Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tokoh penggagas kebangkitan masyarakat adat Tanah Tabi, Mathius Awoitauw, mendorong masyarakat adat bangkit dan bertindak untuk mensejahterakan dirinya melalui ruang-ruang yang diberikan negara. “Banyak hak masyarakat adat tidak diakomodir dengan baik. Semua serius dengan hal-hal lain dalam kebijakan otsus dan sulit menterjemahkan tujuan keberpihakan negara kepada orang asli Papua,” kata Mathius dalam Rapat Konsultasi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di Kabupaten Sarmi, Senin, 13 Maret 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat mengusung tema “Percepatan Pembangunan Kesejahteraan yang Inklusif terhadap Masyarakat Hukum Adat, Khususnya Diwilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Melalui Reforma Agraria”. Sejumlah narasumber hadir memberikan pemaparan tentang masyarakat adat dan reforma agrarian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mathius yang juga mantan Bupati Jayapura dua periode ini, mendorong masyarakat adat bangkit dan bertindak untuk mensejahterakan dirinya. Dia juga menceritakan tentang Program Kampung Adat Kabupaten Jayapura yang digagasnya.
Menurut Mathius, Undang-undang Otonomi Khusus merupakan wujud keseriusan negara kepada masyarakat adat Papua. “Otonomi khusus merupakan solusi untuk membangun Papua. Masyarakat adat Papua harus memanfaatkan dengan baik,” ucapnya.
Dia mendorong regulasi rujukan tingkat daerah harus mendukung persoalan-persoalan di wilayah-wilayah adat secara subtansional. “Apalagi sekarang ada Undang-undang Desa yang memperkuat masyarakat di kampung-kampung,” ujar Mathius.
Sebagai bentuk dukungan kepada masyarakat adat di Kabupaten Sarmi, Mathius menyerahkan buku "Kembali Ke Kampung Adat". Masyarakat Adat Sarmi terdiri dari lima suku besar, yakni Sobey, Armati, Rumbuai, Manirem dan Isirawa. Buku juga diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sarmi, lembaga swadaya masyarakat yang mendukung pemetaan hak ulayat dan TNI-Polri.
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat Kasmita Widodo, mengatakan kebijakan pemerintah pusat dan provinsi sering mengabaikan kewenangan masyarakat adat. Salah satunya, kata dia, tentang perizinan pemanfaatan sumber daya alam. “Izin dikeluarkan pemerintah pusat dan provinsi dengan mengabaikan sehingga hak-hak masyarakat adat yang ada di kabupaten sampai ke tingkat kampung,” ujarnya.
Menurut Kasmita, kondisi tersebut jika dibiarkan berpotensi konflik berkepanjangan. “Hal ini menjadi bagian penting untuk diperbaiki sehingga hak-hak masyarakat adat atas tanah terakomodir dalam kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada kesejahteraan,” tuturnya.
Rapat juga menggelar diskusi tentang berbagai permasalahan masyarakat adat Kabupaten Sarmi dan kabupaten lain di Papua. Kegiatan ini menjadi ruang bagi semua pihak dalam menyuarakan tentang masyarakat adat.
Beberapa materi bahasan dalam rapat, di antaranya mengungkap fakta dan kondisi orang asli Papua, kepemilikan hak ulayat dan kebijakan negara atas tanah adat yang mengandung potensi sumber daya alam. Kemudian program pemetaan wilayah hukum adat, peta hak ulayat dan regulasi yang menjamin hak-hak masyarakat pribumi.
Rapat menginginkan status dan hak-hak masyarakat adat terintegrasi dalam kebijakan negara yang memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat adat.
Turut hadir mantan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Surya Tjandra, Deputi Setwapres Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan dan Wawasan Kebangsaan Velix Wanggai, Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Andi Tenrisau dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua, John Wiclif Aufa.
Kemudian Kepala BPKH Wilayah X Provinsi Papua Arnold Manting, Pejabat Bupati Sarmi Markus O. Mansnembra, Direktur Pengaturan Tanah Komunal, Hubungan Kelembagaan dan PPAT Sepyo Achanto dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sarmi Joselina Sipora Boray.