Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerja Keras Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi bersama jajaran Pemerintah Kota Surabaya dalam menekan angka stunting (gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang) di Kota Surabaya membuahkan hasil. Saat ini, Surabaya menjadi kota dengan angka stunting terendah se-Indonesia. Capaian tersebut tidak terlepas dari berbagai program yang dijalankan Pemkot Surabaya bersama seluruh pemangku kepentingan di Kota Pahlawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Surabaya tercatat di level 4,8 persen atau sebanyak 923 balita; menurun jauh dari angka di tahun 2021 yang sebanyak 28,9% (6.722 balita). Selanjutnya, per Juni 2023, tercatat hanya tersisa 651 balita stunting, termasuk balita yang mengalami penyakit yang sulit disembuhkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan berdasarkan bulan penimbangan serentak, prevalensi stunting di Surabaya pada tahun 2022 hanya tinggal 1,22 persen. Angka tersebut jauh di bawah data prevalensi stunting nasional berdasarkan SSGI pada tahun 2022 yang rata-rata masih berada di level 21 persen. “Sejak awal diberi amanat sebagai wali kota, kami langsung tancap gas mengatasi stunting. Karena kami ingin di tahun 2023 Surabaya zero stunting,” kata Wali Kota Eri.
Ia menceritakan, langkah pertama yang dijalankan Pemkot Surabaya untuk menekan angka stunting adalah melakukan pendataan. Setiap calon pengantin, kata dia, dicatat data kesehatannya. Semua data tersebut terintegrasi antara Kantor Kementerian Agama dan Puskesmas. Tindakan ini penting untuk mempermudah dan mengetahui orang-orang yang memiliki risiko kekurangan gizi.
“Dari lingkar lengan atas dan indeks massa tubuh calon pengantinnya bisa diketahui apakah ada risiko kekurangan energi kronis atau kekurangan gizi. Dari situ Pemkot Surabaya melalui Puskesmas melakukan intervensi berupa pemberian tambahan gizi dan sebagainya,” ujar dia.
Dalam melakukan pendataan, menurut Eri, Pemkot Surabaya turut mengandalkan sifat gotong-royong warga Surabaya, salah satunya melalui aplikasi ‘Sayang Warga’. Melalui aplikasi tersebut para Kader Surabaya Hebat (KSH), pengurus RT/RW, dan warga bisa mendata serta melaporkan kondisi balita di sekitarnya.
“Berkat kehebatan gotong-royong inilah semua masalah terdeteksi dan kami beri solusi. Tidak hanya stunting, ada soal rumah tidak layak huni, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Bahkan di tingkat RW ada dapur umum di mana warga saling membantu untuk memberikan makanan bagi balita,” kata Eri.
Selain itu, Pemkot Surabaya juga secara rutin setiap pekan membagikan sekaligus mensosialisasikan manfaat Tablet Tambah Darah (TTD) bagi remaja putri di sekolah-sekolah. Tablet tersebut bisa diambil di Puskesmas di seluruh wilayah Surabaya. Ada pula giat Krida Gizi yang dilakukan oleh Saka Bakti Husada dan pemeriksaan kesehatan pada Anak Usia Sekolah.
Pemkot Surabaya juga melakukan sosialisasi kepada calon pengantin melalui program Pendampingan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Di dalam program ini, calon pengantin akan mendapatkan beberapa jenis pelayanan, mulai dari pelayanan gizi dan kesehatan hingga konseling. Dalam menjalankan program ini Pemkot Surabaya menggandeng Tim Pendamping Keluarga (TPK) untuk melakukan penyuluhan dan pemantauan kesehatan kepada sasaran yang berisiko stunting.
Eri menambahkan, selain pendampingan bagi pasangan calon pengantin, juga ada pendampingan kepada ibu dan balita. Lewat kegiatan ini, para ibu yang memiliki anak usia balita diberikan penyuluhan perihal Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Selain itu, ada pemberian Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK) yang diresepkan oleh dokter spesialis anak kepada balita malnutrisi atau dengan penyakit tertentu.
Di samping itu, ada kegiatan pemberian Taburan Ceria multivitamin dan mineral untuk balita, penyajian menu sehat kepada ibu balita, demo memasak makanan sehat, pemberian permakanan stunting, Kampung ASI. “Ada pula program Jago Ceting (Jagongan Cegah Stunting) yang digerakkan bersama PKK dan lintas sektor, imunisasi, aksi konvergensi penanganan stunting dan masih banyak lainnya,” Wali Kota Eri menyebutkan.
