Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tumpang-Tindih Masalah Pantai Indah Kapuk

Beragam masalah muncul di Pantai Indah Kapuk 2 dan proyek strategis wisata hutan mangrove. Aguan mengklaim tak ada yang rugi.

8 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mangrove Tanjung Pasir yang termasuk kawasan Pantai Indah Kapuk 2, Teluk Naga, Tangerang, Banten, Jumat 6 Desember 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aguan merencanakan lokasi wisata di PIK 2 sejak 2011.

  • Pemerintahan Prabowo Subianto sedang mengkaji Proyek Wisata Mangrove yang dikerjakan Agung Sedayu Group.

  • Ada laporan polisi di balik kritik pembangunan PIK 2.

KEINGINAN Sugianto Kusuma mengembangkan kawasan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) menjadi kawasan wisata di Jakarta sudah lama terpendam. Lewat Agung Sedayu Group, pria yang biasa disapa Aguan itu membangun kawasan PIK 2 sejak 2011. Di dekat tanah mereka terdapat hutan mangrove dan lahan lain milik negara. Aguan mengklaim kawasan hutan tak terawat dan rusak terkena abrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia ingin menyulap kawasan itu menjadi lokasi ekowisata. Lalu di tanah milik Agung Sedayu yang berada di sekitar lokasi wisata itu akan dibangun taman, lapangan golf, dan sarana pendukung wisata lain. Ia bersama anak buahnya lantas memohon izin kepada pemerintah Jakarta hingga ke pusat. Sejak awal ia yakin pemerintah bakal mendukung. “Barang mati bisa hidup dan pemerintah dapat duit,” kata Aguan kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keinginannya terwujud. Proyek itu dinamai Proyek Strategis Nasional (PSN) Tropical Coastland. Pemerintahan era Presiden Joko Widodo merestui kawasan tersebut menjadi PSN lewat Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN. Gagasan itu juga mendapat dukungan resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 19 Desember 2023. “Dukungan juga datang dari Gubernur Banten dan Bupati Tangerang,” ucap Sekretaris Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas Suroto.

Namun proyek itu juga memunculkan beragam masalah baru. Sejak area itu menjadi kawasan PSN, aktivitas petani tambak ikan bandeng di Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, Banten, merosot drastis. Selama ini mereka memanfaatkan lahan hutan lindung milik Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau PT Perhutani itu untuk memelihara ikan. Aktivitas itu dilakukan sejak masa Orde Baru. Kala itu mereka bisa memanen hingga 5 ton bandeng. “Rata-rata sekarang cuma bisa 2 ton,” ujar Nurudin, salah seorang petani.

Nurudin adalah satu dari puluhan petani tambak yang masih bertahan. Untuk menjaga pantai dari abrasi, mereka secara swadaya menanam pohon mangrove. Ribut-ribut PSN di kawasan mangrove itu mengancam mata pencarian mereka. Apalagi empang yang mereka kelola dianggap melampaui batas patok kawasan Perhutani. Sebab, plang Proyek Strategis Nasional Tropical Coastland terpancang di sana.

Mereka sudah menyurati pemerintah soal kasak-kusuk PSN di kawasan mangrove. Advokasi yang difasilitasi Generasi Muda Matlaul Anwar (Bergemma) hanya mendapat respons singkat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat itu. “Mereka hanya menjawab tanah itu milik negara,” tutur Panglima Brigade Bergemma Iwan Darmawan.

Lokasi Tropical Coastland berdampingan dengan lahan rencana pengembangan kawasan Pantai Indah Kapuk 2. Pemerintah menyambut rencana menyulap hutan mangrove menjadi lokasi ekowisata itu lantaran terhubung dengan kawasan pariwisata yang telah terbangun, seperti Kepulauan Seribu dan Kota Tua-Sunda Kelapa.

Kawasan seluas 1.521 hektare tersebut nantinya tersebar di lima lokasi dengan peruntukan berbeda. Di area A seluas 54 hektare di Desa Tanjung Pasir bakal dibangun wisata Taman Bhinneka. Adapun lahan 261 hektare di Desa Kohod (area B) nantinya menjadi Taman Nusantara.

Sekitar 302 hektare hutan mangrove di Desa Muara dan Desa Tanjung Pasir (area C) bakal dipertahankan sebagai daerah wisata mangrove. Di sisi timurnya terletak area D. Kabarnya, kawasan yang berada di Desa Muara itu bakal disulap menjadi sirkuit internasional tepi pantai, seperti Phillip Island di Australia atau Monte Carlo di Prancis. “Area E berada di Desa Mauk dan Desa Kronjo. Kawasan seluas 687 hektare itu untuk agrowisata,” ujar Suroto.

Kelima area Tropical Coastland bakal terhubung dengan jalan akses seluas 234 hektare yang kini telah dikuasai pengembang. Suroto menerangkan, usul perubahan status lahan dari kawasan hutan lindung sudah diajukan Gubernur Banten kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lewat surat tertanggal 25 Juli 2024. “Surat tersebut meminta pemerintah menurunkan status lahan menjadi hutan produksi secara parsial,” katanya.

Rezim pemerintahan telah berganti. Belakangan, presiden terpilih Prabowo Subianto lewat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid malah mengatakan bakal mengkaji ulang proyek tersebut karena ada ketidaksesuaian antara rencana tata ruang wilayah di provinsi dan kabupaten. “Kami masih mengkaji apakah bakal menerbitkan rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang,” ucapnya.

Nusron juga mempersoalkan pemanfaatan hutan lindung mangrove di kawasan tersebut. Sebab, penurunan status kawasan hutan lindung menjadi hutan yang dapat dikonversi dan area peruntukan lain belum pernah disetujui oleh Kementerian Kehutanan. Menurut dia, hutan mangrove di sekitar area tersebut berguna untuk mendukung kawasan pertanian pangan berkelanjutan. “Kami lebih memprioritaskan PSN swasembada pangan,” katanya.

Suroto mengakui adanya masalah itu. Dia menjelaskan, usulan perubahan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi hingga kini masih dalam proses. Kewenangan tersebut berada di tangan Kementerian Kehutanan melalui tim terpadu bentukan Menteri Keuangan. Merekalah yang bertugas melakukan verifikasi. “Sesuai dengan regulasi fasilitas kemudahan PSN, hutan tersebut dapat diturunkan statusnya,” ujar Suroto.

Tropical Coastland hanyalah bagian kecil dari megaproyek PIK 2 yang bakal mengelola lahan seluas 28 ribu hektare. Pendanaan proyek tersebut sepenuhnya mengandalkan investasi pengembang yang nilainya ditaksir mencapai Rp 65 triliun. Suroto memperkirakan proyek tersebut akan memberikan efek perekonomian secara regional dan nasional. “Sedikitnya ada sekitar 20 ribu tenaga kerja yang bakal terserap,” tuturnya.

Masalahnya, sekelompok warga menolak proyek PIK 2 dan meminta status PSN di sana dicabut. Sekretaris Jenderal Forum Tanah Air Ida Kusdianti mengklaim banyak warga sekitar terpaksa menjual tanah dengan harga murah. Dia mengungkapkan, pembangunan di PIK 2 makin gila-gilaan setelah ditetapkan sebagai PSN. Keuntungan pembangunan PIK 2 hanya dirasakan kalangan tertentu. “Sementara masyarakat lokal justru terpinggirkan,” ucapnya.

Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Muhammad Said Didu, ikut melontarkan kritik terhadap pengembangan proyek PIK 2. Namun ia malah dilaporkan Kepala Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia Kabupaten Tangerang sekaligus Kepala Desa Belimbing, Maskota. Said dituduh mencemarkan nama karena ia mengatakan warga sekitar dipaksa menjual tanah kepada pengembang.

Said sudah membantah tuduhan itu. Ia juga telah diperiksa polisi. Dia mengungkapkan, banyak warga sekitar yang terpaksa melepas tanah dengan harga Rp 35-50 ribu per meter. Mereka juga harus berhubungan dengan para perantara yang melibatkan aparat desa. Administrasi transaksi itu disampaikan oleh aparat desa dan sering dilakukan tanpa kuitansi.

Aguan memang mengakui banyak masalah seputar pembebasan lahan di PIK 2. Status kepemilikan sering kali tumpang-tindih dan harus diselesaikan lewat pengadilan. Agung Sedayu selaku pengembang PIK 2 tak jarang menghadapi makelar yang membeli murah tanah warga, lalu menjualnya kepada pengembang dengan harga tinggi. “Itu semua aslinya ganti untung. Bisa saya jamin,” kata Aguan, mengklaim.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Jihan Ristiyanti dan Ayu Cipta dari Tangerang berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus