Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iklan

Pentingnya Inklusi Disabilitas pada Proses Integrasi Pengetahuan ke Kebijakan

Pentingnya Inklusi Disabilitas pada Proses Integrasi Pengetahuan ke Kebijakan

14 April 2022 | 21.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama pandemi Covid-19, salah satu kelompok yang paling terdampak ialah para penyandang disabilitas. Apalagi kebijakan yang ada saat ini dinilai belum mampu mengakomodasi kebutuhan khusus dan kurangnya kesiapsiagaan darurat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam analisis GEDSI (Gender, Equity, Disability, and Social Issue) membantu kita memahami tantangan yang dihadapi para penyandang disabilitas yang memiliki beragam identitas. Selain itu, analisis ini juga membantu mengidentifikasi peluang penyandang disabilitas untuk mengimplementasi program dan kebijakan yang lebih inklusif. Lalu, seberapa penting inklusi disabilitas dalam proses integrasi pengetahuan ke kebijakan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembahasan telah dikemas dalam sebuah webinar bertajuk “KSIxChange#39: Memperkuat Aspek Inklusi Disabilitas pada Proses Integrasi Pengetahuan ke Kebijakan” yang tayang pada Kamis, 2 Desember 2021 melalui live streaming di kanal Youtube Asumsi. 

Yang menjadi fokus dalam pembahasan ini adalah pentingnya inklusi disabilitas dalam proses integrasi pengetahuan ke kebijakan dengan mengaplikasikan lensa interseksional dalam analisa isu disabilitas karena orang dengan identitas dan aspek disabilita yang beragam mengalami hambatan dan tantangan yang berbeda-beda. 

Menurut Peneliti PRAKARSA, Eka Afrina Djamhari mengatakan terkait dengan kebijakan sosial dalam interseksi kelompok lansia dan penyandang disabilitas yang mana kelompok ini memiliki kerentanan kemiskinan tertinggi di antara masyarakat pada umumnya. Pada kelompok disabilitas berdasarkan data survei nasional 2020 hampir 43 persen tinggal di kelompok ekonomi terbawah artinya kemiskinannya tinggi. Bisa disebabkan karena mereka disabilitas lalu mereka miskin atau bisa juga karena mereka miskin sehingga menjadi disabilitas. 

Di masa pandemi, kelompok disabilitas juga belum menjadi kelompok yang menjadi perhatian utama termasuk di dalamnya bantuan sosial. Berdasarkan data, kurang dari 3 persen penyandang disabilitas mendapatkan bantuan dari ASDP dan PKH. Pandemi Covid-19 ini juga membatasi ruang gerak para penyandang disabilitas mulai dari tidak bisa mengakses layanan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan. 

Untuk akses kesehatan, ternyata tidak semua penyandang disabilitas masuk dalam skema bantuan iuran, hanya sebanyak 38 persen dari total disabilitas di Indonesia. Fasilitas dan obat-obatan terbatas terutama disabilitas mental dan psikososial. 

Sementara untuk akses pendidikan dan pekerjaan ini menjadi efek domino. Masih banyaknya sekolah dan tenaga pendidik yang melakukan diskriminasi serta belum mampu memberikan pendidikan inklusif bagi para disabilitas. Akibat dari pendidikan yang rendah, hanya sekitar 1 persen penyandang disabilitas yang masuk sektor formal. Sebagian besar sekitar 75 persen berada di sektor informal dan sisanya tidak bekerja. 

Selain itu, kebijakan dari pemerintah saat ini juga belum ada keberpihakan kepada para penyandang disabilitas. 

“Sayangnya hingga saat ini masukan kebijakan yang disampaikan para disabilitas belum sepenuhnya diakomodir, masih ada anggapan bahwa pembangunan yang mengakomodasi penyandang disabilitas memerlukan biaya mahal,” ungkap Eka.

Menurut Presiden Australia Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) Dr. Dina Afrianty mengatakan yang menjadi tantangan para disabilitas selama ini untuk berintegrasi dan berpartisipasi di ruang publik terutama pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi adalah isu mobilitas. Mulai dari tidak adanya sarana transportasi, sekolah yang tidak memiliki kemampuan dalam menerapkan pendidikan inklusif dan tradisi atau attitude dari para pendidik yang belum memiliki kepekaan terhadap hak asasi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan. 

“Pelajaran pentingnya adalah bahwa ternyata semua orang bisa belajar dan bekerja dari rumah. Artinya seharusnya, harus kita ingat di masa mendatang, siapa pun penyandang disabilitas yang ingin sekolah atau bekerja itu boleh diberikan kebebasan untuk bekerja dan belajar dari rumah,” ungkap Dina.

Tentunya, hal ini dapat terwujud jika seluruh lembaga pendidikan sudah memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan undang-undang disabilitas maupun Peraturan Pemerintah nomor 13 tentang akomodasi yang layak di mana lembaga pendidikan wajib mempunyai unit layanan disabilitas, wajib memberikan pendidikan inklusif dan dapat memberikan kesadaran serta pemahaman bagi para civitas akademika tentang bagaimana memberikan dukungan dan kesempatan yang sama dalam proses belajar yang inklusif.

Sementara menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo mengatakan para disabilitas sebenarnya memiliki kesempatan yang sama dalam bekerja namun tertutup oleh aturan di dalam negeri.

“Terminologi sehat jasmani dan rohani yang selama ini sering menjadi barrier bagi teman-teman disabilitas untuk mengakses pekerjaan baik di luar dan dalam negeri” ungkap Wahyu.

Dalam webinar ini juga turut menghadirkan pakar lainnya. Diantaranya Prof. Dr. Tri Nuke, MA., Peneliti Utama, Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Maulani A. Rotinsulu, Sekretaris Jenderal, ASEAN Disability Forum dan Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Gaby Gabriela Langi, MPH., Peneliti, PUI-PT PPH PUK2IS Unika Atma Jaya, Gufroni Sakaril, Ketua, Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI). 

Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa perlunya kebijakan-kebijakan yang memenuhi segala kebutuhan para disabilitas terutama kesehatan, pendidikan dan lapangan pekerjaan. Selain itu, dalam setiap kebijakan perlu adanya inklusi disabilitas untuk memenuhi berbagai identitas dan aspek yang berbeda-beda dari para penyandang disabilitas.

Tempo.co - DS

Tempo.co - DS

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus