Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Kota global Jakarta di usia menjelang lima abad sedang bersiap menghadapi transisi besar. Dengan rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan, Jakarta akan berganti status menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Namun, di balik perubahan besar ini, kehidupan warganya tetap berjalan, penuh perjuangan dan asa. Setu Babakan, yang dikenal sebagai pusat pelestarian budaya Betawi, menjadi salah satu tempat yang memadukan upaya ekonomi dan budaya di tengah dinamika kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kawasan ini, ratusan pedagang menggantungkan hidup di bantaran situ. Lima di antaranya mendapatkan kesempatan istimewa. Mereka berdagang di dalam area Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi secara gratis, dengan dukungan dan bimbingan dari Jakpreneur. Tak sekadar mencari nafkah, lima pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ini memiliki harapan besar untuk masa depan usaha mereka, keberlanjutan budaya Betawi, dan peran baru Jakarta sebagai kota global di tengah perubahan zaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zahrudin, penjual kerak telor Betawi berharap para pemimpin di Jakarta semakin peduli dengan UMKM dalam mengembangkan usaha. “Pedagang kecil seperti saya perlu bantuan modal,” ujarnya kepada Info Tempo, Selasa, 24 Desember 2024. Permodalan, dia melanjutkan, bukan pinjaman seperti kredit usaha rakyat (KUR). Dia pernah memanfaatkan fasilitas itu, namun tidak terlalu membantu karena saat besar cicilan tetap kendati omzet sedang menurun.
Harapan kedua, Pemerintah Provinsi DKI memberikan lokasi dagang yang strategis, jika terkendala oleh keterbatasan lahan maka bisa bekerja sama dengan pengusaha swasta. Pria yang bisa disapa Bang Udin ini menuturkan, sewa lahan di pusat perbelanjaan lumayan mahal. Akibatnya banyak pedagang tak bisa bertahan lama ketika omzet sedang menurun. “Itu saja harapan saya,” ucapnya.
Pedagang laksa Betawi, Sumarni berpendapat, bantuan Pemerintah Jakarta kepada UMKM bisa juga melalui keluarga. Misalnya dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk anak-anak para pedagang kecil.
Perempuan yang disapa Mpok Encum ini, sebenarnya cukup beruntung. Anak-anaknya mendapatkan bantuan tersebut saat masih bersekolah. “Sekarang sudah lulus, jadi KJP selesai. Tetapi banyak keponakan yang tidak dapat walau masih sekolah,” katanya. Artinya, dia berharap bantuan dapat lebih merata kepada para pedagang mikro yang menggantungkan hidup dari berjualan.
Pedagang toge goreng Betawi, Anda, justru tidak mengharapkan banyak bantuan dari pemerintah. Perantau dari Bogor ini belum bergabung dengan Jakpreneur, wadah pengembangan UMKM yang digagas Pemerintah Jakarta, sehingga legalitas usahanya baru sebatas Nomor Induk Berusaha atau NIB. Perizinan lainnya, seperti sertifikat halal dan hak merek belum selesai. “Sudah diproses sekitar lima bulan. Saya mengurus ke kecamatan, tetapi belum rampung sampai sekarang,” katanya. “Biarlah, kalau memang enggak ada bantuan, ya selama masih bisa usaha sendiri.”
Dia hanya berharap kuliner Betawi yang menjadi bagian dari budaya lokal tetap dilestarikan. “Kalau bisa, dikembangkan supaya semakin bagus. Tapi kalau dibiarkan dan seperti begini saja dan kalah sama makanan lain, lama-lama akan habis, musnah,” ucap Anda.
Sejumlah menu khas Betawi yang nyaris punah antara lain, sayur babanci dan sayur besan. “Wah, itu sudah langka banget. Apalagi sayur besan, susah cari terubuknya,” kata Mayang Diah, pedagang es selendang mayang yang asli warga Tanjung Barat. “Kalau gabus pucung masih ada, walau cukup jarang.”
Kelestarian kuliner khas juga menjadi harapan Mayang. Bahkan dia membayangkan jika suatu saat makanan Betawi dapat populer serupa rendang, dengan syarat ada upaya masif yang dilakukan semua pihak. “Kami inginnya makanan khas Betawi yang sudah punah dimunculkan lagi supaya generasi sekarang tahu. Kalau bisa lebih dikembangkan dan jadi salah satu prioritas pemerintah,” kata dia.
Sedangkan Mutia Maemun, pedagang gado-gado Betawi, berharap Pemprov DKI memastikan JakLingko selamanya diberlakukan tarif nol atau gratis. “Semoga begitu, sangat membantu banget untuk pedagang kecil supaya menghemat pengeluaran saat membeli bahan jualan,” tutur perempuan yang lebih dikenal dengan panggilan Mpok Muti. (*)