Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pernyataan bersama Prabowo-Xi Jinping tak sejalan dengan sikap Indonesia mengenai Laut Cina Selatan.
Perairan yang diklaim Cina merupakan wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Sikap Prabowo merugikan posisi Indonesia secara ekonomi dan politik internasional.
PERNYATAAN bersama Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Cina Xi Jinping baru-baru ini memperlihatkan pragmatisme kebijakan luar negeri yang berpotensi merugikan Indonesia. Terjebak ambisi menarik investasi besar-besaran dari Cina, Prabowo tampaknya mengabaikan risiko besar di balik manuver diplomasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pernyataan tersebut, kedua kepala negara sepakat menjajaki kerja sama di wilayah maritim yang disebut memiliki “klaim tumpang-tindih”. Meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit, cukup terang bahwa wilayah yang dimaksud berkaitan dengan klaim sepihak Cina atas 90 persen Laut Cina Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara geografis, perairan yang diklaim Cina mencakup zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Meskipun pelayaran internasional diperbolehkan di ZEE, pengelolaan kekayaan alam di wilayah tersebut sepenuhnya merupakan hak Indonesia.
Mahkamah Arbitrase Internasional pada 2016 menyatakan klaim Cina yang hanya berbasis batas imajiner “sembilan garis putus-putus” itu tidak memiliki dasar hukum. Sebagai bentuk perlawanan terhadap klaim ilegal Cina, Indonesia bahkan mengganti nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara pada 2017.
Kebutuhan mendesak Indonesia akan suntikan investasi asing tampaknya menjadi alasan utama di balik sikap akomodatif Prabowo terhadap Cina. Tak dapat dimungkiri, Cina adalah mitra dagang dan investor utama bagi Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, Cina telah menggelontorkan miliaran dolar untuk berbagai proyek strategis di Indonesia.
Masalahnya, ketergantungan terhadap aliran investasi Cina membawa risiko besar bagi Indonesia, mengingat reputasi Cina yang kerap menggunakan strategi debt-trap diplomacy dalam hubungan internasionalnya. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, investasi dan utang dari Cina dapat melemahkan posisi strategis Indonesia. Kemungkinan terburuknya, Indonesia bakal kesulitan mengambil pelbagai keputusan strategis karena terjebak dalam belitan utang Cina.
Langkah Prabowo juga berpotensi merusak kredibilitas Indonesia di mata negara-negara tetangga dan dunia internasional. Selama ini Indonesia dikenal sebagai negara yang konsisten menolak klaim sepihak di Laut Cina Selatan dan menjunjung tinggi hukum internasional. Strategi “main mata” dengan Cina malah bisa merontokkan reputasi Indonesia sebagai pendukung utama mekanisme multilateral dalam penyelesaian konflik kawasan.
Lebih jauh, mendekat ke Cina melalui isu sensitif seperti Laut Cina Selatan rawan memicu ketegangan dengan negara-negara yang memiliki kepentingan strategis di kawasan ini, termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Dalam jangka panjang, Indonesia juga berisiko terjebak dalam rivalitas geopolitik kekuatan besar, yang merugikan posisinya sebagai negara “non-blok”.
Diplomasi pragmatis boleh jadi penting dalam menghadapi tantangan situasi ekonomi-politik global yang makin tidak pasti. Namun langkah tersebut tidak boleh mengorbankan kepentingan jangka panjang serta nilai-nilai yang selama ini menjadi landasan kebijakan luar negeri Indonesia.