Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pesona Pantai Pengungkit Ekonomi

Hilarius berupaya Infrastruktur jalan dan pengembangan lokasi wisata berjalan seiring. 

18 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bupati Nias Selatan, Hilarius Duha, tersenyum puas mengingat kesuksesan World Surf League (WSL) Nias Pro 2024 Kualifikasi Seri 5.000 di Pantai Sorake, pada pertengahan Juni silam. Kejuaraan itu menjadi bergengsi dengan kehadiran peserta dari 17 negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Awalnya kami perkirakan hanya 15 negara seperti sebelumnya. Tapi ternyata kemarin yang main dari 17 negara, itu naik,” ujarnya saat bertemu Info Tempo, 4 Agustus 2024. WSL perdana pada 2018, kemudian vakum pada 2020 dan 2021 lantaran pandemi. Berlanjut lagi pada 2022 hingga sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mantan Kasubbid Cyber Crime Polda Metro Jaya itu, tidak menyangka antusias peselancar dunia begitu besar datang bertanding di ombak Pantai Sorake, bahan sejak gelaran perdana. “Hitungan saya, dulu pada tahun pertama dan kedua hanya untuk (peselancar) regional. Tahun ketiga dan keempat naik nasional, baru di tahun kelima bisa internasional. Ternyata baru main pertama sudah internasional. Ya sudah, baguslah,” ujar Hilarius.

Pesona pantai dengan deburan ombak kelas dunia memang menjadi salah satu konsentrasi dia dalam membangun pariwisata di Nias Selatan. Setelah Pantai Sorake menjadi begitu hiruk pikuk oleh wisatawan, Hilarius menyasar pantai Nani’o untuk dikembangkan.

Bentang Pantai Nani’o di Desa Sondregeasi diperkirakan sepanjang 3 kilometer lebih. Telah lama menjadi lahan tidur yang tidak produktif. Mayoritas penduduk mencari nafkah sebagai pemungut buah kelapa. Kini setelah panti disulap menjadi tempat wisata, sumber penghasilan bisa bertambah. “Jadi saya bikin nama khusus untuk pantai yang indah itu, Nani’o Paradise,” kata Hilarius sambil terkekeh.

Ia juga tidak melupakan pembangunan infrastruktur jalan untuk mempermudah akses menuju ke tempat wisata. Jalan juga dibutuhkan di daerah-daerah pertanian Nias Selatan yang berada di dataran lebih tinggi. 

Menurut data Badan Pusat Statistik, panjang jalan di kabupaten itu baru mencapai 742,10 kilometer di 2013. Tiga tahun kemudian, saat Hilarius duduk di kursi bupati, pembangunan jalan terus dilanjutkan hingga sekarang nyaris merata di 35 kecamatan. 

Hilarius menyebutkan pembangunan jalan memang menjadi salah satu prioritasnya karena berkait erat dengan kemajuan ekonomi. “Sebelum menjabat hanya sekitar 20 persen akses jalan dan sedikit kendaraan yang bisa sampai kecamatan. Sekarang saya bisa mengatakan hampir 80 persen,” ucapnya.

Keberadaan jalan, ia melanjutkan, harus beriringan dengan pembangunan di sektor pariwisata. Tidak mungkin mendirikan banyak penginapan tetapi tak ada akses. Sebaliknya, akses ke tempat wisata mudah tapi tidak ada penginapan. “Nanti wisatawan mau tidur di mana?” kata Hilarius. “Setidaknya majunya pembangunan dapat dilihat ada progres, ada kenaikan. Misalnya 10-20 persen, ya itulah pembangunan”.

Setelah akses dan sarana untuk pariwisata tersedia, langkah Hilarius berikutnya adalah membangun sumber daya manusia atau SDM. Sektor ini menjadi tantangan besar lantaran tabiat atau budaya masyarakat di Pulau Nias tentu berbeda dengan orang di Pulau Jawa atau Pulau Bali. 

“Kalau di Bali atau Jawa sudah biasa ketemu orang asing lalu tersenyum atau tegur sapa. Di Nias kan beda, perempuan kami ketemu orang asing memilih menundukkan kepala. Lelaki Nias juga punya pandangan mata yang tajam, wisatawan bisa salah sangka dan nanti bilang nggak ramah,” tutur bupati yang mendapat gelar S2 dan S3 di Universitas Padjajaran.

Ia mengakui butuh sosialisasi terus menerus agar masyarakat Nias Selatan memahami peran pariwisata memajukan perekonomian. Kendati begitu, Hilarius juga ingin karakter masyarakat Nias tetap seperti didikan leluhur. “Jangan disamakan seperti cara orang Jawa menerima orang asing. Nggak bisa, beda karakter.”

Tantangan selanjutnya yang ia temui adalah minimnya penerbangan menuju Pulau Nias. Belum ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Bandara Binaka di Gunung Sitoli. Semua harus transit melalui Medan, Sumatera Utara. 

“Bayangkan kalau ada orang dari Jakarta sedang cuti dan ingin ke Nias. Sudah cari-cari dua hari belum tentu dapat tiket. Kalaupun ada harganya ampun-ampun mahalnya. Saya berharap ada kebijkan dari pusat bagaimana caranya agar tiket jangan terlalu mahal,” ujarnya. 

Catatan Pemerintah Kabupaten Nias Selatan sebenarnya menunjukkan kenaikan kunjungan wisata dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah wisatawan lokal pada 2019 (sebelum pandemi) sebanyak 65.298 orang. Anjlok di kisaran 10 ribu dan 11 ribu wisatawan selama pandemi, kemudian naik menjadi 55.750 orang di 2022 dan 63.230 di 2023. 

Sedangkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada 2022 sebanyak 3.450 orang dan naik menjadi 4.526 orang di 2023. Jumlah ini, kata Hilarius, sebenarnya bisa lebih banyak jika pemerintah pusat mau membantu lebih serius melalui kemudahan akses penerbangan.

Ingin Terus Mengedukasi

Sebelum menjabat bupati, Hilarius sempat menjadi dosen di Universitas Kristen Indonesia di Jakarta selama tiga tahun. Karier tersebut kembali dibidiknya setelah masa jabatannya berakhir. “Sampai 2025 atau paling lambat April 2026 kalau nanti di pilkada serentak terjadi gugatan-gugatan,” kata dosen hukum itu.

Pilihan lain jika tidak menjadi dosen, ia ingin tetap di Nias Selatan dan menjadi petani. Ayah empat anak ini berniat membeli tanah di wilayah pedesaan dan kembali menanam jagung. 

Di awal periode jabatannya, komoditas jagung menjadi harapan besar untuk memakmurkan petani. Dari anggaran sekitar Rp 15 miliar yang digulirkan Pemkab Nias membangun pertanian jagung selama dua tahun sudah berhasil meraup omzet hingga Rp 89 miliar yang disalurkan langsung ke desa-desa produksi. “Namun begitu masuk Covid-19 semua itu selesai,” ucapnya.

Karena itu, Hilarius ingin kembali mencoba bertani jagung sekaligus memelihara ikan. Nias Selatan punya keuntungan sumber pakan dari alam. “Cacing tanah, maggot, keong juga banyak. Di sini berlimpah, nggak usah beli pakan.”

Keinginannya bertani sekalius untuk mengedukasi masyarakat sekitar, bahwa jadi petani bisa makmur secara ekonomi sepanjang mamp memanfaatkan sumber daya alam di sekitar. “Kami coba edukasi terus, karena orang biasanya mau belajar kalau melihat langsung hasilnya,” ujar Hilarius.

Dengan edukasi dan berbagai cara membangun SDM inilah, ia percaya bahwa bangsa ini pasti mampu meraih visi Indonesia Emas 2045. “Ini semua kan cita-cita kemerdekaan. Kalau saya lihat konsepnya menuju kesejahteraan. Kalau konsepnya sudah pas kita bisa yakin cepat tercapai,” kata dia. 

Iklan

Iklan

Artikel iklan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus