Bukan lagi sekedar kasir Pemda, dana masyarakat yang dihimpunnya dua kali lebih besar. Kualitas layanan dan profesionalisme manajemennya ditingkatkan secara menyeluruh. KETIKA bank bermunculan nyaris di setiap pojok strategis, hanya yang benar-benar sehat yang kemudian mampu tetap tegak. Dalam era deregulasi -- sejak beberapa tahun silam, semua bank berlomba dalam kompetisi meraup nasabah, memupuk dana kemudian menyalurkannya. Tatkala masa penyehatan kembali -yang baru saja dimulai, tak sedikit bank yang menjadi oleng. Pada dua kondisi yang berbeda itu, ditandai dengan longgar lalu ketatnya likuiditas, tempo persaingan sama kerasnya. Adalah Bank Pembangunan Daerah DKI Jakarta (BPD JAYA), salah satu yang tetap kokoh menghadapi suasana sulit itu. Banyak bank bertahan lantaran kekuatan grup usaha pemiliknya. Namun, BPD JAYA membuktikan mampu bertumbuh justru dengan topangan bukan dari pemiliknya. "BPD Jaya bukan lagi sekedar menjadi kasir Pemda," ungkap Soeharto, direktur utama bank milik Pemda DKI Jakarta itu. "Komposisi perimbangan dana yang kami himpun sudah berbalik. Berbeda dengan keadaan beberapa tahun lalu, kini dana masyarakat dua kali lebih besar dari dana milik Pemda DKI Jakarta," sambungnya bangga. Dana masyarakat yang berhasil dihimpun pada tahun 1990 mencapai Rp 520,789 milyar, tumbuh 77,36 persen dari Rp 293,632 milyar di tahun 1989. Tingkat pertumbuhan itu jauh lebih baik dibanding pertumbuhan tahun 1988 ke tahun 1989, yang hanya 31,54 persen. Pertumbuhan itu tak lepas dari peningkatan kualitas layanan yang terus diupayakan BPD JAYA. Untuk mendapatkan nasabah, umpamanya, jajaran karyawan tidak lagi sekedar menunggu. "Kantor Kas BPD JAYA menyebar di seluruh Jakarta. Sehingga nasabah tidak susah-susah mencari kami," beber Soeharto. Pada usia yang kini 30 tahun, pada 11 April 1990, BPD JAYA sudah memiliki jaringan 78 kantor. Satu kantor pusat yang megah di pusat kota, satu cabang utama, tujuh kantor cabang, 10 kantor cabang pembantu dan 59 kantor kas. "Masih akan diperluas, semata-mata untuk memberi layanan yang makin baik bagi nasabah," tutur Soeharto. Perluasan jaringan kantor unit layanan terdepan, dibarengi pula dengan makin meragamkan produk-produk yang ditawarkan. Misalnya Tabungan Simpanan Pembangunan Daerah (SIMPEDA), diselenggarakan bersama 27 BPD di seluruh Indonesia. Di samping itu, BPD JAYA bersama 30 bank swasta -juga ikut dalam tabungan KESRA. "Semua produk itu kami siapkan agar nasabah mempunyai banyak pilihan," ujar Hasly Katamsi, Direktur Pemasaran BPD JAYA. Tak kurang pula jasa pendukung yang dibuka atas kerjasama dengan instansi lain bukan bank. Contohnya, kerjasama pembayaran listrik dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dengan Perumtel, untuk pembayaran telepon. Pelbagai kerjasama ini, menurut Soeharto, "memperkuat dan melebarkan customers base kami. Sekaligus meningkatkan fungsi BPD JAYA. "Sebuah bukti kami mampu melayani pembangunan di Jakarta," papar bankir jebolan Bank BNI itu. Kemampuan BPD JAYA membantu bergulirnya pembangunan juga ditunjukkan dengan kredit yang berhasil direalisasikannya yang dalam pelaksanaannya bagi nasabah dirasakan kian mudah. Sampai akhir 1990 total kredit yang disalurkan Rp 199,144 miliar, naik 127,40 persen dibanding tahun 1989. Kendati pertumbuhan itu agak mencengangkan, toh Loan to Deposit Rationya masih pada tingkat yang ideal. Artinya, "pertumbuhan kredit itu didukung oleh pendanaan yang kuat," papar Hasly. "Kualitas kredit kami memang baik dan didukung struktur dana yang baik." Hal itu bukan sekedar ungkapan promosi. Buktinya, keuntungan yang berhasil diraih BPD JAYA, menanjak dari tahun ke tahun. Tahun 1988 hanya Rp 8,422 miliar, setahun kemudian melonjak mencapai Rp 11,960 miliar. Kemudian mencapai Rp 19.082 miliar pada tahun 1990. Sungguh, keuntungan ini termasuk fantastis jika dibandingkan dengan beberapa bank swasta di kelasnya. Asetnya mengalami pertumbuhan luar biasa terutama dua tahun terakhir. Tahun 1988, total asetnya baru Rp 296,175 miliar, akhir tahun berikutnya membengkak, Rp 435,344 miliar. Angka ini terus membubung tinggi pada akhir 1990, total kekayaannya Rp 752,596 miliar. Sebuah pertumbuhan yang mencapai 72,87 persen. Semua lini keuangannya memang menunjukkan perkembangan yang mengundang pujian. Maka, tak aneh kalau nilai deviden dari tahun ke tahun melonjak pesat. Tiga tahun belakangan misalnya, Pemda DKI menerima deviden berturut-turut Rp 3,1 milyar lalu Rp 4,3 milyar -naik 27,9 persen, dan Rp 9,7 milyar -- menanjak 55,6 persen. Sederet prestasi itu wajar diraihnya. Sebab, posisi itu dicapai setelah dilakukan langkah profesionalisasi pada seluruh jajaran karyawan. Kenyataan lebih besarnya dana masyarakat ketimbang dana Pemda DKI Jakarta -padahal bertahun-tahun sebelumnya komposisi itu sebaliknya -yang dihimpun, makin menebalkan keyakinan manajemen BPD JAYA bahwa potensi dana masyarakatlah yang harus dibidik. Dan itu hanya bisa dicapai bila kualitas layanan makin profesional. "Manajemen dan organisasi terus kami sempurnakan. Tujuannya, tak lain, memberi layanan yang makin profesional dan berkualitas baik bagi nasabah," lontar Soeharto. Itulah sebabnya kini BPD JAYA mulai berorientasi kepada kualitas layanan. Maka, profesionalisme seluruh jajaran karyawan menjadi prioritas dalam pengembangan. "Sumber daya manusia terus dikembangkan," kata Bassar Soetardjo, Direktur Umum BPD JAYA. Sebab, "Tanpa didukung manusia yang berkualitas baik, tak mungkin menerapkan pola kerja profesional," lanjutnya. Kini secara berkala karyawan bank ini dikirim ke berbagai pelatihan. Misalnya ke Lembaga Pendidikan Perbankan Indonesia (LPPI), Lembaga Pendidikan & Pengembangan Manajemen (LPPM), dan Institut Pendidikan & Pengembangan Manajemen (IPPM). Dan Kerjasama pelatihan dengan berbagai bank, umpamanya dengan Bank BNI. Tidak kurang pula karyawan yang digodok dalam in house training. Pentingnya pengembangan sumber daya ini tercermin pula dari bujet yang dianggarkan, mencapai 6,2 persen dari total biaya. Dan prosentase ini kelak akan ditingkatkan menjadi 6,8 persen. Melihat kenyataan itu, maka masuk akal bila top manajemen BPD JAYA berharap dalam waktu dekat bank ini meningkat statusnya menjadi bank devisa. Indikator keuangannya menguatkan harapan itu. Prestasi yang diraih menyebabkan makin besarnya semangat berbenah diri. Bukan cuma terbatas pengembangan kemampuan karyawan dan kualitas layanan, tetapi juga penampilan dan imagenya sebagai bank yang makin berkembang. Hal itu bisa ditunjang, misalnya, oleh upaya mengubah logo dan sebutan menjadi BANK DKI. Dengan logo baru, yang disainnya tampak lebih dinamis dan terkesan agresif, itu diharapkan karyawan maupun masyarakat memahami keberadaan bank ini dalam gerak yang makin profesional. Sedangkan sebutan baru tadi hendak mencerminkan Bank Pembangunan Daerah ini telah berbuat banyak bagi pengembangan potensi daerah sekaligus membantu masyarakat luas di bidang jasa perbankan. "Fungsi ganda itulah missi utama bank ini yang diamanatkan para pendiri 30 tahun silam. Dan kami yakin, missi ini akan terlaksana makin baik pada masa mendatang," ujar Soeharto. "Didukung profesionalisme seluruh jajaran karyawan," sambungnya, "tekad ini akan kami buktikan. Iklan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini