Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menjalin informasi, menyambung ...

Berbagai cara ditempuh perusahaan umum telekomunikasi meningkatkan mutu. sarana, fasilitas, dan kesempatan pendidikan karyawan diberikan. cacuk sudarijanto mengkampanyekan perumtel senyum.

23 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRING.... Telepon di rumah Ny. Cicih di Bandung, Jawa Barat, berdering nyaring. Jauh di ujung sana, di Los Angeles, USA, putera sulungnya, Hendra Permana, mengabarkan bahwa anak pertamanya telah lahir dengan selamat. "Beratnya 4,2, Ma. Panjangnya 53, ganteng seperti saya," ujar Hendra bangga. Di sini, di belahan benua lain, Ny. Cicih berteriak memanggil suaminya, "Pak, kita telah punya cucu!" Hanya dalam hitungan sepersekian detik saja, berita gembira itu telah melintasi ribuan kilometer, menyambung tali rasa sebuah keluarga. Dalam sekejap telepon pun berdering-dering di beberapa rumah lainnya. Ny. Cicih menyampaikan kegembiraan dan kebanggaannya kepada seluruh kerabat. "Bayangkan, saya telah jadi nenek!" Adanya sarana telekomunikasi memang sangat memudahkan hubungan manusia. Telekomunikasi telah meniadakan kesenjangan ruang dan waktu. Orang bisa berhubungan selama 24 jam per hari, ke berbagai belahan bumi. Telekomunikasi telah memungkinkan hampir seluruh tempat di dunia dapat menyaksikan berbagai peristiwa dunia dalam waktu yang hampir bersamaan. Runtuhnya tembok Berlin, percobaan kudeta di Filipina, atau pertandingan Piala Dunia, semuanya dapat diikuti serentak di seluruh dunia. Secara garis besar, pelayanan jasa telekomunikasi yang dikelola Perumtel dibagi ke dalam 4 kelompok besar. Pertama, pelayanan jasa telekomunikasi berbentuk suara (audio), misalnya telepon. Kedua, yang berbentuk dokumen tertulis atau gambar, misalnya telegram, teleks, faksimili dan komunikasi data. Ketiga, yang berbentuk audio-visual, misalnya telekonferensi. Jenis yang satu ini ternyata kurang diminati masyarakat. Keempat, penyewaan perangkat transmisi. Yang disewakan mulai dari kabel telepon, kanal, dan sirkit jaringan transmisi terestrial gelombang mikro serta satelit Palapa. Jasa telekomunikasi Perumtel ini telah mempersatuan puluhan ribu kota besar-kecil, yang terserak di ribuan pulau di Nusantara. "Sebut saja sembarang nama kota, saya jamin kota ini sudah punya fasilitas telekomunikasi Perumtel," ujar Ir. Cacuk Sudarijanto, Direktur Utama Perumtel. Jaringan telekomunikasi kini memang telah merasuk bahkan ke kota-kota kecil seperti Tanah Merah, Sarmi, Teminabuan dan lain-lainnya yang tersembunyi di kesenyapan Irian Jaya. Atau di Banda Neira dan Saumlaki nun di ujung selatan Maluku. Sekurang-kurangnya tercatat 2.113 kota kecamatan di Indonesia telah memiliki fasilitas jaringan telekomunikasi untuk umum. "Walau mungkin, kini teknologinya masih teknologi sepur lempung," ujar Cacuk. Ia bertekad mengotomatkan jaringan yang ada itu dalam Pelita V ini juga. Dari seluruh jaringan telekomunikasi yang direntang, sebenarnya tak semuanya menguntungkan Perumtel. Tapi, sebagai suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Perumtel didirikan bukan semata mencari untung. Ia juga berfungsi sebagai agent of development dan melakukan berbagai fungsi sosial lainnya. Peranan ini muncul karena telekomunikasi merupakan jalan raya tempat lalu lalangnya informasi, yang akan memacu perubahan. "Porsi untuk memacu percepatan perubahan amat sangat besar," kata Cacuk. "Perumtel harus mengupayakan pembukaan jalur informasi ke tempat-tempat di mana informasi itu bersumber," lanjutnya. Karena biasanya informasi, terutama yang menyangkut teknologi, berasal dari luar negeri, maka dalam melaksanakan fungsinya Perumtel bekerjasama dengan PT Indosat, yang mengelola telekomunikasi internasional. Banyak sekali waktu dan biaya yang bisa dihemat berkat layanan jasa telelit munikasi oleh Perumtel. Misalnya, seseorang tak perlu datang ke suatu tempat sekedar untuk mengetahui apa yang terjadi, atau untuk memberi instruksi tertentu. Cukup lewat telepon, telegram, teleks, faksimili dan sebagainya. Memang, tak selamanya layanan Perumtel memuaskan. Berbagai keluhan tak jarang dialamatkan ke Perumtel. Mulai dari induksi, telepon yang mati berhari-hari, tagihan yang tiba-tiba menggila, hingga permintaan penyambungan telepon yang harus antri bertahun-tahun. Data Yayasan Lembaga Konsumen mencatat angka keluhan mengenai telepon menduduki peringkat teratas. Itu semua karena Perumtel harus berhadapan dengan berbagai kendala yang tidak bisa segera diatasi. Soal induksi yang membuat pembicaraan simpang siur, misalnya, berpulang pada kondisi kabel mainhole yang semrawut dan tumpang tindih. Ambil contoh di Jakarta. Dari 3.883 mainhole yang ada, 2.450 di antaranya sering terendam air bila hujan. Padahal air adalah musuh listrik. Untuk menanggulanginya diperlukan kerja keras ekstra. Pertama susunan kabel perlu ditata lebih teratur dan tak tumpang tindih, sehingga bila ada kerusakan, memperbaikinya lebih mudah. Kabel-kabel yang telah tua juga perlu diganti. "Untuk kedua hal itu saja kita memerlukan biaya besar," papar Cacuk. "Jadi tak bisa dilakukan sekaligus, mesti bertahap." Dari sudut budaya, Cacuk melihat adanya perbenturan antara budaya agraris dan feodal dengan budaya Barat yang menghasilkan teknologi aplikasi yang sangat maju. "Sebagian warga kita masih belum siap. Cukup banyak yang belum mampu menghargai waktu dan bersikap sangkil, tanggung jawab sosialnya pun belum pas," ujar Cacuk. Ia menunjuk pada penggunaan telepon yang bertele-tele untuk hal yang sebenarnya dapat disampaikan dalam 3 menit saja. Akibatnya, lalu lintas percakapan telepon yang diatur sentral telepon menjadi macet, lebih-lebih pada jam-jam sibuk. Dan, manakala seluruh sirkit telepon yang masuk ke sentral telepon sudah penuh, percakapan lain pun harus antri untuk bisa masuk. Rupanya, inilah salah satu penyebab rendahnya succesful call ratio (SC) lalu lintas percakapan telepon di kota-kota besar. Mutu layanan pun menjadi rendah. Kendala lain adalah faktor manusia yang berada di titik singgung pelayanan Perumtel itu sendiri dan kondisi jaringan telekomunikasi yang masih memprihatinkan. Cacuk mengakui, masih banyak yang perlu dibenahi dan ditingkatkan pada sumber daya manusia maupun jaringan telekomunikasi yang kini ada. Banyak jaringan yang tergolong tua dan sebenarnya sudah layak dipensiun. Dalam pembangunan jalan pun, tak jarang timbul kerusakan jaringan akibat tersenduk atau tergalinya jaringan kabel bawah tanah. Di Jakarta, di kawasan Semanggi dan sekitarnya, misalnya, sarana telepon, faksimili, teleks dan sebagainya terpaksa membisu berminggu-minggu karena kecelakaan seperti itu, sewaktu pembangunan jalan tol tempo hari. Di beberapa daerah, pencurian atau percobaan pencurian kawat dan kabel telekomunikasi juga masih terjadi. Pencurinya mengincar kawat tembaga yang ada di dalam kabel tersebut. Hasil yang diperoleh para pencuri tersebut tak seimbang dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Tanpa disadarinya, ia telah memutuskan jaringan komunikasi ke banyak sambungan sekaligus. Lagi pula, pencurian semacam itu, selain diancam hukuman pidana, juga dapat digolongkan pada kegiatan sabotase yang diancam hukuman seumur hidup. Bahkan Undang-undang no. 11 tahun 1963 bisa mengganjarnya dengan hukuman mati. Terbatasnya jumlah satuan sambungan serta lamanya pemenuhan permintaan langganan baru juga menjadi sumber keluhan yang tak pernah usang. Daftar tunggu yang tercatat sekarang ini telah mencapai lebih dari 500 ribu calon langganan, di antaranya ada yang sudah menanti sejak 5 tahun yang lalu. Bagi Perumtel sendiri, calon langganan ini sebenarnya identik dengan pemasukan yang tertunda. Tapi apa mau dikata, kalau memang saluran yang tersedia sudah penuh, atau jaringan ke sana belum dibuka. Kalau begitu, mengapa tidak membuka saluran dan membuat jaringan baru saja? Tapi rupanya pemecahannya tak sesederhana itu. Untuk pemasangan sebuah pesawat telepon baru, Perumtel harus mengeluarkan dana hingga Rp 3,4 juta, padahal biaya resmi pemasangan telepon paling tinggi, di Jakarta, cuma Rp 500 ribu. Di beberapa tempat lainnya, bahkan ada yang cuma Rp 75 ribu saja, misalnya di Pangandaran, untuk telepon model ontel. Angka Rp 3,4 juta adalah angka rata-rata yang dikeluarkan Perumtel untuk pengadaan sarana telepon secara nasional dibagi jumlah telepon yang ada. Ironisnya, di luar Jakarta dan kota-kota besar lainnya, daya beli masyarakat masih lemah, sehingga dana yang bisa ditarik Perumtel tak sebanding dengan investasi yang mereka tanam. Pukul rata, menurut perhitungan Perumtel, modal yang terpendam pada tiap unit telepon baru bisa kembali setelah pesawat itu beroperasi selama 12 tahun. Mahalnya pembukaan jaringan baru memaksa Perumtel berpikir untuk melipat-gandakan saja kemampuan jaringan yang telah ada. Pendekatan densitas beralih ke pendekatan aksesibilitas, melalui Wartel dan telepon umum. Secara teknis hal ini juga dimungkinkan dengan adanya teknik pair gain. Dengan sistem ini, tiap sirkit/sambungan dapat ditingkatkan menjadi 2-30 sirkit. "Alat ini biasanya dipakai di pusat-pusat perkantoran atau permukiman," papar Cacuk. Cara lain adalah dengan penggunaan teknik digital alias PCM (pulse code modulation), yang bila dipadukan dengan media serat optik -- kapasitasnya bisa dilipat-gandakan menjadi ribuan saluran. Teknologi serat optik ini sudah kita gunakan sejak tahun 1987 yakni untuk kabel trunk dan kabel junction yang saling menghubungkan seluruh sentral yang ada di Jakarta dan Bandara Soekarno-Hatta. Sekarang ini 76% fasilitas telepon tersambung di kawasan pemukiman dan sisanya di kawasan industri. Namun dari sudut pencetakan pulsa -- alias uang masuk buat Perumtel -- kawasan industri mencatat 75% dari seluruh produksi pulsa dan kawasan pemukiman cuma 25%. "Kondisi ini perlu dibenahi agar lebih sangkil," ujar Cacuk. Bagi Cacuk, wajar-wajar saja kalau kawasan industri yang memberikan pundi-pundi emas juga dianak-emaskan dalam pemenuhan sarana telekomunikasinya. Lantas, apakah ini berarti kawasan perumahan akan dianak-tirikan? Rupanya juga tidak. Tapi dengan kemampuan kapasitas sambungan sekarang, ditambah kondisi dana Perumtel, maka pemecahan yang dianggap paling mangkus adalah dengan membangun Wartel (warung telekomunikasi) dan telepon umum lebih banyak lagi. Karena prospek ekonomis dan bisnis Wartel tergolong bangus bagi Perumtel maupun masyarakat, setiap tahunnya disepakati akan dibangun 20 Wartel. Sedangkan untuk telepon umum, pada Repelita V ini, akan dipasang 70 ribu sambungan. Adanya Wartel dan telepon umum yang mudah dijangkau masyarakat ini diharapkan dapat menjadi semacam suplemen kebutuhan masyarakat yang belum mendapatkan atau mempunyai telepon sendiri. Keterbatasan dana membuat Perumtel harus menoleh ke pihak swasta untuk bekerjasama. Misalnya dalam pengelolahan beberapa Wartel, pengoperasian Sistem Komunikasi Radio Panggil (pager), ada Pola Bagi Hasil (PHB). Contohnya adalah Sistem Komunikasi Kendaraan Bermotor (SKKB) Seluler dan Stasiun Bumi Mikro (SBM) yang lebih dikenal dengan sebutan Very Small Aperture Terminal (VSAT). Yang belakangan ini merupakan kelengkapan baru SKSD Palapa dan bekerjasama dengan PT Citra Sari Makmur (CSM), yang membangun pusat pengendali (network control center alias hub station) SBM di Cikarang, Bekasi. SBM sangat cocok untuk pemakai yang memerlukan sarana komunikasi dengan data besar, misalnya bagi perusahaan yang mempunyai cabang yang tersebar di tanah air. Dengan perangkat antena parabola yang bisa diringkas dan dilipat sehingga praktis untuk daerah-daerah terpencil, orang bisa berkomunikasi dari mana saja di wilayah yang diliput satelit Palapa. Kendati kecil, perangkat ini dapat dipergunakan untuk telepon, faksimili, teleks, ataupun komunikasi data dengan komputer. CSM mengelola SBM ini atas nama Perumtel. Namun sesuai dengan aturan main PBH, setelah tenggang waktu tertentu perangkat yang dibangun masyarakat ini akan dihibahkan kepada Perumtel. Ini memang salah satu kiat Perumtel untuk mengatasi kekurangan dana. Masalah keterbatasan dana ini memang menjadi kendala yang terus-menerus diupayakan pemecahannya. Ketatnya dana yang tersedia membuat langkah Perumtel jadi tersendat. Dari APBN tak bisa berharap banyak. "Perumtel memang tidak menggantungkan diri pada APBN," kata Cacuk. Untuk itu, Perumtel harus menggali kocek sendiri, baik yang berasal dari pinjaman dalam maupun luar negeri. Pinjaman luar negeri dipergunakan untuk investasi, artinya untuk membangun sarana produksi baru. Sedangkan pinjaman dalam negeri dipakai untuk pembayaran pengadaan dalam negeri. Selama ini dana terbesar berasal dari kredit bersyarat lunak Bank Dunia, US$ 300 juta, yang dipakai untuk membiayai Proyek TELECOM III, yakni pembangunan jaringan kabel sebanyak 600 ribu sambungan. Tak hanya itu, sampai tahun 1989 ini, utang luar negeri Perumtel telah senilai ekuivalen Rp 877,5 milyar, sementara utang dalam negerinya mencapai Rp 675,67 milyar, sehingga seluruhnya mencapai Rp 1.553,23 milyar. Untuk kebutuhan spesifik, yakni yang berkaitan dengan perangkat perhubungan dengan satelit Palapa, Perumtel juga memperoleh pinjaman dari bank luar negeri. Anggaran Perumtel untuk Pelita V ini adalah sekitar US$ 34 milyar, atau lebih dari Rp 6 trilyun, sekitar 60% di antara berupa valuta asing, pinjaman luar negeri. Kondisi ini menambah beratnya beban bunga Perumtel. "Kita harus membayar pinjaman dan beban bunganya dengan George Washington, Queen Elizabeth dan sedikit mata uang asing lainnya, sementara pemasukan kita dalam Kartini," ujar Hari Suroso, Kepala Hubungan Masyarakat Perumtel. "Tapi Perumtel justru memberi peluang bagi sektor lain untuk menghasilkan devisa bagi negara," lanjutnya. Di samping pinjaman dan beban bunga ini, dalam menjalankan fungsinya sebagai agent of development, perumtel juga memerlukan biaya untuk membuka jaringan ke daerah-daerah yang secara bisnis, maksudnya secara profit making -- kurang menguntungkan. Toh, Perumtel masih bisa mencetak laba. Untuk tahun 1989 ini, misalnya, dengan operating ratio sekitar 85% (termasuk untuk memenuhi kewajiban pembayaran cicilan utang investasi yang lalu) dan pendapatan sekitar Rp 1 trilyun, Perumtel meraih laba Rp 150 milyar. Setelah dipotong pajak, Dana Pembangunan Semesta, dan lain-lain, hingga sekitar Rp 30 milyar untuk cadangan pembangunan. "Jadi dalam 5 tahun untungnya Rp 150 milyar," ujar sang Dirut menyeringai. Untuk meningkatkan kualitasnya, Perumtel pun meluncurkan program kerja yang di kalangan intern mereka populer sebagai 'Rumusan 3-2-1'. Artinya adalah trisula sasaran pokok, dua garis strategi dan satu modal dasar. Modal dasar yang satu itu adalah kerjasama, yang selain membantu memecahkan masalah operasional pelayanan, juga melibatkan pembinaan SDM. Kekompakan korsa, kekompakan semangat kerjasama seluruh jajaran Perumtel inilah yang menjadi modal dasar mereka dalam berkarya. Dua yang dimaksudkan adalah garis strategi, yang ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi strategi ini melakukan pembenahan dan menyangkilkan sistem manajemen. Sisi lain, Perumtel juga terus membina dan meningkatkan SDM. Kedua garis strategi ini korelasinya sinerjik. "Sambil meningkatkan kesangkilan manajemen SDM pun kita benahi," cetus Cacuk. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, Perumtel menyusun program pendidikan yang terdiri atas beberapa jenjang, yakni Juru Teknik, Juru Tata Usaha, Pengatur Muda Teknik, Pengatur Muda Tata Usaha, Pengatur Teknik, Pengatur Tata Usaha serta Orientasi Sarjana. Kemudian ada 3 jenis kursus. Misalnya, Kursus Staf dan Pimpinan (SUSPIM) untuk tingkatan manajer, serta Kursus Penyelia (SUSLIA) untuh tingkan manajer pelaksana. Ini diselenggarakan di Pusat Penddikan dan Latihan (Pusdiklat) Perumtel di Gegerkalong, Bandung. Bahkan Perumtel sudah mengambil ancang-ancang untuk meningkatkan diklat ini. "Dulu hanya sekitar 1% dari waktu setiap karyawan yang dipergunakan untuk diklat, kini diusahakan menjadi sekitar 10%," kata Dadad. Untuk itu ia meningkatkan anggaran pendidikannya. Bila dalam Pelita IV anggaran pendidikan berjumlah Rp 14,5 milyar, kini naik menjadi Rp 16,5 milyar. Dalam pelaksanaannya diklat ini dilengkapi dengan kurikulum yang telah diselaraskan dengan misi yang diemban perusahaan, yakni perpaduan antara unsur bisnis, pelayanan dan teknologi masa depan. Selain kursus tadi, ada pula latihan terpadu alias built in training (BIT). Program latihan ini disusun oleh Diklat dan diterapkan di lapangan oleh para pejabat Perumtel kepada bawahan masing-masing. Program training ini diprioritaskan di Unit Pelaksana Teknis. "Asumsinya, setiap pimpinan adalah juga manajer training," papar Dadad. Di luar berbagai pendidikan intern itu, tenaga-tenaga yang potensial juga dikirim untuk mengikuti pendidikan di dalam maupun di luar negeri untuk tingkatan master maupun doktoral. Lantas berdasarkan garis strategi yang bermata ganda itulah Perumtel menentukan 3 sasaran pokoknya. Pertama, meningkatkan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Kedua, memberikan hasil terbaik kepada stake holder -- yakni pemerintah sebagai share holder, pimpinan dan seluruh karyawan Perumtel, serta masyarakat. Dan ketiga meningkatkan citra perusahaan. Untuk mencapai ketiga sasaran pokok itu, Perumtel pun segera melancarkan jurus-jurusnya. Mereka melakukan berbagai gebrakan untuk meningkatkan citra perusahaan. Misalnya dengan mengembangkan pelayanan 24 jam di -- untuk permulaan -- Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Ujung Pandang dan Denpasar, serta penyebaran pelayanan gangguan melalui pola OPMC (Outside Plant Maintenance Centre) ke tujuh kota besar. Sistem layanan pemasangan sambungan baru telepon juga diperbaiki dengan mengkomputerisasikan daftar tunggu dan terbuka pada publik. Untuk tahap awal, komputerisasi ini baru dilakukan di Batam, Bali, dan Jakarta. "Kota-kota lain segera menyusul," kata Cacuk. Ia berharap, dengan mempublikasikan daftar tunggu ini, interpretasi yang macam-macam bisa dihindari. Dalam soal citra perusahaan ini agaknya Cacuk tak main-main. Kurang dari 3 minggu setelah dilantik menjadi Dirut, ia langsung melancarkan 'Operasi Perumtel Senyum' (Lihat: Senyumlah Perumtel). Kini, tampaknya benih yang ditanam Cacuk mulai mengecambah. Ia berharap pada usai Pelita V nanti, kecambah budaya pelayanan yang sempurna akan marak menjadi budaya perusahaan yang mapan. Pada saat itu, semoga masyarakat bisa tersenyum, dan karenanya Perumtel pun bisa tersenyum lebih menawan lagi. DIKERJAKAN OLEH TIM PARIWARA TEMPO Dari Telepon Ontel ke Teknologi Digital PELAYANAN jasa telekomunikasi dari waktu ke waktu makin meningkat. Perumtel ikut berperan aktif dalam mewujudkan Wawasan Nusantara. Sejarah Perumtel di Indonesia dimulai sejak lebih dari seabad lampau. Cikal bakalnya adalah Post en Telegraafdienst (Jawatan Pos dan Telegraf) yang berdiri tahun 1884. Kemudian berubah jadi Post, Telegraaf en Telefoondienst (Jawatan Pos, Telegraf dan Telepon) disingkat Jawatan PTT. Lalu pada 1961 statusnya berganti menjadi PN Pos dan Telekomunikasi, disingkat PN Postel. Itu berarti untuk yang pertama kalinya telekomunikasi dipergunakan sebagai pengganti telegraf dan telepon. Istilah ini memang lebih tepat, karena juga mencakup pengertian radio. Sebab, teknik pertukaran berita -- telegram, telepon, dan belakangan juga komunikasi data -- kini tidak lagi semata melalui saluran kabel, melainkan juga dikirimkan melalui gelombang radio. Perkembangan usaha PN Postel demikian pesat. Maka, pada 1965 PN Postel dipecah menjadi 2: PN Pos dan Giro, serta PN Telekomunikasi. Dengan demikian daya gerak bidang Pos (termasuk Giro) maupun bidang Telekomunikasi bisa lebih maksimal. April 1970, PN Telekomunikasi bersalin bentuk menjadi Perusahaan Umum Telekomunikasi, disingkat Perumtel. Melalui PP No. 24/1974 dan PP 36/1974 Perumtel ditetapkan sebagai badan usaha tunggal yang diberi wewenang menyelenggarakan telekomunikasi untuk umum, baik di dalam negeri maupun internasional, dengan tugas utama membangun, mengembangkan, dan mengusahakan telekomunikasi guna mempertinggi kelancaran hubungan masyarakat dalam menunjang pembangunan. Untuk meningkatkan kualitas layanan, maka mulai tahun 1980, Perumtel ditetapkan sebagai penyelenggara telekomunikasi dalam negeri. Pelayanan jasa telekomunikasi yang diberikan meliputi telepon, telegrap, teleks, faksimili, telecopier/telefoto/leased channel, serta komunikasi radio. Sedangkan untuk hubungan internasional diserahkan kepada PT Indosat. Meski sejarah Perumtel boleh dibilang panjang, tapi nasib dan sarana yang dimilikinya belum bisa dikatakan menggembirakan. Di sejumlah tempat -- di Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat, dan sekitarnya, misalnya -- masih dipergunakan teknologi kuno telepon ontel, yang perlu di-ontel-ontel (diputar) dulu kumparan magnetnya sebelum berbicara. Berbagai kendala yang dihadapinya juga membuat rasio satuan sambungan telepon dengan jumlah penduduk Indonesia baru mencapai 4,5. Meski demikian, bukan berarti tak ada kemajuan. Sampai dengan 1987, umpamanya, penyediaan jasa telekomunikasi telah menjangkau seluruh ibu kota provinsi, 328 kotamadya dan ibu kota kabupaten, serta 2.064 kecamatan. Jaringan transmisi SKSD Palapa yang dimulai sejak Agustus 1976, membuka peluang penyiaran televisi dan radio pada lebih dari 60% wilayah negara. Penggunaan satelit komunikasi ini merupakan sumbangan nyata dalam menunjang Wawasan Nusantara, yang mencakup perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan. Berkat penggunaan sistem satelit ini, tersedialah hubungan dengan kualitas dan ketersediaan tinggi untuk seluruh wilayah negeri -- mulai dari tempat yang terpencil sama sekali seperti di Tembagapura atau pekerja-pekerja lepas pantai, hingga komunikasi antar perusahaan besar berskala milyar. Di luar itu, cakupan yang beraspek regional membuka pula peluang untuk kerjasama regional dengan negara-negara sahabat di kawasan Asia dan bagian utara Australia. Sekarang ini, misalnya, Palapa juga digunakan negara-negara ASEAN untuk telekomunikasi domestik masing-masing negara dan hubungan lintas batas. Menurut Daud Saleh, Pejabat Manajer Pemasaran Perumtel, Palapa juga disewakan ke luar negeri. Muangthai, Hong Kong, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Vietnam, India, Selandia Baru, Australia dan Papua Nugini adalah beberapa negara pemakai satelit Palapa. Kebutuhan komunikasi satelit meningkat sejalan dengan pertambahan aneka ragam pelayanan baru, misalnya komunikasi data, pengiriman gambar dan tulisan jarak jauh, konperensi jarak jauh, dan lain-lain. Dua buah satelit yang sekarang beroperasi, Palapa B-1 dan Palapa B-2-P, sudah harus diikuti dengan Palapa B-2-R untuk mempersiapkan pengganti Palapa B-1 yang sudah menjelang pensiun. Palapa B-2-R ini akan diluncurkan Maret nanti. Dengan 3 satelit di angkasa, kapasitas dan kemampuan Perumtel dalam melayani pemakai jasa telekomunikasi akan semakin meningkat dan beragam pula jenisnya. Dari titik pandang ini, agaknya Stasiun Pengendali Utama di Cibinong perlu diperluas kemampuannya. Seperti sistem komunikasi lainnya, dalam sistem komunikasi satelit ini juga terdapat kecenderungan pemakaian teknologi digital, misalnya time division multiple access (TDMA), seperti yang telah diterapkan di Amerika Serikat dan Kanada. Dengan cara ini jumlah kanal telepon yang disalurkan bisa 2-3 kali