Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
INFO NASIONAL-- Sejumlah akademisi memandang sangat dibutuhkan undang-undang bagi penguatan Pancasila dalam bernegara dan berkebangsaan. Landasan hukum tersebut dapat menjadi dasar penerapan nilai-nilai yang terkandung dalam lima sila, dan memiliki kekuatan dalam struktur pemerintahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Undang-undang dibutuhkan sebagai penguatan,” ujar Guru Besar Bidang Hukum Adat Indonesia di Universitas Jember, Dominikus Rato dalam dialog kebangsaan, Selasa 28 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Salah satu fungsi penguatan yakni menjadikan nilai-nilai luhur Pancasila dijalankan oleh seluruh warga negara, khususnya generasi milenial yang dipandang kurang memahami dasar negara tersebut.
Menurut Profesor Dominikus, rendahnya pemahaman generasi saat ini terjadi lebih dari 20 tahun, sejak TAP MPR No. XVIII/MPR1998 menggantikan TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila.
Akibatnya, selama dua dekade terakhir muncul 10 permasalahan di Indonesia.
Masalah-masalah tersebut yakni: pasar bebas atau neoliberalisme, otonomi khusus yang menjurus kepada negara federasi, konflik berbau SARA, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan korupsi. Berikutnya masalah khilafah, narkoba, perdagangan orang, menjamurnya hoaks, dan tawuran antar pelajar/kampung.
Kemunduran penerapan nilai-nilai Pancasila pada generasi muda dapat dilihat dari hasil survei Badan Pusat Statistik. Mata Pelajaran Pancasila atau PPKN menjadi pelajaran dianggap menjemukan oleh siswa. Selain itu merosotnya teladan pemimpin dan aparat dikarenakan tidak ada satupun lembaga yang khusus menangani pembinaan ideologi ini.
“Karena Pancasila sebuah panduan dan pedoman bagaimana berbangsa dan bernegara, perlu ada badan yang melaksanakan fungsi ini,” ujar pakar hukum tata negara Universitas Diponegoro, Doktor Lita Tyesta.
Sebenarnya sudah ada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada 2018. Tugasnya antara lain melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
Namun, dalam struktur pemerintahan posisi BPIP ada di level empat, lebih rendah dibanding kementerian di level dua. Pada prakteknya, setiap kebijakan lembaga ini cenderung diabaikan oleh lembaga negara lainnya.
Dengan pertimbangan tersebut, keberadaan Undang-Undang BPIP yang saat ini dibahas di DPR, menjadi penting. Jika RUU BPIP yang menggantikan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila), disahkan menjadi undang-undang, maka kedudukan BPIP setara dengan kementerian dan lembaga negara.
Nantinya kebijakan BPIP harus dipatuhi instansi lainnya. Keberadaan UU lebih tepat dibanding peraturan presiden yang bisa dianulir dengan Perpres lain. Sebagian kalangan masih menolak RUU BPIP karena mereka memandang relasi agama dan negara belum tuntas. Padahal organisasi kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sepakat Pancasila sebagai pemersatu bangsa.
“Pancasila bukan agama, dan tidak bisa menggantikan agama. Pancasila hanya sebagai panduan etik, moral dan bermasyarakat. Jadi, kalau Pancasila paralel dengan apa yang diajarkan agama kan tidak perlu ditolak,” kata Doktor Muhammad Adnan, dosen Ilmu Politik Universitas Diponegoro.
Adnan mengingatkan jika UU BPIP disahkan, maka sosialisasi dan penanaman nilai-nilai Pancasila bukan hanya tugas BPIP, tapi juga seluruh elemen masyarakat.(*)