Berita dari Cina selalu menarik. Apalagi ketika tentara menembaki para demonstran di bulan Juni lalu. Banjir darah itu tak mengakhiri pergulatan kekuasaan. Masih belum ada kesatuan pendapat di kalangan pimpinan tentang bagaimana Cina mesti dikelola, baik secara politis maupun ekonomis. Siapa yang harus dipecat dan siapa yang posisinya akan anik. "Banyak orang yang tadinya yakin pada komunisme jadi kecewa," tulis Nicholas D. Kristof dalam The New York Times Magazine bulan November lalu. Berikut tulisan selengkapnya. HU YAOBANG punya cara sendiri untuk segala hal. Pada usia 14 tahun ia kabur dari rumah untuk bergabung dengan Partai Komunis. Pada 1986, sebagai pemimpin Partai ia mengatakan kepada Deng Xiaoping bahwa mungkin sudah saatnya orang tua itu mengundurkan diri. Tahun ini, setelah ia kena serangan jantung ketika sedang menghadiri sidang Politbiro, dokter menasihatinya untuk beristirahat total selama satu minggu. Namun, Hu dalam usia 74 tahun, membenci tempat tidur. Pada 15 Maret, seminggu setelah serangan jantungnya, ia memaksa badannya yang kecil bangkit. Ternyata, itu berakibat fatal. Jantungnya dibetot lagi, ia pun pingsan lalu meninggal. Serangan jantung Hu adalah awal serangkaian sergapan terhadap Cina. Kematiannya disusul oleh serbuan penduduk ke jalan-jalan di Beijing, antara bulan April dan Mei lalu. Mereka memprotes korupsi yang makin parah dan menuntut lebih banyak hak-hak demokrasi. Hu diangkat jadi lambang. Tujuh minggu yang penuh gelora, bagai mengubah warna Daratan Cina, tapi tiba-tiba saja segalanya berhenti. Dini hari, pada 4 Juni, selagi dunia terpesona, tank-tank milik Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) menggelinding ke Lapangan Tiananmen. Pasukan jalan kaki berderap mengoyak dinding manusia itu. Ribuan orang terluka, ratusan mati. Bersama banjir darah itu, terjadi sebuah drama rahasia, yang kemudian menentukan segalanya. Panggungnya bukan di jalanan, tapi di Zhongnanhai -- kompleks perumahan tertutup, beberapa ratus meter dari Tiananmen. Di vila-vila indah yang dihuni kebanyakan pemimpin Cina. Tepatnya di kediaman Deng Xiaoping. Perebutan kekuasaan para pemimpin ambisius yang menentukan masa depan Cina itu berlangsung di belakang layar. Gema pertentangan tersebut masih bergaung sampai sekarang. Hari depan Cina kini adalah hasil perundingan tersebut. Pemain utama dalam tragedi itu Zhao Ziyang. Pada 1987 ia menggantikan Hu Yaobang sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina (PKC). Politikus lihai yang sering meluap-luap itu memiliki otak yang tajam bagaikan pisau silet. Ia diharapkan akan menggantikan Deng Xiaoping sebagai pemimpin tertinggi Cina. Namanya hampir identik dengan prinsip ekonomi Deng yang "membuka diri" terhadap dunia luar. Ia dikelilingi tokoh-tokoh terbaik, sarjana-sarjana muda usia yang paling brilyan di seluruh Cina. Mereka berasal dari lembaga-lembaga think tank yang ada di Beijing. Mereka bagai cip otak Zhao dengan usulan-usulan demi perubahan ekonomi dan politik di Cina. Zhao pun jadi Camelot Cina. Menjelang musim panas 1988, pelindung para pakar muda ini mulai diintai bahaya. Inflasi dan korupsi merajalela, rakyat sakit gigi. Banyak pejabat Partai yang lebih senior menganggap Zhao terlalu "darah tinggi". Mereka gemas ketika Zhao bermain-main dengan gagasan berbau bidah (menentang arus): membebaskan harga dan menjual BUMN-BUMN kepada swasta. Kritik terhadap Zhao atas nama menyelamatkan revolusi dan negara mulai terdengar. Di awal tahun ini, rekan-rekan Deng yang paling berpengaruh, terutama Chen Yun, jenius berusia 84 tahun itu, secara resmi menyarankan agar Zhao digeser. Itulah posisi Zhao ketika pendahulunya, Hu Yaobang, semaput di Rumah Sakit Beijing. Dan tragedi mulai. Disuntik oleh kabar ajal Hu Yaobang, pada 19 April, para mahasiswa mulai menggantungkan poster sebagai tanda dukacita. Serangan terhadap para pemuka Partai pun terdengar. Hu bagi para mahasiswa adalah simbol perubahan. Jauh sebelum fajar, ribuan mahasiswa bergerak ke Tiananmen. Hanya dalam beberapa hari, mereka berhasil menduduki lapangan itu dan mengancam hendak masuk ke Zhongnanhai. Pada pekan pertama itu, kebetulan saya sempat tiga kali makan siang dengan para pembantu Zhao. Faksi yang kemudian berkuasa di Beijing kelak menuduh bahwa sejak semula Zhaolah otak demonstrasi mahasiswa itu. Ia dituduh menggerakkan mahasiswa, dengan tujuan merebut kekuasaan. Padahal, tak satu pun dari tokoh-tokoh itu yang berpikir tentang mahasiswa. Bahkan ada kesan dengan terang-terangan menyepelekan. "Mereka bukan apa-apa," kata salah seorang dengan ringan. "Segalanya akan segera berakhir." Mereka menganggap protes itu hanya satu dari banyak soal yang membuat bos mereka pusing. Tapi seperti juga faksi-faksi lain, faksi Zhao kemudian dibuat bingung oleh aksi mahasiswa. Sementara itu, di sebelah barat Tiananmen, para pejabat Kota Praja Beijing mulai merasa terganggu oleh tingkah laku mahasiswa. Wali Kota Beijing Chen Xitong dan pemuka Partai lokal Li Ximing memerintahkan stafnya menyusun laporan untuk pekik mahasiswa yang tak masuk akal: tuntutan agar Deng Xiaoping mengundurkan diri. Pada 23 April Zhao Ziyang memulai perjalanan ke Pyongyang, Korea Utara, yang memang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari. Para penganut garis keras lalu memegang kendali untuk menentukan segala kebijaksanaan. Komite Tetap Politbiro bersidang pada 24 April, untuk membicarakan huru-hara mahasiswa. Sidang yang diketuai oleh Li Peng itu -- saingan utama Zhao -- memutuskan Partai harus bertindak tegas terhadap demonstrasi. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua Mercedes Benz melesat dari Zhongnanhai menuju ke utara. Tak menggubris tanda "dilarang masuk" kedua limusin itu membelok ke sebuah gang kecil di sebelah selatan Gerbang Dianmen. Sekelompok penjaga dari pasukan elite mempersilakan Li Peng, 60 tahun, dan Presiden Yang Shangkun, 82 tahun masuk melalui gerbang lain yang terbuat dari baja. Itulah tempat kediaman orang paling sakti di Cina, Deng Xiaoping. Mereka menemui muka Deng keruh. Ia sangat terganggu oleh kerusuhan Tiananmen dan cemas kalau keadaan memburuk. Dikatakannya negeri-negeri sosialis lain yang begitu toleran dalam menghadapi kekacauan sedang menghadapi kesulitan ekonomi. Contohnya Polandia. Ia memuji-muji para penguasa Republik Soviet Georgia yang telah mengambil tindakan tegas terhadap semua bentuk pembangkangan. Akhirnya Deng mengatakan kepada kedua tamunya bahwa TPR harus masuk ke kota dan menindas semua bentuk demonstrasi. "Kita tak usah khawatir dengan kemungkinan darah tumpah," kata Deng. "Kita tak usah takut dengan reaksi internasional." Seorang penulis cepat mencatat segala yang dikatakannya, kemudian mereka membicarakan sebuah dokumen akan dibacakan di muka para pemimpin lain. Atas perintah Deng, sebuah tajuk rencana bernada keras muncul di Harian Rakyat. Isinya mengutuk aksi mahasiswa dan menyerukan agar diambil tindakan keras. Ketika draf tajuk rencana itu diperlihatkan kepada Deng, pemimpin tua itu menghapus semua kata xuechao (gerakan mahasiswa) dan menggantikannya dengan sebutan dongluan (para pengacau). Istilah itu populer pada zaman Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Sebuah copy dari editorial tersebut dikirim ke Pyongyang untuk Zhao. Zhao lewat telegram menyatakan setuju. Telegram itulah yang kemudian diperlihatkan ketika Zhao berusaha menolak isi tajuk tersebut. Pada 26 April, para mahasiswa menyiapkan demonstrasi sesudah Deng menurunkan perintah keras. Sementara para pemimpin lain sehari suntuk masih pusing tujuh keliling bagaimana melaksanakan perintah tersebut tanpa menggunakan kekerasan, pasukan sudah masuk Beijing dengan gas air mata dan tekad menggilas. Tokoh utama yang menganjurkan tindakan tanpa kekerasan adalah Yang Mingfu, 58 tahun. Pejabat tinggi partai ini anak seorang anggota staf mendiang Zhou Enlai. Ia penerjemah bahasa Rusia untuk Deng pada awal 1960-an. Persahabatannya yang cukup lama dengan Deng memberinya peluang untuk bicara, padahal biasanya tak ada yang berani menentang perintah Deng. Yang menyatakan pemerintah harus mencegah pertumpahan darah karena partai yang berlumuran darah hanya akan memburukkan citranya. Bersama para pejabat lain ia berusaha menjalankan instruksi Deng tanpa konfrontasi. Malam hari, akhirnya keputusan diambil oleh Qiao Shi, kepala jawatan keamanan, salah satu tokoh paling berkuasa dalam Komite Tetap Politbiro. Pasukan akan dikerahkan sesuai dengan perintah Deng, tapi mereka akan menggunakan taktik tanpa kekerasan. Tentara harus memblokade semua jalan dan menggunakan segala teknik-teknik persuasi untuk menenangkan mahasiswa. Mereka dilarang menggunakan senapan dan alat pemukul. Esoknya, berita kehadiran pasukan bersenjatakan pemukul dan gas air mata tersiar di semua kampus. Beberapa menit sebelum pukul 9, barisan mahasiswa keluar dari kampus Universitas Beijing sambil menyanyikan slogan menuntut demokrasi. Mereka mengarak plakat-plakat yang mengutuk editorial Harian Rakyat. Mereka sadar betapa akan sulitnya menembus Tiananmen. Beberapa mahasiswa telah menulis surat wasiat karena yakin akan dipukuli tentara sampai mati. Tiba-tiba terjadi keajaiban. Ketika para demonstran mencapai lapisan pertama penjagaan, tentara dan polisi ternyata tak menggunakan alat pukul mereka. Gelombang manusia itu dengan mudah menembus barisan penjaga. Tak lama kemudian jalan-jalan dipenuhi oleh ratusan ribu pekerja dan mahasiswa yang meneriakkan slogan-slogan demokrasi. Para cerdik-pandai dan mahasiswa menganggap 27 April sebagai hari kemenangan yang paling gemilang di abad ini. Di Zhongnanhai persaingan untuk merebut kekuasaan makin menghebat. Begitu kembali dari Korea, Zhao menganalisa keadaan dengan pembantu dan penasihat terdekatnya, Bao Tong. Bao, 57 tahun, anggota Komite Sentral merangkap Sekretaris Politbiro yang ceking itu mengatakan bahwa versi editorial yang dimuat dalam Harian Rakyat agak berbeda dengan yang ditransmisikan ke Pyongyang. Ini memberi peluang Zhao melepaskan tanggung jawab dari tajuk rencana yang makin dibenci umum itu. Zhao menyarankan agar Partai menarik editorial tersebut. Pada 4 Mei, Zhao makin melibatkan diri dengan gerakan mahasiswa. Itu sebagian cerminan dari pemikirannya, dan sebagian lagi sebagai langkah taktis. Pengaruhnya di dalam Partai makin merosot sehingga ia beralih jadi seorang populis. "Tuntutan adil para mahasiswa harus dipenuhi," pidatonya di televisi. Ia menyatakan persoalan tersebut harus diatasi secara demokratis dan berdasarkan hukum. Berlainan dengan nada editorial Harian Rakyat, Zhao tak menganggap ancaman para mahasiswa itu serius. "Pada dasarnya mereka tak menentang asas dari sistem yang kita anut," katanya, "mereka hanya meminta agar kita memperbaiki cara kerja kita." Pidato yang direncanakan dan ditulis Bao Tong itu merupakan tanda pertama adanya pertentangan terbuka antara Zhao dan Deng. Untuk memperkuat citra Zhao sebagai tokoh konsiliator, jaringan televisi nasional menyiarkan pidato tersebut malam hari dan mengulanginya selama tiga hari berturut-turut. Zhao memerintahkan Harian Rakyat memuat pidato lengkapnya itu di halaman satu pada keesokan harinya. Berbagai reaksi positif atas pidato tersebut juga dimuat. Pekan itu demonstrasi menyusut, tapi para wartawan mulai bergerak lebih agresif dengan tuntutan akan kebebasan pers. Untuk Zhao, tuntutan semacam itu menempatkan dirinya sebagai tokoh masa depan Cina. Pada 6 Mei ia memanggil dua pejabat senior Partai yang mengurus propaganda, Hu Qili dan Rui Xingwen. Menurut sebuah laporan yang tersebar di kalangan pejabat pemerintahan, ia mengatakan kepada kedua orang itu, "tak ada risiko besar kalau hanya sedikit membuka diri terhadap demonstrasi mahasiswa dan pada waktu yang bersamaan juga membuka diri dalam hal pemberitaan." Pada hari yang sama, Zhao bertemu dengan delapan penerbit surat kabar terbesar di Cina. Ia menyatakan bahwa kontrol yang agak kendur bisa ditenggang. Dengan serta-merta para wartawan memberitakan apa yang sedang terjadi di jalanan. Peliputan itu meniup semangat para penuntut demokrasi. Pada 8 Mei, para pejabat teras Beijing, Chen Xitong dan Li Ximing, marah besar. Makin luas Partai membukakan diri, keadaannya akan makin buruk. Di jalan-jalan Partai telah digambarkan sebagai kumpulan preman. Keduanya berusaha memaksa Zhao mengadakan rapat agar mereka bisa mengemukakan pandangannya yang berlawanan dengan sikap Partai seperti yang dilukiskan pada tajuk rencana Harian Rakyat tanggal 4 Mei. Akhirnya Zhao mengalah, rapat dilaksanakan. Pertemuan itu berjalan dengan panas dan tak ada hasilnya. Faksi Partai Beijing menyerang Zhao karena pidato 4 Meinya. Mereka menuduh Zhao telah berkhianat terhadap Partai. "Siapa yang telah mengkhianati kalian?" jawab Zhao dengan suara gusar dan keras. "Hanya pada masa Revolusi Kebudayaan saja rakyat dikhianati.... Kalau saya telah mengucapkan sesuatu yang salah, saya sendirilah yang akan bertanggung jawab." Pada 11 Mei. Ketidakmampuan pimpinan Partai, plus desakan massa yang makin keras untuk mengadakan perubahan, menolong Zhao. Menurut sumber-sumber di dalam pemerintahan Cina sendiri, Zhao sedang berada dalam posisi menguntungkan ketika sidang Politbiro yang diperluas dibuka di Zhongnanhai. Di samping para anggota Politbiro yang biasa, para pejabat terkemuka lain juga memenuhi kursi-kursi yang disusun berjajar di sekeliling meja sidang. Tapi, Deng Xiaoping tak hadir, dan ini memberi kesempatan kepada Zhao untuk menunjukkan kekuasaannya, ketika memimpin rapat tersebut. Rapat berlangsung tegang. Mikhail Gorbachev akan tiba dalam beberapa hari untuk menghadiri pertemuan puncak Cina-Soviet pertama selama 30 tahun terakhir. Aksi mahasiswa menjurus kepada ledakan kekacauan yang lebih serius. Zhao mencari mandat dari Politbiro untuk dasar pendekatannya yang tanpa kekerasan. Ia malah mendesak agar kepemimpinan nasional meluluskan tuntutan gerakan demokrasi, terutama yang mengenai korupsi dan pemerintahan yang lebih terbuka. Ia menyerahkan sebuah surat yang pada dasarnya menyambut penyelidikan atas kedua anak tertuanya yang terkenal lantaran memanfaatkan koneksi untuk menarik keuntungan besar. Ini salah satu langkah Zhao untuk mengubah citranya dari seorang bos Partai menjadi seorang populis. Pada mulanya sikap itu berhasil baik. Tak adanya oposisi yang terorganisasi sehingga rapat tersebut berakhir dengan dukungan setengah hati atas pendekatan lunak Zhao. Keterbukaan menjadi retorika, Zhao tampil ke depan untuk merintis perubahan-perubahan besar. Bao Tong, pembantu utamanya, menulis sebuah artikel yang memuji-muji hak-hak asasi manusia dan menyerukan dipraktekkannya sistem pemerintahan atas dasar keseimbangan kekuasaan. Tulisan tersebut tampil di Harian Rakyat pada 21 Mei. Petang itu saya menemui Yan Jiaqi, seorang ahli ilmu politik terkemuka yang kemudian memimpin gerakan demokrasi dalam pelarian. Semangatnya sedang berkobar-kobar. "Ini untuk pertama kalinya pers menggunakan ungkapan 'hak-hak asasi' dalam konteks yang positif," katanya dengan perasaan bahagia sambil menggerak-gerakkan surat kabar yang dipegangnya. Tak lama kemudian saya makan siang bersama salah seorang pembantu utama Zhao. Ia salah satu angkatan muda hebat yang sedang berusaha membentuk kembali Cina. Ia menjadi lebih optimistis ketimbang beberapa bulan silam. "Ada harapan Zhao akan tetap memegang kontrol dan berhasil memperkuat posisinya," katanya. "Namun, bahaya masih tetap ada." Kuncinya: sikap konsiliatif Zhao harus terbukti efektif. Mahasiswa mesti menghentikan pendudukan atas Tiananmen, dan kembali ke kampus. Tapi, perkembangan selanjutnya terjadi di luar harapan Zhao. Aksi protes malah makin menggebu. Walhasil, para mahasiswa telah turut membunuh karier tokoh pelindung mereka sendiri. Pada 13 Mei, mahasiswa memulai mogok makan di Lapangan Tiananmen. Rakyat yang bersimpati turun memenuhi jalan, sehingga praktis mereka memblokade dan menguasai pusat ibu kota. Selama kunjungan Gorbachev kekacauan terjadi. Pemerintah Cina yang merasa tertampar oleh kejadian itu terus-menerus mengganti perencanaan upacara-upacara yang berkenaan dengan kunjungan Gorbachev. Selama itu, Yan Mingfu, juru bicara Partai, terus membujuk mahasiswa-mahasiswa untuk pulang. Pada pertemuan-pertemuan pribadi ia mengatakan, kalau mahasiswa mendesak terlalu jauh, mereka justru akan merusakkan citra para pemimpin yang bersimpati terhadap mereka. Para mahasiswa mendengarkan dengan tertib dan sopan, tapi menolak berkompromi. Kata mereka, apa yang mereka lakukan adalah masalah prinsip. Walaupun para musuh Zhao memandang mahasiswa sebagai wayang yang dimainkan para pemimpin yang bersaing, pada tahap ini aksi-aksi mereka telah menempatkan orang-orang yang menjadi sponsor mereka dalam posisi yang sulit. Dalam pertentangan intern kepemimpinan nasional, kekacauan di lapangan menciptakan kemelut baru. Zhao yakin para penganut garis keras akan berusaha menggunakan peluang itu sebagai kesempatan untuk memaksanya mundur. Ia jadi ofensif. Pada 16 Mei dalam pertemuannya dengan Gorbachev yang disiarkan televisi Beijing, ia menyerang untuk mempertahankan kekuasaannya. "Partai kita takkan dapat berbuat apa pun tanpa petunjuk Kawan Deng Xiaoping dalam masalah-masalah besar," kata Zhao kepada Gorbachev. "Secara resmi kami telah menyetujui keputusan dalam sidang pleno pertama Kongres PKC ke-13, bahwa dalam menghadapi masalah-masalah penting, kami masih memerlukan Kawan Deng sebagai orang yang akan memberi pengarahan. Keputusan tersebut sampai sekarang belum pernah diumumkan walaupun itu sangat penting." Untuk orang luar, kata-kata Zhao seperti mempertahankan Pak Tua. Pada kenyataannya sebaliknya. Rakyat Cina yang arif tahu bahwa Zhao menyalahkan atasannya, dalam soal kericuhan mahasiswa. Zhao seolah hendak mengatakan bahwa ia bermaksud memenuhi tuntutan mahasiswa, namun Deng "sang nakhoda" melarangnya. Pada 17 Mei, jalan-jalan dijejali para pemrotes. Ibu kota pemerintah makin kehilangan kontrol. Komite Tetap Politbiro dipanggil untuk menghadap Deng yang sedang gusar. Menurut cerita beberapa pejabat Cina, dalam pertemuan yang penuh dengan ketegangan itulah, Zhao meminta dengan sangat kepada bapak asuhnya itu agar ada semacam rekonsiliasi dengan mahasiswa. Pertemuan itu adalah saat-saat yang penuh dengan pertentangan. Tapi Deng tetap memiliki wibawanya menang mutlak. Zhao berada dalam posisi minoritas. Perdana Menteri Li Peng dan tokoh perencanaan terpusat Yao Yilin ikut menentangnya. Sedangkan bos yang bertanggung jawab atas sekuriti, Qiao Shi, menekankan pentingnya keamanan dan ketertiban. Pemegang aparat propaganda, Hu Qili, ragu. Walaupun bersimpati terhadap Zhao, ia bimbang menentang Deng terang-terangan. Walau tak ada keputusan resmi, pertemuan itulah yang meniup keadaan politik Cina melahirkan insiden 4 Juni. Zhao tak menyerah walaupun kalah suara. Para anggota stafnya melobi sebisanya karena yakin Qiao Shi dan Hu Qili bisa membelot. Sementara itu, untuk lebih menekan Partai, Zhao mengajukan permohonan berhenti. "Cara berpikir saya tak sejalan dengan cara berpikir Anda," tulis Zhao pada Deng. Ia tahu pengumuman tentang pengunduran dirinya akan menimbulkan protes yang lebih hebat. Ia berspekulasi Politbiro akan lebih suka menerima usulnya ketimbang menempuh risiko: dipersalahkan lantaran memecat dia. Deng menolak permintaan berhenti Zhao. Esok harinya ia menarik permohonan tersebut. Sebagai gantinya Zhao menghilang dengan alasan cuti sakit, sambil mengumumkan karena penyakit yang tak bisa disebutkan ia takkan lagi berpartisipasi dalam urusan-urusan Partai. Tapi, ia pun mencoba mendekati rakyat, sambil membocorkan hal-hal yang dibicarakan dalam sidang Politbiro tanggal 17 Mei, konon, melalui Bao Tong. Karenanya, gelombang kemarahan umum terhadap kepemimpinan nasional muncul. Untuk pertama kalinya timbul simpati untuk Zhao. Bersamaan dengan keadaan baru itu, sebuah limusin Mercedes Benz, dengan nomor pelat A01 dan kaca-kaca jendela yang digelapkan, keluar dari Zhongnanhai. Mobil itu mengelilingi Tiananmen, hingga penumpangnya dapat menyaksikan sendiri demonstrasi besar-besaran yang sedang berlangsung. Orang yang ada di dalam mobil itu tak lain dari Zhao Ziyang. Selama seminggu penuh ini, ia selalu mengatakan kepada anggota stafnya dan para pejabat bahwa ia berniat menemui para demonstran. Itu untuk mendorong selangkah lebih jauh lagi sikapnya yang ingin berunding. Tapi, ketika hal itu diajukannya kepada rekan-rekannya, Li Peng memveto. Ia mengatakan, itu kelewat radikal. Sementara itu, setelah rapat Politbiro 17 Mei, Deng dan para pemimpin senior lainnya, plus Li Peng, serta faksi konservatif dalam Politbiro memutuskan untuk mendatangkan satuan tentara ke ibu kota dan mengumumkan berlakunya keadaan darurat. Salah satu tujuannya untuk memulihkan keamanan dan ketertiban serta merebut jalan-jalan dari para demonstran. Namun, di samping itu, ada alasan lain yang barangkali lebih penting lagi. Deng dan rekan-rekan sepuhnya serta juga Li Peng yakin bahwa Zhao telah mengkhianati mereka. Karena itu, mereka takut apabila Zhao akan melakukan perebutan kekuasaan. Mereka memerintahkan agar satuan-satuan militer melindungi berbagai instalasi kunci dan kantor-kantor pemerintahan yang vital dari kemungkinan serangan. Di tengah-tengah suasana ketakutan dan saling mencurigai itu, para pemuka partai mengadakan serentetan perundingan. Mereka memperdebatkan bagaimana cara mendatangkan tentara itu. Zhao memanggil Yan Mingfu dan menyuruhnya menghadap Presiden Yang Shangkun. Ia diinstruksikan main sandiwara, seakan kunjungan tersebut dilakukan atas inisiatif sendiri. Tugas Yan adalah mendesak Yang untuk tak memanggil satuan militer. Yan ragu, apakah harus setia kepada Yang atau Zhao, tapi ia datang juga mengunjungi sang presiden. "Kawan Zhao Ziyang meminta saya mengunjungi Anda dan mendesak agar tentara tak didatangkan ke ibu kota," katanya kepada Yang. Tapi, kemudian ia menambahkan, "Saya diminta mengatakan kedatangan ini atas gagasan saya sendiri, dan bukan karena suruhan dia." Presiden Yang sangat murka, Yan dianggapnya antek Zhao, sedangkan Zhao sendiri gondok karena Yan telah mengkhianatinya. Tersebarlah kabar bahwa Jenderal Xu, komandan Tentara ke-38, telah menolak mengirim tentaranya masuk Beijing. Sedangkan korsentrasi massa di Zhongnanhai makin membesar. "Aku pernah menggerakkan anak buahku untuk menindas massa," kata sang jenderal, konon. Yang dimaksudkannya adalah pengiriman pasukan memasuki ibu kota pada 27 April. "Aku tak akan melakukannya lagi," sambungnya. Jenderal Xu memilih masuk rumah sakit ketimbang memimpin anak buahnya. Sikap membangkang itu, tentu saja, mengkhawatirkan lantaran ia tak lain dari putra salah satu tokoh militer yang paling senior, Jenderal Xu Haideng. Kalau ia dapat diandalkan, siapa lagi yang bisa dipercaya? Pada 19 Mei, para pemogok makan di Lapangan Tiananmen telah berpuasa hampir satu minggu. Setiap kali seorang mahasiswa kelengar, sebuah ambulans segera menyelinap menembus kerumunan orang. Ada jalan khusus, yang memang sengaja dikosongkan untuk maksud itu. Di dalam Zhongnanhai, bunyi sirene terus-menerus meraung seakan memperhebat krisis yang sedang berlangsung. Berulang-ulang Zhao meminta izin untuk keluar dan menunjukkan simpatinya terhadap para pemogok makan. Tapi, sebegitu jauh, para anggota Politbiro lain menolak. Akhirnya, pada pagi hari itu, Zhao mengumumkan bahwa ia akan pergi juga ke lapangan itu. Sebagai suatu usaha menunjukkan keutuhan di dalam partai, Li Peng yang kesal menguntit di belakang rombongan kecil Zhao. "Kami telah terlambat datang," seru Zhao dengan menitikkan air mata. Li Peng benar-benar merasa terganggu oleh keadaan kota yang simpang-siur. Karena itu, pada hari itu juga, ia memanggil Komite Tetap Politbiro untuk bersidang agar menyetujui pengumuman tentang keadaan darurat. Li juga mengatur terselenggaranya pertemuan massa yang disiarkan uia televisi di Hotel Jingxi milik tentara itu. Zhao yang memimpin rekan-rekannya dan yakin akan kekuatannya -- pada saat-saat terakhir, menolak hadir. "Paling tidak, duduklah di panggung untuk menunjukkan persatuan," Yang Shangkun menghiba. "Anda tak usah mengatakan apa pun." Namun, Zhao tetap tak setuju tindak kekerasan. Ia tak mau hadir, dengan alasan sakit. Qiao Shi menggantikannya mengetuai sidang. Li Peng mengucapkan pidato pengarahan. Tak lama setelah itu, Presiden Yang Shangkun mengumumkan perintah supaya tentara masuk ke ibu kota. Semula keadaan darurat tak akan diumumkan sampai pagi hari 21 Mei. Walaupun demikian, satuan-satuan militer sudah hadir di jalan-jalan. Keadaan darurat perang, akhirnya, diumumkan pada 20 Mei. Tapi, ketika satuan utama militer mencapai pinggiran kota, rakyat keluar rumah dan memblokir jalan-jalan. Sebagian dari mereka malahan membaringkan diri di muka rangkaian truk-truk. Ratusan ribu pemrotes, diorganisasikan berdasar kelompok-kelompok yang mewakili pabrik dan kantor -- dan malah Departemen Luar Negeri berbaris di jalan-jalan. Tentara kebingungan. Untuk beberapa hari mendatang, paling tidak, kemenangan tampak ada dalam genggaman Zhao. Tapi, bagaimana caranya kemenangan di jalanan itu dikonversikan ke kemenangan politik di dalam partai? Dengan segera Zhao berpaling ke mekanisme Kongres Rakyat Nasional (KRN) buat menolak UU darurat, dan barangkali juga untuk memecat Li Peng. Hampir sepertiga dari 158 anggota Komite Tetap KRN setuju untuk mengadakan sidang khusus. Diam-diam Zhao mengirim pesan rahasia lewat kawat kepada Ketua KRN Wan Li, yang sedang mengadakan kunjungan ke Amerika, untuk segera pulang. Sayang, Li Peng kemudian tahu pesan rahasia itu. Ia memanggil Komite Tetap Politbiro untuk bersidang. Sebagai hasilnya dikirimkanlah sebuah kawat penting yang menyuruhnya melanjutkan acara kunjungan. Ketika menerima kedua pesan yang kontradiktif itu -- sementara keadaan di Beijing tambah kacau -- Wan Li tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Pada 23 Mei, setelah bertemu dengan Presiden George Bush di Washington, akhirnya, Wan Li memperpendek masa kunjungannya, dan dengan alasan sakit. Ia kembali ke Cina. Bao Tong berusaha agar seseorang menemui Wan Li di Shanghai. Tapi, faksi saingannya sudah bergerak terlebih dahulu. Begitu pesawat mendarat, sebuah limusin kiriman bos Partai Shanghai, Jiang Zemin, meluncur ke landasan. Wan Li dijemput dan langsung dibawa ke sebuah rumah peristirahatan untuk mendapat keterangan mengenai keadaan di Beijing. Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya, Wan Li setuju mendukung Deng Xiaoping, rekan lamanya, dan menyetujui UU darurat. Setelah kejadian itu, Bao Tong sadar bahwa ia selalu diawasi, dan teleponnya disadap. Beberapa hari kemudian, ia ditahan. Tak lama kemudian, sembilan pengawal yang ditugasi menjaga keamanan bosnya, Zhao Ziyang, diganti. Kesembilan pengawal itu tidak lagi bertanggung jawab kepada satuannya, tapi langsung melapor ke Politbiro. Sekretaris Zhao dipecat, tapi ia tak ditangkap, demi keluarganya. Sekitar masa itu muncul laporan-laporan yang mengatakan bahwa Deng sedang mengadakan perjalanan keliling, antara lain ke Wuhan dan kota-kota lain. Di tempat-tempat itu, ia menemui para pemimpin militer dan meminta mereka setia kepadanya. Tapi, para pejabat Cina yang tahu akan gerak-gerik Deng mengatakan bahwa ia tak melakukan perjalanan keliling itu. Deng dan rekan-rekannya berhasil mengonsolidasikan kekuatannya di kalangan partai dan militer. Ketika jelas bahwa Zhao kalah, kemudian orang berbondong-bondong loncat masuk ke barisan yang menang. Para pemimpin daerah dipanggil ke Beijing untuk mendapat indoktrinasi. Mereka ditempatkan di rumah-rumah peristirahatan khusus dan dilarang membawa lebih dari seorang asisten. Gerak-gerik mereka diawasi agar tak mengadakan kontak dengan faksi Zhao. Beberapa dari mereka malah mengeluh karena merasa diperlakukan bagaikan tahanan. Faksi konservatif -- terutama Li Peng, Yao Yilin, Li Ximing, dan Chen Xitong -- sekarang berada di atas angin. Dua yang terakhir adalah pejabat Kota Beijing yang mengharapkan kenaikan pangkat dan kedudukan. Tapi, pada 31 Mei, Deng bertemu dengan Li Peng dan Yao Yilin. Ia mengatakan kepada keduanya bahwa partai memerlukan muka-muka baru yang segar. Deng telah berkonsultasi terlebih dahulu dengan rekan-rekannya yang sepuh, Chen Yun dan Li Xiananian. Ia memutuskan untuk menempatkan Jiang Zemin menggantikan Zhao. "Saya berharap agar setiap orang akan menganggap Jiang sebagai pusat pimpinan partai dan bersatulah," kata Deng mengatakan kepada Li dan Yao, menurut sebuah sumber, "Jangan saling memandang rendah, dan jangan membuang-buang tenaga dengan gontok-gontokan di antara sesama kalian sendiri." Ribuan tentara, pada 3 Juni, telah masuk ke kota dengan diam-diam. Rakyat sudah mulai terbiasa dengan kehadiran mereka, termasuk para mahasiswa di Lapangan Tiananmen. Demonstrasi sendiri telah kehilangan pamor, banyak mahasiswa yang berasal dari luar ibu kota telah kembali ke tempat mereka masing-masing. Walau demikian, hampir 10 ribu orang masih bertahan di tenda-tenda yang dipasang di tengah lapangan. Sabtu dinihari itu, ribuan tentara dikirim dari utara ke Beijing. Mereka akan pamer kekuatan di ibu kota, dan sedikit demi sedikit berusaha memulihkan ketertiban. Mereka masuk ketika jalan-jalan kosong dari manusia. Tampaknya, direncanakan agar tidak menarik perhatian umum. Tapi, beberapa saat sebelum tengah malam, tiga mil di sebelah barat Tiananmen, sebuah van polisi yang lari kencang tak bisa dikendalikan dan menubruk tiga pengendara sepeda sampai meninggal. Kerumunan manusia itu marah, banyak dari mereka menyangka bahwa kecelakaan itu disengaja. Ada lagi yang mengatakan, karena mobil tersebut dilarikan dengan cepat ke arah Tiananmen, polisi mestinya sedang bersiap-siap untuk mengusir para demonstran. Berita itu menyebar ke seluruh Beijing. Rakyat keluar rumah dan menduduki jalan-jalan. Mereka marah dan makin berani berhadapan dengan anggota-anggota tentara yang kelelahan karena baru saja datang -- setelah dipaksa berjalan masuk kota. Itu membuat penduduk yakin bahwa para pejabat pemerintah sedang berupaya menyerang mahasiswa. Orang-orang sipil yang makin berani itu memeriksa setiap mobil yang lewat, bahkan sempat memukuli beberapa anggota TPR. Pasukan itu tak bersenjata. Maksudnya, mungkin, agar dalam perjalanan, tak terjadi kecelakaan. Peralatan dan senjata mereka diangkut dengan bis-bis yang mengambil jalan lain. Dalam keadaan normal, bis-bis tersebut tak akan dihentikan dan digeledah. Tapi, setelah kecelakaan yang melibatkan mobil polisi itu, bis-bis tersebut dihentikan dan diperiksa. Senapan-senapan mesin ditemukan. Penemuan tersebut makin membuat penduduk marah. Mereka pun merampas senapan-senapan otomatis itu. Tanggal 4 Juni. Kabar bahwa banyak anggota tentara telah dipukuli dan senjata-senjata dicuri mengagetkan para pemimpin konservatif yang sekarang menguasai kendali politik. Walaupun secara relatif keadaan ibu kota makin tenang dalam beberapa hari itu, para pemimpin memutuskan untuk bertindak tegas. Deng dan rekan-rekannya memerintahkan agar tentara merebut kota, dengan jalan apa pun. Hari berdarah sebelum subuh itu telah banyak ditulis, dan banyak yang memusingkan. Berdasarkan pengamatan di jalan-jalan, nampaknya, banyak cerita yang datang dari sumber resmi dan dari yang tak jelas menyaksikan. Misalnya saja, tak ada pembantaian di Tiananmen, walaupun telah terjadi beberapa pembunuhan di tempat-tempat lain. Tentara sering sekali menembak ke arah kelompok-kelompok orang yang bukan mengancam. Sering sekali yang menjadi sasaran langsung adalah orang-orang medis dan ambulans yang mengangkut mereka yang terluka. Beberapa dari mereka yang tertembak memang telah mengancam tentara. Banyak pekerja muda yang membawa bom pipa dan molotov, sedangkan mahasiswa sendiri sudah berikrar bahwa gerakan mereka adalah tanpa kekerasan. Beberapa orang anggota polisi dan tentara telah terbunuh oleh mereka. Tapi, orang sipil yang ditembak tanpa alasan apa pun juga banyak. Kekuatan senjata telah memungkinkan Deng dan rekan-rekannya merebut kembali ibu kota. Dalam beberapa minggu berikutnya, para penguasa telah mengonsolidasikan kekuasaannya dan membersihkan partai. Zhao Ziyang dicopot dan raib dari pandangan umum. Ia mengeram diri di tempat tinggal pribadinya di Jalan Fuqiang No. 26. Konon, ia melewatkan waktunya dengan membaca. Sedangkan Bao Tong tetap disekap di penjara. Sayang, banjir darah di awal Juni itu tak mengakhiri pergulatan kekuasaan. Bahkan, memperhebatnya. Masih belum ada kesatuan pendapat di kalangan pimpinan tentang bagaimana Cina mesti dikelola, baik secara politis maupun ekonomis. Para pemimpin masih terus bertengkar mengenai kebijaksanaan ekonomi mana yang harus dijalankan. Siapa yang harus dipecat dan siapa yang posisinya akan naik. Sekilas, kehidupan sehari-hari sekan-akan telah kembali di Beijing. Tapi, sesungguhnya, simfoni perang itu belum selesai, malah makin menghebat dengan terusnya darah tumpah. Banyak orang Cina yang membandingkan masa sekarang dengan keadaan pada waktu masa Mao berakhir 1976. Ketika itu, ada semacam anarki ekonomi dan politik yang berlangsung selama delapan tahun. Kelak, apabila Deng dan kawan-kawannya yang sudah sepuh mundur atau meninggal, keadaan yang sama mungkin berulang. Pada masa itu, ketika perubahan benar-benar tiba, keadaannya akan lebih hebat dan lebih cepat. Karena kerinduan pada kebebasan, pada 1989 telah dibabat dengan kekerasan. Banyak orang yang tadinya yakin pada komunisme jadi kecewa. Mereka, kini, hanyalah anggota partai yang tak mempercayai lagi, baik partai maupun komunisme. Zhao, yang sekarang berusia 70 tahun, bisa saja muncul kembali sebagai pemimpin. Ia lebih muda dari Deng pada waktu ia kembali ke puncak kekuasaan pada 1978 dulu. Tapi, perubahan takkan bergantung kepadanya karena, baik di kalangan bangsa Cina sendiri maupun di dalam partai, ada keinginan untuk terjadinya perubahan. Dicampur dengan perasaan kesedihan atas apa yang telah terjadi, dewasa ini, banyak orang Cina yang teringat akan kata-kata penulis besar Lu Xun yang hidup pada awal abad ini. Ia mengatakan, "Kebohongan yang tertulis dengan tinta takkan dapat menyembunyikan kebenaran yang dilukis dengan darah." A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini