Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Kenaikan Pajak Penambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen diproyeksikan memberikan tambahan penerimaan kepada negara. Hal itu disampaikan Ekonom Bank Permata, Josua Pardede kepada Tempo, belum lama ini.
“Tambahan penerimaan negara diproyeksikan sekitar Rp 30-40 triliun atau 0,1-0,2 persen dari PDB,” kata dia. Menurut dia, nilai ini cenderung lebih rendah dibandingkan target peningkatan penerimaan PPN sebesar Rp 126 triliun yang telah dianggarkan dalam APBN 2025.
Kenaikan PPN ini, kata Josua, hanya diterapkan pada barang dan jasa yang dianggap mewah, seperti makanan premium, pendidikan internasional, layanan kesehatan VIP, dan konsumsi listrik rumah tangga berdaya tinggi. Dengan demikian, dampaknya terhadap kontribusi keseluruhan penerimaan negara terbatas karena basis penerapan tidak menyeluruh.
Pemerintah menurut Josua juga meluncurkan paket stimulus senilai Rp 38,6 triliun untuk meredam dampak kenaikan PPN, seperti subsidi untuk UMKM, diskon listrik, dan bantuan pangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. “Hal ini mengurangi net impact penerimaan negara dari kenaikan PPN.”
Kenaikan PPN 12 persen, kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, bukanlah keputusan yang diambil tanpa alasan. Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN 12 persen pada 2025 dengan beberapa alasan.
“Pertama, kenaikan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara,” kata Menko Perekonomian seperti dilansir Antara. Menurut Menko, PPN sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara memegang peranan penting dalam mendanai berbagai program pemerintah.
Bahkan, lanjut Airlangga, dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan pendanaan semakin meningkat. Terutama setelah Pandemi Covid-19 yang memperburuk kondisi fiskal dan kenaikan PPN. “Ini sebagai upaya memperbaiki anggaran pemerintah,” kata dia.
Selain itu, kenaikan PPN juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Selama ini Indonesia masih bergantung pada utang untuk menutupi defisit anggaran. “dengan meningkatnya penerimaan pajak, pemerintah berupaya untuk mengurangi penggunaan utang dan menjaga stabilitas ekonomi negara dalam jangka panjang.”
Hal ini menurut Airlangga akan membantu menurunkan beban pembayaran utang dan menjaga perekonomian negara menjadi lebih stabil. Kenaikan tarif PPN 12 persen menurut dia juga dimaksudkan untuk menyesuaikan standar internasional.
Saat ini tarif PPN Indonesia 11 persen dan akan naik menjadi 12 persen masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara maju lainnya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, rata-rata PPN seluruh dunia termasuk negara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memiliki tarif PPN 15 persen.
Dengan kenaikan PPN menjadi 12 persen, dala kebijakan fiskal pada 2025 ditetapkan pendapatan negara sebesar 12,08 – 12,77 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), belanja negara 14,21 – 15,22 persen PDB, keseimbangan primer 0,07 persen hingga minus 0,40 persen PDB, dan deficit 2,13 – 2,45 persen PDB.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu mengatakan, akan tetap menjaga rendah inflasi sesuai target APBN 2025 di 1,5 persen – 3,5 persen. Saat ini inflasi rendah di 1,6 persen sedangkan dampak kenaikan PPN 12 persen adalah 0,2 persen.
Melalui keterangan resminya, 21 Desember 2024, Febrio juga meyakinkan pertumbuhan ekonomi 2024 diperkirakan tetap tumbuh di atas 5,0 persen. Menurut dia, dampak kenaikan PPN ke 12 persen terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan.
“Tambahan paket stimulus bantuan pangan; diskon listrik; buruh pabrik tekstil, pakaian, alas kaki, dan furniture tidak bayar pajak penghasilan setahun, pembebasan PPN rumah, dan lain-lain akan menjadi bantalan bagi masyarakat.”
Febrio pun yakin, pertumbuhan ekonomi 2025 akan tetap dijaga. “Hal itu sesuai target APBN sebesar 5,2 persen,” kata dia. (*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini