Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO BISNIS – Keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan nilai tambah sumber daya alam telah mendorong negara-negara lain untuk mengadopsi langkah serupa. Hal ini diketahui berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Binus University (Binus) berjudul "Analisis Mahadata Kebijakan Hilirisasi: Strategi dan Diplomasi Indonesia Menghadapi Dinamika Global".
Melalui penelitian itu, diketahui kebijakan hilirisasi pertambangan mineral yang dilakukan Indonesia, ternyata menjadi inspirasi bagi sejumlah negara berkembang di Asia dan Afrika. “Indonesia telah menunjukkan bahwa melalui hilirisasi, bahan tambang seperti nikel, tembaga, dan kobalt dapat diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi yang lebih kompetitif di pasar internasional,” kata Dr. Edy Irwansyah, salah satu tim peneliti Binus University. “Ini menjadi inspirasi bagi negara-negara lain untuk memaksimalkan potensi sumber daya mereka,” tambah dia.
Edy mengatakan, hilirisasi di Indonesia tidak hanya berhasil meningkatkan perekonomian nasional, tetapi juga menciptakan model kebijakan yang relevan untuk konteks global. Penelitian ini mencatat, kebijakan hilirisasi Indonesia telah memotivasi negara seperti Filipina, yang juga merupakan pemasok nikel utama dunia, untuk menerapkan kebijakan serupa.
Langkah ini menunjukkan bagaimana keberhasilan Indonesia dalam mendorong pengolahan domestik dapat menjadi referensi kebijakan ekonomi bagi negara-negara lain di Asia dan Afrika yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah. "Hilirisasi di Indonesia juga dinilai berhasil menarik investasi asing dan memperkuat posisi negara dalam rantai pasok global. Produk berbasis nikel seperti bahan baku baterai lithium dan stainless steel memberikan nilai ekspor yang jauh lebih tinggi dibandingkan bahan mentah.”
Selain itu, lanjut Edy, upaya ini mendorong diversifikasi ekonomi, memperkuat sektor manufaktur, dan menciptakan lapangan kerja baru di berbagai wilayah penghasil tambang, seperti Sulawesi dan Maluku. “Indonesia telah menjadi model yang diikuti banyak negara berkembang, tetapi kebijakan ini harus terus dievaluasi untuk memastikan keberlanjutan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan pemerataan manfaat bagi masyarakat,” kata Edy.
Penelitian yang dilakukan Binus juga mencatat beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia dalam penerapan kebijakan ini. Salah satu Tim Peneliti, Dr. Ahmad Sofyan, mengatakan terdapat konflik perdagangan internasional, seperti gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor nikel mentah.
Konflik ini menunjukkan adanya ketegangan antara upaya proteksionisme domestik untuk pembangunan industri nasional dengan aturan perdagangan bebas global. “Perselisihan ini mengharuskan Indonesia untuk memadukan strategi hilirisasi dengan pendekatan diplomasi ekonomi yang konstruktif. Jika tidak dikelola dengan baik, ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap hubungan perdagangan internasional,” kata Ahmad Sofyan.
Selain tantangan di tingkat internasional, isu lingkungan juga menjadi perhatian penting dalam kebijakan hilirisasi. Proses pengolahan logam berat seperti nikel dan tembaga berisiko menghasilkan limbah berbahaya yang dapat mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan teknologi yang memadai. Peningkatan eksploitasi tambang juga berpotensi mempercepat deforestasi dan degradasi lingkungan, sehingga diperlukan regulasi yang kuat dan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan.
Riset ini menegaskan bahwa hilirisasi adalah langkah strategis yang mampu mengubah peran Indonesia dari sekadar eksportir bahan mentah menjadi pusat manufaktur global. Namun, keberhasilan jangka panjang kebijakan ini bergantung pada keberlanjutan, regulasi yang inklusif, dan pengelolaan yang cermat. (*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini