Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Katastrofe

Dalam imperialisme linguistik, keutamaan bahasa asal bisa dilihat secara ideologis, ketika bahasa yang paling berpengaruh lebih bergengsi daripada yang lain.

2 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Buku Mark Manson berjudul f*uck diterjemahkan menjadi ambyar.

  • Namun, penerjemah buku ini masih ragu menerjemahkan beberapa kata Inggris lain ke bahasa Indoneisa secara pas.

  • Bagaimana seharusnya membuat padanan bahasa asing?

SEGALA Sesuatunya Ambyar adalah karya Mark Manson (Gransindo, cetakan ketiga, 2020) yang menguraikan banyak isu berat dengan bahasa yang ringan. Penerjemahnya, Adinto F. Susanto, telah berhasil memindahkan gagasan penulis ke dalam bahasa sasaran, Indonesia, termasuk f*cked yang dialihbahasakan menjadi ambyar. Menariknya, kata terakhir ini belum dijadikan entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah kepiawaian menangkap pesan asal ke sasaran, penerjemah sepertinya masih ragu untuk mencoba mencari padanan kata tertentu dengan perbendaharaan bahasa sendiri. Misalnya kata upgrade (halaman 291) yang dibiarkan dalam kata asalnya. Padahal kata yang terdiri atas dua kata up (naik) dan grade (taraf) ini bisa disebut sinonim harfiahnya menjadi naik taraf, yakni usaha untuk meningkatkan sesuatu dari satu tahap ke tahap lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepertinya kita memang ingin menghindari terjemahan harfiah atau per kata dan memilih konseptual, seperti download yang dapat diterjemahkan dengan muat turun menjadi unduh. Kata serapan dari bahasa Jawa ini memang sesekali ditulis dan diucapkan dalam penggunaan sehari-hari, tapi mungkin ada rasa tidak nyaman karena khawatir ada makna pesan yang tidak sampai, sebagaimana pengguna jarang menyebut tetikus untuk mouse yang menjadi bagian dari perangkat keras, alih-alih hardware, untuk memindah dan menggerakkan kursor.

Menariknya, ada kata bahasa Inggris yang diserap sesuai dengan tulisan, bukan bunyi, yakni katastrofe, yang berasal dari catastrophe (halaman 306). Pilihan ini jelas menafikan padanannya yang ada dalam bahasa kita, yakni bencana alam atau malapetaka. Keengganan menggunakan sinonim dengan memilih bahasa asing yang disesuaikan dengan ejaan sendiri tentu akan menggerus khazanah kata sendiri pada masa yang akan datang. Pelan dan pasti, bahasa sendiri tidak cukup untuk menggambarkan sesuatu yang sama dengan mengutamakan serapan bahasa Inggris.

Cara mudah yang sering dilakukan dalam menggunakan kata Inggris sepenuhnya pada sebuah terjemahan adalah menuliskan kata itu secara miring, seperti headline dan deadline. Tentu kata keduanya tidak bisa dipaksakan diterjemahkan secara harfiah menjadi lini kepala dan lini kematian, tapi dengan serapan konseptual, yaitu berita utama dan batas akhir, berbeda dengan timeline, yang bisa disebut dengan lini masa. Padahal dua kata majemuk tersebut telah lama dikenal dan sering digunakan.

Lalu mengapa penerjemah menyebut tukang party, bukan pesta? Apakah ini didorong oleh keadaan pesta di Amerika yang berbeda dengan di Indonesia? Betapa ajaib cetak miring dalam dunia transliterasi kita. Di satu sisi pembaca bisa membayangkan bahwa kata party dan pesta tidak bisa sepenuhnya setara, tapi di sisi lain makna generik lema ini adalah kegiatan berkumpul untuk melakukan sesuatu. Jadi mengapa gamang untuk menyebut seseorang sebagai tukang pesta?

Selain itu, penerjemah mengalihbahasakan point and rewards dengan poin dan rewards. Bagaimanapun kata poin bisa kita terima karena lema ini telah diserap dalam KBBI daring, meskipun sebatas disebut dengan titik yang ditandai cak, artinya tidak baku. Tapi rewards semestinya bisa disebut imbalan karena kosakata ini memenuhi makna konseptual dari kata asal. Mengapa enggan? Kekhawatiran terhadap pesan penulis karya tidak bisa ditangkap secara utuh. Semoga ini tidak menjadi katastrofe, eh, bencana bahasa!

Dari ketidakberdayaan di atas, sejatinya fenomena ini juga menjangkiti banyak orang, baik dalam penggunaan bahasa lisan maupun tulisan. Dalam imperialisme linguistik, keutamaan bahasa asal bisa dilihat secara ideologis, ketika bahasa yang paling berpengaruh lebih bergengsi daripada yang lain. Pengaruh ini jelas bersifat hegemoni yang mendorong penuturnya untuk menganggapnya sebagai kebiasaan yang tidak bisa dielakkan. Penindasan ini diterima tanpa disadari. Lalu, apa perlu Sumpah Pemuda lagi?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus