Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkembangan teknologi produksi obat dan makanan yang pesat berpengaruh pada kian beragamnya jenis dan volume produk. Hal ini menjadi tantangan yang semakin kompleks bagi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Oleh karena itu, Badan POM melakukan pengawasan full spectrum, yaitu sebelum produk dipasarkan (pre-market evaluation) hingga beredar di masyarakat (post-market control). Produk yang diawasi adalah obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, obat kuasi, suplemen kesehatan, kosmetik dan pangan olahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sistem post-market control dilakukan melalui sampling dan pengujian laboratorium secara kimia, fisika, biologi, mikrobiologi, dan bioteknologi. Tujuannya untuk melihat dan memantau konsistensi mutu produk saat beredar di pasaran. Pengujian laboratorium harus memberikan hasil valid dan cepat agar dapat digunakan untuk melakukan tindak lanjut pengawasan.
Hasil uji laboratorium digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan atau penindakan terhadap pelanggaran. Bisa berupa penarikan produk atau tindakan lainnya agar masyarakat terhindar dari obat dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan.
Peran laboratorium pengujian di lingkungan Badan POM sangat penting laksana Alutsista TNI (Alat Utama Sistem Senjata TNI). “Laboratorium adalah senjata atau alat utama Badan POM dalam melakukan pengawasan obat dan makanan” ujar Kepala Badan POM RI, Penny K. Lukito pada acara Sosialisasi Desain Regionalisasi Laboratorium di Bali, 19 Mei 2021.
Sampai saat ini, Badan POM memiliki laboratorium pengujian di 33 Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan di seluruh Indonesia, yang secara rutin melakukan sampling dan pengujian terhadap produk obat dan makanan yang beredar di wilayah kerjanya masing-masing. Selain itu juga Badan POM memiliki Loka di 40 Kabupaten/Kota, yang juga melakukan sampling di wilayah kerjanya masing-masing, namun pengujian dilakukan di laboratorium Balai Besar/Balai POM induknya, kecuali Loka POM Ende yang sudah melakukan pengujian secara mandiri.
Kepala Badan POM RI, Penny K. Lukito meninjau langsung aktivitas pengujian obat dan makanan di laboratorium Balai Besar POM di Semarang. 14 Agustus 2020.
Dengan memanfaatkan ketersediaan sarana dan prasarana laboratorium serta sumber daya penguji di seluruh Indonesia, Badan POM merumuskan suatu model regionalisasi dan spesialisasi laboratorium. Regionalisasi laboratorium adalah pengelompokan laboratorium berdasarkan region dan spesialisasi pengujian dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Model ini tetap mengutamakan validitas dan kecepatan dalam hal pelaksanaan pengujian yang tentunya akan mempercepat tindak lanjut yang perlu dilakukan.
Adapun Balai Besar/Balai POM dikelompokkan dalam enam region berdasarkan kedekatan letak geografis dalam satu region. Tujuannya untuk mempermudah transportasi dan menjaga integritas sampel serta meminimalisir biaya pengiriman.
Balai Besar/Balai POM dalam satu region dikategorikan dalam tiga tipe berdasar fungsinya, yaitu balai koordinator, balai spesifik, dan balai anggota. Balai koordinator bertugas mengoordinir berjalannya sistem regionalisasi laboratorium di regionnya.
Balai spesifik adalah balai yang mempunyai kemampuan laboratorium dalam pengujian menggunakan instrumen dengan teknologi tinggi seperti LCMSMS, ICPMS, GCMS, LCIC, PCR. Balai anggota adalah balai yang mempunyai kemampuan laboratorium dalam pengujian dasar termasuk menggunakan alat atau instrumen sederhana seperti HPLC dan GC.
“Regionalisasi laboratorium bertujuan untuk meningkatkan efisiensi sumber daya dan efektivitas pengujian untuk mewujudkan pengujian yang unggul, inovatif, dan adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis pengawasan obat dan makanan,” ujar Penny K. Lukito.
Penerapan regionalisasi diharapkan dapat mempercepat waktu analisis karena pengujian sampel dengan parameter sejenis dikerjakan secara bersamaan di balai tertentu. Biaya pembelian instrumen, suku cadang, perawatan, fasilitas, baku pembanding, reagensia, dan bahan pendukung lainnya juga lebih efisien.
Sumber daya penguji akan lebih optimal atau spesifik kinerjanya sehingga kebutuhan peningkatan kompetensinya pun dapat disesuaikan. “Regionalisasi ini bertujuan untuk efisiensi, bukan berarti akan dibuat menjadi sekecil mungkin, " kata Penny K. Lukito. “Kalau dengan efisiensi bisa membawa dampak besar, maka kita bisa mengembangkan fasilitas atau laboratorium lain, seperti pemenuhan Biohazard atau Biosafety Level (BSL)."