Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo

Pemimpin Bersahaja, Sederhana Bukan Berarti Biasa Saja

Pemimpin yang baik tentu sederhana dalam berpikir berarti memiliki visi dan misi yang realistis dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat.

23 Juni 2024 | 13.00 WIB

Nikson Nababan
Perbesar
Nikson Nababan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

INFO NASIONAL - Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah "bersahaja" memiliki makna sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Pemimpin yang bersahaja adalah mereka yang menghiasi diri dengan kesederhanaan—sederhana dalam berpikir, bersikap, dan berpenampilan. Sekilas, pemahaman ini mungkin membuat kita berpikir bahwa pemimpin sederhana adalah pemimpin yang biasa-biasa saja. Namun, maknanya lebih dalam dan relevan dengan zaman sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sederhana dalam berpikir berarti memiliki visi dan misi yang realistis dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat. Pemikiran yang seimbang antara konsep ideal dan realitas menjadi kunci. Sederhana dalam bersikap artinya ketika mengambil keputusan, tidak bersifat otoriter dan memberatkan rakyat. Pemimpin bersahaja selalu menyerap aspirasi dari berbagai pihak sebelum bertindak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sederhana dalam menjalani kehidupan berarti berpenampilan sederhana dan tidak mengikuti gengsi melainkan fungsi. Gaya hidup yang glamour dari seorang pemimpin dapat menciderai hati rakyat dan menciptakan kesenjangan sosial. Pemimpin yang bersahaja akan selalu berusaha menyesuaikan gaya hidupnya dengan kondisi rakyatnya.

Setiap individu adalah pemimpin, minimal bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, sifat-sifat pemimpin harus melekat pada setiap orang. Terlebih dalam kontestasi politik yang semakin dekat, rakyat harus selektif memilih calon pemimpin. Kesederhanaan bisa menjadi indikator penting dalam menentukan pilihan. Berdasarkan data dari situs resmi KPK, sejak 2004 hingga 3 Januari 2022, lebih dari 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak KPK karena berbagai kasus korupsi. Kebanyakan dari mereka terjerat karena gaya hidup yang berlebihan.

Dalam falsafah Jawa, pemimpin ideal harus memiliki sifat bener (benar), kober (siap sedia), dan pinter (pintar). Bener menjadi pondasi utama seorang pemimpin dalam berpikir dan bertindak. Kober menunjukkan kesiapan pemimpin untuk selalu mengedepankan kepentingan rakyat. Pinter, meskipun penting, diletakkan terakhir karena pintar saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan kebenaran dan kesiapan melayani rakyat.

Sejarah mencatat bahwa gaya hidup pemimpin yang jauh dari kesederhanaan sering menjadi penyebab runtuhnya dinasti-dinasti besar. Sebaliknya, pemimpin bersahaja seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Bani Umayyah, yang dikenal dengan kezuhudan dan kehati-hatiannya terhadap amanat rakyat, mampu menorehkan prestasi dan tinta keemasan.

Kyai Khambali menyebutkan bahwa Nikson Nababan adalah salah satu contoh pemimpin yang bersahaja. Nilai-nilai kesederhanaan harus menjadi bagian dari setiap langkah pemimpin terpilih agar dapat mengayomi dan menjadi panutan bagi seluruh rakyat. Kesederhanaan menciptakan rasa percaya, bukan curiga atau kebencian, melainkan rasa hormat dan welas asih.

Mengutip pandangan tokoh agama dan pengamat kebijakan publik, Akhmad Khambali, Dapat disimpulkan bahwa pemimpin bersahaja adalah pemimpin yang dihiasi kesederhanaan dalam berpikir, bersikap, dan berpenampilan. Konsep ini tetap relevan dan penting dalam memilih pemimpin masa kini. Dalam falsafah Jawa, pemimpin ideal adalah yang bener, kober, dan pinter, di mana kesederhanaan menjadi kunci utama. Nilai-nilai ini, jika diterapkan, akan membentuk kepemimpinan yang kuat, berintegritas, dan mampu mengayomi rakyat dengan baik. (*)

Prodik Digital

Prodik Digital

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus