan pula.
Tak ada yang mampu memprediksi kapan persisnya koreksi harga akan terjadi. Namun, jika likuiditas dolar sudah menyusut dan suku bunga pun telah naik, baik eksportir komoditas maupun investor di pasar finansial harus bersiap menyongsong luruhnya harga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo