Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL — Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Galuga yang terletak di Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, telah beroperasi sejak 2011. TPA ini, yang memiliki luas 31,8 hektar, digunakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor untuk membuang sampah. Berdasarkan data yang ada, Pemkot Bogor membuang sekitar 1.650 m³ sampah per hari, setara dengan hampir 97 truk, sementara Pemkab Bogor membuang sekitar 700-800 m³ sampah per hari, dengan total volume sampah yang dibuang ke TPA Galuga mencapai 2.450 m³ setiap hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaro Ade, calon wakil bupati Bogor nomor urut 1, yang mengunjungi TPA Galuga pada Sabtu, 16 November 2024. Ia menyampaikan bahwa meskipun TPA ini berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah, dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar cukup besar. "Masyarakat Desa Galuga merasakan langsung kerugian akibat keberadaan TPA ini, karena sampah dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, baik di udara, air, maupun tanah," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaro Ade juga menyoroti pentingnya menyediakan sarana penunjang seperti fasilitas kesehatan, sarana air bersih, dan tempat ibadah bagi masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Galuga, terutama mereka yang bekerja mencari nafkah dari sampah. "Keberadaan TPA ini seharusnya tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga dapat membuka peluang kerja dan mengurangi pengangguran," tambahnya.
Di sisi lain, Jaro Ade mengungkapkan bahwa penurunan kualitas lingkungan akibat TPA Galuga memunculkan biaya kesehatan yang cukup besar. Berdasarkan perhitungan menggunakan metode cost of illness dan replacement cost, biaya kesehatan yang timbul akibat penurunan kualitas lingkungan mencapai Rp15 miliar per tahun, sedangkan biaya pengganti air minum mencapai Rp1,2 miliar per tahun, dengan total kerugian mencapai Rp16,2 miliar per tahun. "Faktor penurunan kualitas lingkungan ini tentunya sangat merugikan masyarakat di sekitar TPA Galuga," jelasnya.
Pemeriksaan kualitas lingkungan di sekitar TPA juga telah dilakukan dengan sampling tanah dan air, untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan oleh TPA tersebut. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan memeriksa karakteristik sampah yang masuk ke TPA Galuga, seperti jenis sampah organik dan anorganik. Sampah anorganik seperti kertas, kardus, botol kaca, dan plastik dapat didaur ulang dan seharusnya diberikan kepada pemulung agar bisa dimanfaatkan.
"Sampah yang dapat didaur ulang ini sangat berpotensi untuk bernilai ekonomi. Jika dikelola dengan baik, sampah-sampah tersebut bisa dijadikan produk yang bermanfaat, seperti energi alternatif atau pupuk organik," ujar Jaro Ade. Ia menambahkan bahwa pengelolaan sampah di TPA Galuga harus berbasis teknologi yang canggih, dengan tujuan tidak hanya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga untuk menciptakan nilai ekonomi.
Jaro Ade juga menyoroti masalah pemulung yang bekerja di TPA Galuga. Meskipun mereka membantu dalam memilah sampah, banyak di antara mereka yang hanya memperoleh penghasilan Rp50 ribu per hari. Ia berharap pemerintah dapat meningkatkan kondisi tersebut dengan menyediakan fasilitas yang mendukung pemilahan sampah yang lebih efisien dan berbasis teknologi. "Masyarakat Galuga yang bekerja sebagai pemulung harus mendapatkan penghasilan yang layak, bukan hanya sekadar bertahan hidup," tambahnya.
Sementara itu, Ketua Forum Masyarakat Galuga, Haji Kamaludin, menyambut baik gagasan Jaro Ade untuk melakukan perubahan dalam pengelolaan sampah di TPA Galuga. "Kami sudah bertahun-tahun hidup berdampingan dengan bau tak sedap dan air yang tercemar. Kami sangat berharap Pemkab Bogor dapat menghadirkan solusi jangka panjang yang efektif untuk mengatasi masalah sampah di sini," katanya.
Jaro Ade menekankan bahwa pengelolaan sampah di TPA Galuga harus berbasis pada teknologi yang dapat menghasilkan nilai ekonomi. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem energi alternatif dan pemanfaatan sampah organik untuk pupuk atau pakan ternak. Semua perubahan ini, kata Jaro Ade, bisa dimulai dengan penyusunan perencanaan yang matang oleh pemerintah, seperti Detail Engineering Design (DED) dan studi kelayakan (FS), sehingga dampak langsung terhadap masyarakat dapat terlihat lebih awal.
"Ke depan, Pemkab Bogor harus memiliki program yang lebih modern dan canggih dalam pengelolaan sampah, yang tidak hanya mengurangi dampak lingkungan tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat," katanya.(*)