Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) diibaratkan oleh Ketua PPATK Periode 2002-2011 Yunus Husein seperti posisi gelandang dalam olahraga sepak bola. Terutama dalam hal menangani masalah tindak pidana pencucian uang (TPPU)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Posisi gelandang ini yang kerap memberikan umpan kepada striker. Yunus mengibaratkan penegak hukum sebagai striker. “Kalau main bola, PPATK itu seperti gelandang. Kasih umpan kepada para pendukung yaitu striker. Pada dasarnya, semua penyidik bisa memeriksa TPPU, tidak ada kecualinya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menambahkan, Ketika ‘bola’ sudah di penyidik maka jangan di gocek-gocek lagi. “Jangan sampai masuk angin, karena bisa tidak jadi gol,” kata dia dalam acara Ngobrol @Tempo dengan tema “Menangkal Tindak Pidana Pencucian Uang: Menguak Ancaman TPPU di Indonesia dan Strategi Penanganannya” di Gedung Tempo, Jakarta, Senin 10 April 2023
Menurut Yunus, ketika ‘bola’ sudah ada di tangan penyidik maka harus dilakukan penyelidikan dari bukti pemula, baru kemudian diteruskan ke Kejaksaan. “Yang jelas persepsi belum sama semua antara penegak hukum satu dengan yang lain, komunikasi PPATK juga sudah ada, hanya belum optimal.” Oleh karena itu, dia berharap terdapat peningkatan dalam hal sinergitas. “Karena kalau nggak kerja sama nggak mungkin bakal memasukkan ‘gol
Yunus menuturkan, masyarakat kerap keliru mengenai tugas lingkup PPATK. Banyak yang mengira salah satu tugas PPATK adalah mengidentifikasi TPPU. “Yang mengidentifikasi adanya TPPU itu penyedia jasa keuangan, bank misalnya,” kata dia
Menurutnya, terdapat beberapa kriteria sehingga seseorang dapat teridentifikasi melakukan TPPU di antaranya seperti menyimpang dari profil, memecah transaksi, ada kaitan dengan hasil tindak pidana, mengedit laporan, atau nasabah menolak memenuhi ketentuan costumer due diligence dan bank meragukan informasi dari nasabah
Setelah teridentifikasi, lalu dilaporkan secara online dan masuk ke PPATK. Dan yang dilakukan PPATK, kata dia, adalah melakukan pendalaman, menganalisis dan memberikan nilai tambah, mencari dugaan-dugaan, indikasi-indikasi ada tidak pelanggaran tindak pidana asal akan pencucian uang. “Kalau ada indikasi itu kita berikan kepada instansi penyidik. Kalau enggak ada kita simpan lagi di data base
Laporan hasil analisis atau lapor hasil pemeriksaan PPATK kemudian dijadikan bahan untuk menyelidik untuk memperjelas bukti apakah ada pidana atau tidak dengan mecari bukti permulaan yang cukup, minimal dua
“Misalnya bukti tertulis, ada saksi ada keterangan dari si terlapor atau petunjuk atau bukti transaksi. Adanya bukti elektronik. Kalau sudah ada dua alat bukti dari masing masing asas praduga tadi penyidik bisa menaikkan menjadi penyidikan karena sudah ada tindak pidana dan calon pelakunya. “Dan Ketika sudah selesai di sini silahkan kasih ke kejaksaan atau ke pengadilan
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menuturkan, jika bisnis dan proses sudah jelas, namun yang sulit ketika PPATK sudah melempar informasi tentu ‘bola’nya ada di penegak hukum.
“Kami mendorong advokasi kebijakan. Untuk mendorong paling tidak ada itikad baik dari penegak hukum. Itu menjadi satu hal yang selalu kami dorong agar setiap tindak pidana korupsi misalnya, harus dibarengi dengan pencucian uang. Poin itu lah yang selalu kami ulang,” kata Lola
Memang, lanjut dia, dampak atau hasilnya belum tentu terlihat apalagi kalau melihat tren vonis yang dipantau setiap tahun oleh ICW belum merefleksikan sama sekali. Diketahui dalam masa pantau lima tahun sejak 2017, ICW menemukan penggunaan instrument TPPU untuk kasus korupsi kurang dari 2 persen
“Kurang dari 2 persen itu terpantau putusan hakim paling sedikit 4 terdakwa dan paling banyak 20 terdakwa kurun waktu 2017-2021.” Padahal, menurutnya diketahui jumlah total terdakwa kasus korupsi sebanyak 1062 di tahun 2017 dan 1403 di tahun 2021. “Memang, dalam konteks penegakan hukum untuk tindak pidana korupsi yang dibarengi dengan TPPU masih minim sekali,” kata Lola
Dia menyadari penegak hukum memiliki pendekatan masing masing. Terdapat pertimbangan misalnya kenapa dakwaannya disatukan antara tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal dengan TPPUnya, kenapa kemudian dipisah
Bagi ICW, lanjut Lola, kenapa korupsi harus dibarengi dengan TPPU karena ICW meyakini TPPU mirip dengan pencurian dengan penadahan. “Karena tujuannya mengelabui, menyamarkan agar terlihat terkesan sah bukan berasal dari tindak pidana biasanya akan dibarengi dengan TPPU. Jenisnya apa, ya itu nanti. Itu tugas penyidik sebetulnya untuk menentukan TPPUnya sebelah mana. Perbuatan apa yang diidentifikasi sebagai pencucian uang.”
Dari pemantauan ICW, kata Lola, pekerjaan rumah besarnya ada di penegak hukum. “Bahkan KPK, kejaksaan termasuk kepolisian sebagai lembaga yang melakukan penyelidikan itu yang masih minim. Di tingkat penyidikan minim kemudian dakwaannya minim, keputusan apa lagi. Karena belum tentu semua yang didakwakan dianggap terbukti dan diputus oleh hakim. Beberapa dimasukkan, tetapi hakim menganggap TPPUnya tidak terbukti. Sehingga tidak dikabulkan
Salah satu hal yang patut diapresiasi kata Lola yaitu regulasi yang sudah ada. Karena untuk mendorong regulasi saja merupakan pekerjaan rumah yang Panjang. “Ada political will di situ, ada harmonisasi antar peraturan antar undang-undang. Sekaligus memastikan institusi-institusi negara yang berkepentingan langsung dalam satu frekuensi. Tantangan ini sedang dihadapi untuk RUU perampasan aset misalnya
Mudah-mudahan, kata dia, hal ini mendorong UU TPPU itu makin bergigi. Makin bertaji termasuk UU Tipikornya. “Intinya ini memang tidak bisa dilakukan hanya berharap satu institusi misalnya PPATK, tapi harus dibarengi dengan institusi lain termasuk penegak hukum karena harus ada kerja yang sinergis antara PPATK sebagai yang memberikan informasi, menyuplai analisis dengan penegak hukum.”