Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL -- Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja menerima berbagai masukan untuk memperbaiki implementasi dari Undang-Undang tersebut, terutama di Batam yang dikenal sebagai Kawasan Bebas atau Free Trade Zone (FTZ). Masukan ini didapat saat menggelar Focus Group Discussion “Aspek Kemitraan Bagi Usaha Mikro Kecil dengan Usaha Menengah dan Besar dalam UU Cipta Kerja” pada Jumat, 4 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjadi kawasan FTZ, kawasan Batam tidak dikenakan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Di satu sisi, keistimewaan ini memudahkan proses ekspor. Namun di sisi sebaliknya, kalangan UMKM di Batam mengeluhkan harga barang dari kawasan tersebut menjadi mahal ketika dikirim ke provinsi lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebenarnya UU Cipta Kerja ini memudahkan terutama untuk perizinan. Tapi masalah kami karena masih ada pajak. Dahulu, sebelum ada Free Trade Zone kita hanya memikirkan jualan, kita bisa hidup karena mudah pengiriman ke seluruh provinsi,” ujar Nurli, pengusaha pempek.
Masih berlakunya pemberlakuan pajak membuat harga komoditas dari Batam ke luar provinsi menjadi mahal. Masalah ini ditambah dengan mahalnya ongkos kirim. Kehadiran Satgas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja ke Batam, diharapkan mampu menjembatani masalah ini ke pemerintah pusat demi mendapatkan solusi terbaik.
Gusti, pemilik dari PT. Kaitek Syamra Inovasi yang bergerak di bidang usaha otomatisasi mesin menyampaikan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja melalui skema kemitraan bisa mempermudah aktivitas pemasaran dalam konteks menghubungkan kepada mitra yang usahanya bersekala lebih besar.
“Harapan saya adanya Undang-Undang Cipta Kerja ini bisa membantu UMKM dalam memasarkan hasil karya kami”,ujarnya.
Perwakilan Kementerian Keuangan, Rizaldi, menanggapi positif masukan dari pelaku UMKM di Batam, dan siap menindaklanjuti masalah tersebut. Menurut dia, sebenarnya terdapat pemberlakuan berupa biaya pajak sebesar 0,5 persen dari omzet yang lebih kecil dari ketentuan sebelumnya. “Pelaporannya pun cukup sederhana dari omzet per tahun,” kata dia.
Sementara itu, sejumlah pelaku UMKM lainnya mempertanyakan kejelasan peraturan kemitraan yang digulirkan dalam UU Cipta Kerja. Mereka meminta pemerintah memfasilitasi kemitraan dengan perusahaan besar. “Kami senang ada UUCK karena ini membuktikan pemerintah ingin Indonesia jadi negara maju. Hanya saja, kalau UMKM mau maju, tolong perhatikan supply chain.”ujarnya.
Perwakilan Direktorat Usaha dan Investasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bambang Sukoco, memberikan contoh kemitraan yang sedang dibangun pihaknya, yakni disebut Klaster Daya Saing (KDS).
KDS adalah kumpulan dari berbagai unit usaha kelautan dan perikanan berhubungan secara terintegrasi dari hulu ke hilir. Ekosistem ini kemudian difasilitasi program pengembangan usaha agar memiliki daya saing SDM, produk, dan perusahaan, serta mampu mengangkat daya saing daerah dan nasional.
Selanjutnya, KKP juga mendorong kemitraan usaha antara koperasi dengan perusahaan penyedia sarana produksi perikanan dan pengolahan udang sebagai offtaker. Tak hanya itu, KKP menyalurkan bantuan berupa sarana pascapanen.
Sementara itu, perwakilan dari Hipmi Batam menyatakan perlunya pengawasan agar implementasi UU Cipta Kerja berjalan efektif. Sebagai contoh, dalam rangka kemitraan sejumlah pelaku UMKM telah menandatangani MoU dengan perusahaan besar. Namun realitanya, kesepakatan itu belum berjalan.
Terkait masalah ini, moderator FGD, Satrio, menjelaskan bahwa MoU sebenarnya belum menjadi perjanjian yang mengikat, tidak sama dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS). Karena itu, para pengusaha di Batam harus memastikan tercapai perjanjian yang lebih mengikat melalui PKS.(*)