Menurutnya, penurunan angka stunting itu tak lepas dari 8 aksi konvergensi yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya selama ini. Secara rutin, Pemkot melakukan pelaksanaan rembuk stunting di tingkat kota, mulai dari kecamatan, kelurahan, puskesmas, PKK, tiga pilar dan peran serta tokoh masyarakat.
Dengan konvergensi tersebut, tersusun pemecahan masalah yang ditemukan dengan intervensi sensitif mencapai 70 persen dan spesifik 30 persen. Berbagai program yang telah dijalankan itu terbukti berhasil menurunkan angka stunting di Kota Surabaya, dan keberhasilan itu diakui banyak pihak. Terbukti, sudah ada beberapa penghargaan yang diraih Wali Kota Eri karena berhasil menurunkan angka stunting. Penghargaan terakhir yang diraihnya adalah penghargaan Manggala Karya Kencana (MKK) dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) RI.
Penghargaan itu adalah penghargaan tertinggi dari BKKBN Pusat yang diberikan secara bersamaan kepada Wali Kota Eri dan Ketua Tim Penggerak PKK Surabaya Rini Indriyani Eri Cahyadi. “Penghargaan ini saya dedikasikan untuk semua pihak yang telah bersinergi dan berkolaborasi dalam menurunkan angka stunting di Surabaya,” kata dia.
Berhasil Menurunkan Angka Kemiskinan
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi tak hanya berhasil menurunkan angka stunting di Kota Pahlawan. Ia juga berhasil menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran terbuka di Kota Surabaya. Salah satu strategi yang digunakan untuk mengentaskan kemiskinan itu adalah program Padat Karya yang tersebar di berbagai penjuru kota.
Berdasarkan data Pemkot Surabaya, pada awal tahun 2022 jumlah warga miskin di Surabaya mencapai 1,3 juta jiwa. Kemudian pada akhir tahun 2022, jumlah warga miskin turun drastis menjadi 219.427 jiwa atau 75.069 Kepala Keluarga (KK). Selanjutnya, per Juni 2023, jumlah keluarga miskin di Surabaya tersisa 172.129 jiwa atau 58.835 KK.
“Di tahun 2023, keluarga miskin ini saya minta sudah bekerja semuanya dengan model padat karya dan intervensi lainnya,” kata Wali Kota Eri beberapa waktu lalu.
Ia menimpali, sejak tahun lalu Pemkot Surabaya terus bergerak menggalakkan Padat Karya. Hingga saat ini sudah ada 34 Rumah Padat Karya di 14 kecamatan. Bentuk Rumah Padat Karya itu bermacam-macam di setiap wilayah, ada yang berbentuk kafe, sentra menjahit, penatu, cuci kendaraan, perbaikan Rutilahu (Rumah Tidak Layak Huni), budi daya pertanian dan peternakan, Rumah Maggot sampai pembuatan paving.
Dengan adanya program Padat Karya dan berbagai jenis intervensi itu, sekitar 22 ribu jiwa warga miskin dan miskin ekstrem bisa bekerja kembali. Kini, penghasilan mereka yang awalnya hanya Rp 500 ribu per orang per bulan meningkat tajam menjadi Rp 4,4 juta per orang per bulan. Bahkan, ada beberapa orang yang menembus Rp 6 juta per bulan. Program ini terus berjalan dan terus dikembangkan hingga saat ini.
Prevalensi stunting di Surabaya pada tahun 2022 tinggal 1,22 persen. Surabaya menargetkan bebas dari stunting pada tahun 2023.
“Ketika mengembangkan padat karya, saya meminta semua pihak saya tidak hanya menanggalkan ego sektoral, tapi juga menumbuhkan rasa kebersamaan dan gotong royong. Dengan demikian, ekonomi kerakyatan setempat bisa digerakkan,” ucap Eri.
Ia pun menjelaskan program padat karya ini memanfaatkan aset berupa lahan kosong atau lahan tidur milik Pemkot Surabaya seluas 9.555.372 meter persegi. Wali Kota Eri menegaskan bahwa warga yang mengelola lahan itu tidak perlu khawatir soal kemampuannya dalam mengelola lahan. Sebab, warga tersebut mendapat pendampingan dan pelatihan dari para ahli dan jajaran Pemkot Surabaya.