Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Pustaka Bergerak

Penyebaran pengetahuan tertulis di Indonesia tak merata. Filosofi Pustaka Bergerak.

9 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Buku adalah penyimpan informasi.

  • Pendirian Pustaka Bergerak terinspirasi oleh kesadaran bahwa mengawetkan informasi adalah hal penting.

  • Bagaimana jika dunia terhubung oleh buku dan ilmu pengetahuan?

KONON salah satu buku tertua dalam sejarah Cina diberi judul Shujing, yang artinya “Kitab Dokumen”. Bagi penyusun Shujing, kitab memang berguna sebagai wahana penyimpan informasi. Anggapan ini agaknya dipegang oleh bendaharawan Sumeria pertama yang menata aksara baji di tablet tanah liat atau penguasa Mesir kuno pertama yang memerintahkan penyusunan hieroglif di gulungan papirus. Johannes Gutenberg di abad ke-15 atau Michael R. Hart, penemu e-book dan pendiri Project Gutenberg di abad ke-20, juga masih menganggap tugas utama buku adalah menyimpan informasi dan pengetahuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaringan Pustaka Bergerak terinspirasi gagasan tersebut. Tersebab penyebaran pengetahuan tertulis di Indonesia yang tak merata, jaringan ini bergerak menyebarkan buku ke kampung-kampung di wilayah yang minus buku. Kami menemukan bahwa buku tidak hanya berfungsi menyimpan informasi. Buku yang bergerak dari satu tangan ke tangan yang lain mendapat martabat baru sebagai cendera mata, tanda persahabatan dan kepedulian, serta solidaritas bagi sesama. Buku yang terkirim dari satu tempat di Indonesia ke tempat lain di pelosok dapat menjadi peniup nyala api persaudaraan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pustaka yang sampai di pelosok merekahkan senyum di wajah mungil para bocah. Tiap kali paket pustaka datang, anak-anak membongkar paket, membacanya bersama di halaman rumah, di sisi kandang sapi, di papan dermaga, atau di batang kayu. Di sejumlah tempat, ibu-ibu membuat arisan buku, bergiliran membungkus paket dan beramai-ramai mengantarkan ke kantor pos terdekat. Mereka gembira saat tahu bahwa bungkus paket yang menerakan alamat mereka dipajang di dinding rumah para penerima.

Pajangan alamat para pengirim yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air itu jika dicocokkan dengan peta akan membangun imajinasi tentang Indonesia sebagai bangsa milik bersama. Kemeriahan pengiriman buku gratis yang berlangsung setiap tanggal 17 itu telah menjadi festival warga. Ada relawan menyebutnya Lebaran pustaka. Ada juga yang menganggapnya upacara saraswati, karena menjunjung martabat pustaka. Festival bulanan yang merayakan ilmu dan solidaritas itu memang menciptakan rasa kebersamaan, memperkuat kohesi komunitas, serta membina kreativitas artistik dan kultural.

Di puncak kemeriahan Lebaran pustaka bulanan itu, saya teringat pada tiga baris sajak T.S. Eliot:

Where is the life we have lost in living?
Where is the wisdom we have lost in knowledge?
Where is the knowledge we have lost in information?

Relawan yang bergerak menebar pustaka mungkin tak akan sulit menjawab pertanyaan Eliot. Bagi mereka, hidup yang dijalani sendiri adalah hidup yang tak lengkap, hilang, sesuatu yang tak mudah ditanggung makhluk berakal. Kehidupan yang hilang hanya dapat diperoleh kembali jika dijalani bersama “sang lain”. Pengetahuan yang berkembang tak akan pernah jadi kebijaksanaan, jika “sang lain” tak masuk ekuasi. Informasi yang meledak melimpah, tak akan pernah menghablur jadi pengetahuan jika tidak ada gravitasi tujuan hidup bersama yang menjunjung martabat “sang lain”.

Pustaka yang baik, yang mendokumentasikan sejarah dan imajinasi, memberi kita kekuatan besar. Ia membuat terang masa silam dan memberi kita kekuatan maju menembus masa depan. Pustaka yang bergerak dari satu tangan ke tangan yang lain memperkuat jangkauan lateral kita: merangkul sesama yang kurang beruntung dan terkungkung nasib sial sejarah.

Selanjutnya adalah pertanyaan-pertanyaan filosofis sekaligus teknis. Bagaimana gerakan pengiriman buku gratis ini tak hanya menghubungkan pembaca di Tanah Air, tapi juga dunia? Bagaimana melibatkan semua kantor pos dan perusahaan kargo sejagat agar festival ilmu dan solidaritas ini bisa ikut mengukuhkan perdamaian dunia? Bagaimana mendanai festival global bulanan ini agar, pada saat manusia berhasil membangun koloni di Mars, solidaritas di bumi tetap rimbun dan subur?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus