Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tanggapan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi tentang penyelesaian kekerasan seksual di kampus.
Menurut dia, tidak semua pelaku kekerasan seksual di kampus mesti diberi sanksi.
Perguruan tinggi swasta belum semua memiliki Satgas PPKS untuk menangani kekerasan seksual di kampus.
SAAT ini semua perguruan tinggi negeri sudah memiliki satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (satgas PPKS). Namun belum semua kampus swasta membentuknya. Padahal pembentukan satgas PPKS merupakan amanat Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 untuk mencegah kekerasan seksual di kampus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peran satgas dikuatkan lewat Peraturan Menteri Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Fauzan mengatakan pemerintah tetap berupaya memberantas kekerasan seksual di kampus dengan beragam cara. Berikut ini petikan wawancara Fauzan dengan wartawan Tempo, Ahmad Faiz Ibnu Sani dan Dinda Shabrina, di ruang kerjanya pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa kekerasan seksual di kampus makin marak?
Setiap orang memiliki daya tahan yang berbeda. Ada yang mudah dikalahkan nafsu, ada yang menang. Tapi ini jelas masalah besar karena pendidikan adalah paku moral kehidupan berbangsa dan bernegara. Pintar saja tidak cukup kalau moralnya bejat.
Lalu apa saja upaya Kementerian untuk menanganinya?
Sejak 2021, kami mendorong pembentukan satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual setelah peraturan menteri terbit. Kasus kekerasan seksual secara rutin kami bahas setiap tiga bulan lewat biro hukum dan pusat penguatan karakter. Forum ini bertujuan memantau laporan penanganan kasus setiap satgas.
Berapa banyak kampus yang belum memiliki satgas PPKS?
Masih ada 55 persen dari sekitar 4.000 kampus yang belum punya. Semua perguruan tinggi negeri (PTN) sudah memiliki satgas ini. Untuk sementara, satgas di perguruan tinggi swasta jumlahnya hampir 2.000.
Kenapa saat Anda menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, tak segera membentuk satgas PPKS?
Belum terbentuk bukan karena kami tidak menghiraukan. Kami sudah menerapkan, baik di kalangan dosen maupun mahasiswa. Di UMM sudah ada larangan terlibat narkotik, kekerasan seksual, perbuatan kriminal dan amoral, serta tawuran. Itu sudah tidak boleh. Ada semua itu.
Apakah pemerintah menyiapkan anggaran untuk satgas PPKS?
PTN badan hukum yang punya keleluasaan anggaran. Dukungan Kementerian bisa diakses untuk PTN berstatus badan layanan umum dan satuan kerja. Besarannya didasarkan pada kebutuhan yang diajukan. Jangan sampai karena urusan ini semangat mereka kendur atau bahkan sampai mengundurkan diri.
Kenapa sejumlah rekomendasi yang dihasilkan satgas PPKS itu mandek?
Lihat dulu bobot persoalannya. Kementerian sebenarnya memiliki instrumen alternatif untuk memfasilitasi penanganan lanjutan jika ada korban yang merasa belum puas atas penanganan perkara. Mereka bisa membuat laporan kepada pihak Kementerian lewat portal pengaduan. Bisa juga lewat biro hukum. Pasti kami tangani, karena isu ini merupakan komitmen pemerintah.
Sanksi apa yang akan dijatuhkan kepada pihak kampus yang mengabaikan rekomendasi satgas?
Peraturan menteri sudah mengatur implikasinya terhadap status akreditasi. Tapi ini kan urusan administrasi. Yang berat adalah sanksi sosial. Jika ada kampus yang menutup diri dan tak serius menangani kasus kekerasan seksual, itu jelas berbahaya. Bahayanya ada dua, diakreditasi oleh Kementerian dan diakreditasi oleh masyarakat.
Kenapa masih banyak penyelesaian kasus lewat jalur perdamaian?
Mekanisme damai itu hanyalah satu alternatif jika pelaku dan korban menyepakatinya. Tidak semua masalah harus selesai lewat pendekatan hukum formal. Ada kearifan lokal yang bisa digunakan. Namun bila korban dipaksa menerima cara damai, itu lain soal. Mereka bisa melaporkan itu kepada Kementerian.
Kenapa pelaku tidak dijatuhi sanksi?
Apakah semua persoalan berujung pada sanksi? Kearifan lokalnya di mana? Umpamanya ada seorang dosen yang dinyatakan bersalah karena berbuat kekerasan seksual, kemudian dosen itu memohon maaf sudah macam-macam, lalu korbannya menerima. Masak, itu tidak bisa kita terima? Kalau tidak bisa juga, penyelesaiannya ya lewat peraturan menteri itu.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tak Semua Masalah Harus Selesai Lewat Hukum". Liputan ini merupakan bagian dari seri jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support