lipat dibandingkan dengan sistem frequency division multiple access (FDMA) yang kita pergunakan sekarang. Teknik digital ini lebih fleksibel, selain menyalurkan sinyal gambar, kanal, saluran juga bisa menyalurkan sinyal data secara langsung. Dimensi perangkat yang lebih kecil juga memerlukan ukuran gedung dan catudaya yang lebih kecil dan murah. Perkembangan teknologi yang pesat di akhir abad 20 ini memaksa Indonesia aktif menjadi anggota berbagai organisasi internasional di bidang telekomunikasi. Di antaranya, tercatat sebagai anggota International Telecommunication Union (ITU), International Telecommunication Satellit Organization (Intelsat). Dan yang sedang dijajaki sekarang ini adalah kemungkinan menjadi anggota International Maritim Satellite Organization (Inmarsat). Senandung dari Puncak Gunung UDARA dingin di Stasiun Bumi Perumtel Dolok Tolong, 1.525 meter dari permukaan laut, mendadak panas menyengat. Dalam sekejap, hangunan itu seolah menjadi periuk yang dijerang di atas tungku. Lidah api menari-nari menjilat sekujur gunung. "Saya begitu panik melihat api yang tiba-tiba membesar," ujar Hirengson Harianja, 26 tahun. Untunglah satpam yang bekerja sejak 1985 ini segera berinisiatif. Sambil meraba-raba dalam gelapnya asap tebal ia masuk ke ruang site operator, memberitahukan peristiwa kebakaran itu ke Medan, dan ke kota terdekat, Tarutung, 40 km dari situ. Malang, hubungan telepon ke kedua kota itu serentak putus. Keluar dari ruang yang telah dipenuhi asap tebal, Hirengson melihat api sudah mencapai pertengahan menara setinggi 35 meter. Ia segera menyemprotkan racun api ke beberapa bagian gedung yang mulai dijilat si jago merah. Di sini padam, tapi di bagian lain api mendekati tangki penimbunan minyak solar untuk bahan bakar generator. "Kalau dibiarkan, tangki berisi 6 ribu liter solar itu pasti meledak," katanya. Bersama Nasir Hutagalung, penjaga site, Hirengson bergantian mengelapkan goni basah ke dinding tangki untuk mengurangi panas dan menghindari meledaknya tangki. Setelah bertahan dua hari dua malam, akhirnya neraka itu surut. Untunglah, kebakaran di hutan pinus di Dolok (bukit) Tolong, Juli 1986 itu, tak sampai melumpuhkan stasiun repeater (pengulang untuk penguat sinyal). Dalam tempo singkat, teknisi dari Medan sudah bisa mengganti kabel-kabel transmisi dari parabola ke site yang rusak terbakar. Stasiun penguat sinyal yang dipancarkan dari jaringan microwave Jawa-Sumatera yang beroperasi sejak 1974 itu selamat berkat keberanian, kecekatan dan tanggung jawab Hirengson. Pengabdiannya itu membuahkan penghargaan Satya Lencana Wira Karya dari Presiden, yang diserahkan melalui Dirut Perumtel, waktu itu Willy Moenandir. Tapi bukan penghargaan itu yang dikejar Hirengson sewaktu ia mempertaruhkan nyawanya menyelamatkan stasiun yang dijaganya. "Itu memang sudah tugas saya," ujar pegawai honorer ini. Sebagai karyawan Perumtel, ia siap ditempatkan di mana saja. Namun, ketika pertama kali ditempatkan di puncak bukit terpencil, 13 km dari Balige, yang terletak di tepi Danau Toba, Hirengson nyaris putus asa. "Sunyi sekali di sini," katanya. Dan kesunyian itu bagaikan abadi siang dan malam. Bahkan dendang cengkerik pun tak mampu menghiasi malam-malam yang selalu terasa panjang di bukit berbatu yang tandus ini. Meski begitu, Hirengson dan temannya enggan turun ke perkampungan penduduk di bawah. Soalnya, meski jaraknya cuma 7 km, namun harus ditempuh dalam 2 jam jalan kaki, naik turun bukit. Selain mengontrol sinyal-sinyal yang macet, tugas mereka di site control ini boleh dibilang tidak ada. Seluruh peralatan bekerja otomatis. Jika ada kerusakan, mereka langsung kontak ke stasiun pusat di Medan. Kerusakan akut ditangani teknisi dari Medan. "Setiap 24 jam, 5 kali kami melapor ke Medan," kata Hasaloan Panggabean, 27 tahun, penjaga site. Stasiun ini dijaga 4 orang yang terbagi ke dalam 2 giliran setiap minggu. Tiap kali seorang satpam dan seorang penjaga site bertugas. Untuk mengusir kesepian, mereka menghabiskan waktu dengan berbagai kesibukan. Malam hari mereka main catur atau kartu, diselingi nonton TV hitam putih ukuran 14 inci yang gambarnya buram. Siang hari mereka isi dengan menanam dan merawat bunga-bungaan di lokasi seluas 25 x 25 m itu. Di musim kemarau, April-Agustus, hidup mereka lebih mengenaskan lagi. Bukit-bukit ini gersang dan tak punya sumber air. Tak ada air hujan yang bisa ditampung. Untuk mandi dan minum diperlukan perjuangan tersendiri. Tak jarang, untuk mengangkut jerigen berisi 20 liter saja, mereka terpaksa menunggu tumpangan mobil teknisi dari Medan yang kebetulan naik ke lokasi. Untunglah, dari hasil menabung penghasilan yang tak seberapa -- Hirengson, misalnya, honornya Rp 184 ribu sebulan -- mereka mampu membeli sepeda motor bekas. Langkah naik-turun bukit pun menjadi lebih ringan ditempuh. Namun, beratnya medan membuat mereka enggan turun-naik begitu. Maka untuk makan sehari-hari, mereka cukup belanja 3 hari sekali. "Minyak goreng sampai membeku seperti mentega di sini, karena dinginnya," ungkap Perlindungan Tambunan, 30 tahun, karyawan honorer yang menjadi satpam di sini. Beberapa waktu yang lalu mereka sempat patungan berlangganan koran terbitan Medan. Setelah berlangsung setahun, mereka pun menyerah. "Terlalu capek tiap hari naik turun hanya untuk mengambil koran saja," kata Hirengson. Namun bagi Hirengson, kalau turun ke kampung sebenarnya ia sekaligus bisa melaksanakan dua kepentingan. Selain belanja, ia juga bisa menemui isteri dan ketiga anaknya, yang sejak tahun lalu dipindahkannya ke perkampungan di bawah Dolok Tolong. Sama seperti Hirengson, Parlindungan yang pengantin baru juga menyewa rumah untuk isterinya di bawah. Keduanya tak berniat mbawa anak isteri tinggal di bukit. "Bisa gila mereka kalau tinggal di sini," ujar mereka. Hari-hari yang sepi di daerah terpencil juga dialami Armo Santoso. Begitu lulus Pendidikan Pembimbing Teknik Telekomunikasi di Perumtel Bandung tahun 1963, Armo dikirim ke Manokwari. Ia dipercaya sebagai petugas Teknik Seksi Radio yang tugasnya merehabilitasi sarana-sarana telekomunikasi yang rusak berat akibat gangguan gerombolan Papua Merdeka yang diperalat Belanda. Medan yang berat, hutan yang buas dan GPM yang masih banyak berkeliaran, tak menciutkan nyali Armo. Pendek kata, berbagai cobaan pernah dialami. Bahkan, tak jarang nyawa taruhannya. Tapi, ia tak keder sedikit pun. "Tugas saya berat. Tapi, ini memang cita-cita saya, turut berjuang membebaskan Irian Jaya," kata Armo, 48 tahun. Prestasi Armo Santoso tak diragukan lagi. Tak heran bila kini ia dipercaya sebagai Kepala Seksi Monitoring di Kantor Wilayah VI Bandung. Seperti halnya Hirengson, atas jasa-jasanya yang tidak kecil, Armo juga dianugerahi Satya Lencana Wira Karya. Tersenyumlah Perumtel, dan Kita Tersenyum BERBAGAI gebrakan yang dilakukan Perumtel, agaknya mulai menunjukkan hasil. Dibandingkan angka tahun lalu, jumlah keluhan yang masuk ke Perumtel kini terlihat menurun. Boleh jadi, inilah hasil Kampanye 'Perumtel Senyum' yang diprakarsai Cacuk Sudarijanto, kurang dari 3 minggu, setelah dilantik sebagai Dirut Perumtel. Senyum yang dimaksudkan Cacuk tentunya bukan senyum sinis ataupun senyum miring. "Senyum di sini berarti pelayanan yang ramah dan sopan dari seluruh jajaran Perumtel, sehingga menimbulkan kepuasan para pemakai jasa telekomunikas," ujar Cacuk sewaktu memperkenalkan gebrakannya, akhir Juli tahun lalu. Program kampanye Perumtel Senyum ini dirancang dengan matang. Sasarannya jelas, yakni meningkatkan kepuasan pemakai jasa telekomunikasi. Persis seperti lambangnya, dua mata, bunga, dan sesungging senyum. "Senyum Anda Harapan Kami", begitu tertulis di situ. "Ini merupakan penjabaran dan langkah kongkrit Program 3-2-1," ujarnya. Cacuk menilai pelayanan yang diberikan Perumtel selama ini telah baik. Apalagi kalau dilengkapi dengan pelayanan yang sopan santun dan ramah. Salah satu bukti layanan yang cekatan dan ramah ini terlihat jelas pada Bagian Penerangan Lokal alias Penlok (108) yang siap melayani 24 jam per hari. Meski pada jam-jam sibuk -- pukul 10-12 siang -- permintaan informasi yang masuk setiap jamnya bisa mencapai 100 panggilan per operator, para petugas tetap sigap. Dan catatan akhir tahun lalu, rata-rata permintaan layanan informasi telepon sehari-hari mencapai 54 ribu panggilan, atau lebih dari 15% dari kapasitas sambungan yang ada di Jakarta. Bagi Abdul Rasyid, Kepala Dinas Operasi Telepon dan Telegrap Witel IV Jakarta, angka ini terlalu tinggi. Dengan 52 operator yang bertugas setiap harinya, berarti seorang operator rata-rata menangani lebih dari 1.000 panggilan per hari. Rupanya, ketimbang mencari di buku telepon, orang lebih suka memijit 108. "Padahal seyogyanya cari dulu di buku telepon. Kalau tak berhasil baru minta informasi ke 108," katanya. Dengan kecenderungan yang ada sekarang, maka proyeksi tingkat permintaan layanan per hari pada akhir Pelita V -- sejuta satuan sambungan -- akan mencapai lebih dari 150 ribu panggilan per hari untuk wilayah Jakarta saja. Beban yang terlalu berat, memang. Untuk bisa mengetahui nomor telepon seseorang, idealnya diperlukan kombinasi nama dan alamat lengkap yang akan menjadi masukan untuk mengolah data di komputer induk. Dalam 4 detik, nomor yang ditanyakan bisa diketahui. Memang nomor tersebut bisa juga diperoleh berdasarkan masukan nama atau alamat saja, tapi tentu hasilnya akan lebih lama didapat. Semula Penlok 108 hanya untuk melayani permintaan informasi nomor telepon seseorang. Tapi, nyatanya masyarakat menuntut operator harus serba tahu. Berbagai masalah yang tak ada hubungannya dengan telepon -- dari rute bis, jadwal pertandingan PON, sampai nomor SDSB yang keluar -- sering ditanyakan ke 108. Untuk menjawab pertanyaan salah alamat, tentu saja tak mudah, karena data base yang tersimpan di komputer Penlok identik dengan data yang tertera di buku petunjuk telepon. Tapi, tak semua penanya mau memahami kesukaran ini. Makian goblok, tolol dan sebagainya adalah menu harian yang diterimanya. Bahkan, "Pernah juga ada yang menyebutkan nama seisi kebun binatang kepada saya," tutur Ida Supriyati, salah seorang petugas Penlok 108, sembari tersenyum kecut. Ida, seperti juga para petugas Perumtel lainnya, adalah tipe pengabdi masyarakat tulen, yang rame ing gawe, sepi ing pamrih. Baginya tak perlu ucapan terima kasih. Sebab, setiap ucapan terima kasih akan menyita waktu. "Padahal panggilan dari pelanggan lain juga perlu dijawab," katanya. Maka, demi efisiensi, cukuplah berterima kasih di dalam hati. Sulitnya, penanya seringkali tak siap dengan pensil dan kertas untuk mencatat nomor yang diberikan. Akibatnya, waktu terbuang sia-sia, sementara pelanggan lain yang perlu informasi tak bisa segera dilayani. "Alangkah baiknya kalau pelanggan siap, dan mengeja nama pemilik nomor dengan benar," kata Sekarningsih, pengawas Layanan Penlok. Untuk mengurangi kepadatan permintaan, Rasyid berharap agar pelanggan berusaha mencari dulu di Buku Petunjuk Telepon. "Kalau di sana tak ada, baru putar 108, jangan dibalik," katanya. Untuk itu, berbagai box telepon umum yang tersedia di tempat-tempat umum -- misalnya di kawasan perkantoran, pertokoan, perumahan, atau di tepi jalan -- juga disediakan Buku Petunjuk Telepon. Tapi ternyata dicuri tangan jahil. Maka buku yang tak berdosa itu pun kemudian dirantai. "Eh, malah dicuri sekalian dengan rantainya," papar Rasyid. Telepon Umum sebenarnya bukan barang baru. Generasi pertama yang dipakai di Indonesia adalah yang menggunakan tocken, keping metal dengan karakteristik tertentu. Lantas dengan uang logam dan belakangan dengan kartu magnetik (telepon umum kartu, TUK). Berbeda dengan 2 sistem sebelumnya, dengan telepon umum kartu orang bukan cuma bisa melakukan hubungan lokal, melainkan juga interlokal, bahkan internasional. Sistem yang diperkenalkan sejak November 1988 ini sangat menolong orang yang perlu berhubungan interlokal maupun internasional. Ada banyak kartu yang tersedia mulai yang 20 unit sampai 150 unit. Tiap unit setara dengan 1 pulsa. Bagi mahasiswa yang tinggal di rantau, atau turis domestik maupun mancanegara -- kartu seperti ini agaknya sangat bermanfaat. Kini sekitar 80 TUK telah terpasang di beberapa tempat di Indonesia, sebagian ditempatkan di bandar udara, stasiun kereta api, hotel-hotel internasional, pusat perkantoran dan pusat perbelanjaan. Penjualan kartu ini, ya di sekitar penempatannya tadi. Melihat minat masyarakat yang cukup baik dan terus meningkat, TUK bakal ditambah. Dalam tahun 1990 rencananya akan dibangun 1.000 TUK di seluruh Indonesia, 750 di antaranya diprioritaskan untuk Jakarta. Sampai pertengahan tahun ini, seluruhnya tersedia 6.581 satuan sambungan telepon umum, baik yang menggunakan sistem koin maupun kartu magnetis. Pada Pelita V nanti, jumlah ini akan menjadi 70 ribu. Telepon umum ini sebenarnya disediakan untuk kepentingan umum, untuk memudahkan komunikasi. Cuma sayangnya, kesadaran masyarakat dalam memelihara sarana umum ini belum menggembirakan. Tak sedikit telepon umum yang tak berfungsi akibat gangguan tangan jahil. Ada yang dirusak, ada juga yang dicuri. "Banyak telepon umum yang mikrofonnya dicuri untuk komunikasi kabel interkom," ungkap Cacuk. Setiap tahunnya tercatat 512 atau 7,8% telepon umum dijahili orang. Untuk memperbaiki atau mengganti telepon umum yang rusak atau hilang ini perlu biaya yang tak kecil, apalagi suku cadang atau pesawat itu memang tak tersedia. Akibatnya, pada saat diperlukan, telepon umum itu tak mampu menjalankan fungsinya. "Kalau sudah begitu, kami lagi yang disalahkan," kata Hari Suroso, Kepala Humas Perumtel. Ya, itulah dilema yang dihadapi Perumtel. Alangkah baiknya kalau kita semua juga punya rasa memiliki dan mau merawat kepentingan umum. Bila antara Perumtel sebagai pengelola jasa dan masyarakat sebagai pemakainya telah terjalin komunikasi yang harmonis, diharapkan keluhan akan menjadi hal yang langka. Dan -- kalaupun ada -- tanggapan, saran maupun kritik, dapat disampaikan dengan baik. Dengan senyuman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus