Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Menilai utang pemerintah yang saat ini berjumlah sekitar Rp 4.000 triliun, sebaiknya tidak sebatas angka statistik yang terus tumbuh. Utang harus dilihat sebagai bagian dari instrumen fiskal yang memfasilitasi tujuan kesejahteraan rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"APBN sebagai instrumen fiskal, yang di dalamnya ada utang, menjadi penggerak perekonomian nasional. Tujuan akhirnya adalah menciptakan kesejahteraan rakyat," kata Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta di Jakarta, Rabu, 22 Agustus 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, saat ini hasil yang dicapai dari fungsi APBN sebagai penggerak perekonomian menunjukkan kemajuan yang sangat baik. Hal itu bisa dilihat dari tingkat kemiskinan yang terus turun hingga mencapai posisi 9,8 persen pada Maret 2018. Angka ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah
Begitu pun dengan kondisi pengangguran yang terus mengecil. Hingga Februari 2018, tingkat pengangguran terbuka hanya 5,13 persen. “Ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) awal menjabat, yaitu pada 2014, angkanya masih 5,94 persen,” kata Arif, menjelaskan.
Dari sisi tenaga kerja, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa sepanjang periode 2015-2018 telah terserap 6,2 juta orang. “Kinerja kesejahteraan yang baik itu, di dalamnya ada peran (pemanfaatan) utang,” ujarnya.
Belum lagi, kata Arif melanjutkan, jika dilihat dari pembangunan infrastruktur. Selama ini, pemerintah antara lain memprioritaskan pembangunan infrastruktur di kawasan perbatasan untuk memudahkan mobilitas warga, memajukan ekonomi daerah, serta meningkatkan kesejahteraan warga sekitar.
Indikator-indikator tersebut, Arif Budimanta menegaskan, menunjukkan bahwa utang pemerintah disalurkan untuk kegiatan yang produktif. “Jadi jangan sekadar lihat statistik pertumbuhan utangnya saja, lihat juga manfaatnya sebagai wujud tanggung jawab pemerintah,” katanya.
Selain itu, secara konstitusional, utang pemerintah juga masih berada di jalur yang benar. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) maksimum 60 persen. Sementara saat ini masih di bawah 30 persen.
Begitu juga dengan rasio defisit anggaran terhadap PDB, undang-undang tersebut mengamanatkan maksimum 3 persen. “Seperti kita tahu, pemerintah sangat disiplin dengan konstitusi, sehingga defisit tetap terjaga di bawah ambang batas,” ujarnya.
Sementara secara teknikal, pemanfaatan utang pemerintah yang menjadi belanja pemerintah, dapat dilihat melalui pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus baik. Pada kuartal II-2018, ekonomi Indonesia tumbuh 5,27 persen (year on year), tertinggi sejak 2014.
“Ini menunjukkan bawa keuangan negara dalam hal ini APBN, berada dalam kondisi yang sehat,” kata Arif, menegaskan. (***)