Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Pusat Penelitian Bioenergi dan Surfaktan Institut Pertanian Bogoro (IPB) Meika Syahbana Rusli, mengatakan potensi lahan kering di Jawa untuk memproduksi biomassa seluas 916 ribu hektare dalam area 60 kilometer dari PLTU. "Potensi biomassa secara garis besar bisa dari pertanian dan perkebunan," ujarnya di Badung, Bali, 1 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, apabila PLN mengimplementasikan kebijakan co-firing 5,0 persen pada 16 PLTU, lahan yang dibutuhkan hanya 189 ribu hektare. Jika ditingkatkan menjadi 10 persen atau sekitar 379 ribu hektar, artinya lahan untuk pengembangan biomassa masih cukup di Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teknologi co-firing merupakan salah satu cara untuk bisa menurunkan emisi karbon pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Lahan kering yang terbentang luas itu menjadi modal utama untuk mengembangkan budidaya tanaman energi sebagai bahan baku utama biomassa.
Meika mengatakan pengembangan biomassa dari Riau saja bisa mencapai 20 juta ton memanfaatkan limbah sawit. Potensi yang sama juga terdapat di Sumatera Utara.
Menurut Meika, potensi pengembangan biomassa di Jawa sangat banyak. “Ada Jerami, sekam, dan sebagainya. Semua berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi," tuturnya.
PLN dapat melibatkan masyarakat terkait ketersediaan lahan untuk pengembangan biomassa. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan kategori hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, dan hutan desa cukup potensial untuk dikembangkan. Saat ini izin pemanfaatan untuk perhutanan sosial serta kemitraan kehutanan sekitar 572 ribu hektare yang bisa digunakan masyarakat.
Meika memberi catatan bagaimana menggerakkan masyarakat agar mau membudidayakan tanaman energi seperti kaliandra, gamal, lamtoro, sengon dan lainnya. Selain memikirkan pola tanam tumpang sari antara tanaman energi dan tanaman lainnya, keekonomian dari pasokan disebut juga penting.
Kemudian menciptakan ekosistem tanaman energi yang melibatkan masyarakat lewat kelompok tani, pihak pengolah dari swasta atau anak usaha PLN. "Ini yang menjadi concern PLN agar suplai biomassa berlanjut dari waktu ke waktu," kata Meika.
Menurut dia, IPB telah melakukan analisa kelayakan dan keekonomian terhadap potensi kayu yang dinilai kompetitif bila ditanam dan dijual oleh petani. Meski demikian, kebijakan pemerintah atau mekanisme dukungan sangat dibutuhkan untuk menjalankan co-firing dengan biomassa.
Meika mencontohkan Jepang dan Korea Selatan meski tak memiliki sumber biomassa dapat menjalankan program dengan impor karena didukung kebijakan pemerintahnya. "Amerika Utara, Brasil dan Australia tidak melakukannya karena dukungan pemerintah tidak memadai. Jadi catatannya bisa berjalan jika ada dukungan kebijakan dan insentif," ucapnya.
PT PLN (Persero) terus menunjukkan komitmen untuk meningkatkan porsi energi bersih dan menuju netralitas karbon pada 2060 mendatang. Setelah menerapkan langkah co-firing dengan memadukan porsi biomassa pada PLTU, PLN melibatkan peran serta masyarakat untuk agenda transisi energi ini.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyebutkan kondisi saat ini dengan pemanasan global, ada potensi masa depan menjadi suram bila tak ada upaya bersama untuk mencegahnya. Setiap kWh listrik yang dihasilkan mengandung emisi karbon yang perlu dikendalikan.
PLN memiliki aset PLTU yang banyak mengandalkan batu bara sehingga muncul ide pengurangan emisi lewat co-firing selain opsi melakukan pensiun dini atas aset tersebut. Dari pembangkitan batu bara disebut menghasilkan emisi karbon satu kilogram untuk setiap kWh yang dihasilkan.
"Kami hadir di sini untuk menentukan masa depan, generasi mendatang harus punya masa depan lebih baik. Caranya, kolaborasi untuk mengurangi emisi karbon," ucap Darmawan.
PLN meningkatkan penggunaan co-firing ini di seluruh Indonesia. Selain untuk menekan emisi karbon dari PLTU, keterlibatan masyarakat dalam pengembangan biomassa bisa menjadi titik pertumbuhan ekonomi baru.